DALAM diskusi peluncuran buku Mendidik Manusia Merdeka-63 Tahun YB Mangunwijaya, tahun 1995, budayawan Dr Sindhunata pernah sangat serius mengasosiasikan tokoh wayang Semar dengan tokoh konkret KH Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur yang hadir pada acara di Yogya itu. Asosiasi dibikin atas dasar sikap-sikap (politik) Gus Dur. Bahkan sampai perkara fisik Gus Dur yang Sindu nilai persis Semar. Penilaian itu tak mendapat gaung. Bisa jadi karena penyamaan dianggap berlebihan. Atau karena wayang, tempat Gus Dur diandaikan, dianggap sepele. Padahal mungkin tidak terlampau sepele.
Itu bisa sekelebat saja tampak pada bagaimana wayang masih memperoleh dukungannya dan disadari atau tidak menjadi pandangan hidup. Mereka senantiasa tumpah ruah pada pertunjukan wayang erutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta. Tak saja kaum tua yang sudah bau tanah. Tak sedikit anak-anak muda yang menjadi penonton histeris. Anak-anak juga ada. Inilah suatu fakta yang jarang dilirik media massa cetak, tapi dengan jeli diamati oleh stasiun televisi seperti Indosiar dan TPI, serta radio-radio swasta di kota-kota besar.
Pada dialog di Laga Pub Bandung, sebuah diskusi bulanan yang antara lain diprakarsai pemusik Harry Roesli, seorang mahasiswi Inggris yang sedang belajar wayang di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung seperti kembali menyadarkan negeri ini (seringkali penghuni malah tak sadar akan potensi rumahnya), betapa wayang adalah perkara “serius”. Ia bukan perkara sepele karena sesungguhnya mewakili bawah sadar masyarakat pendukungnya yang tak saja kanak-kanak.
Tak heran begitu banyak lakon-lakon gubahan baru atas dasar Ramayana dan Mahabarata, yang pencapaiannya setaraf dengan tema-tema tradisi tarekat. Sebut misalnya pengalaman eksistensial Bima dalam kesadaraan manunggaling kawula gusti pada lakon Dewa Ruci. Sebut pula misalnya pencapaian kesadaran kesemestaan Arjuna pada lakon Begawan Ciptaning. “Kalau di Eropa, teater boneka hanya digemari anak-anak,” kata mahasiswi yang agak lumayan itu.
***
KALAU demikian halnya, kalau benar wayang bukan perkara sepele karena disadari atau tidak mencerminkan pandangan hidup masyarakat pendukungnya yakni orang-orang dewasa (selain anak-anak), maka pengandaian Gus Dur dengan Semar perlu diberi catatan di sini. Pengandaian tersebut, setelah sekian waktu tak digubris oleh para sarjana, perlu diberi catatan hari ini sekaligus mencatat salah satu topik pertemuan dalang bulan lalu di Jakarta tentang bagaimana kekuasaan hendak mencaplok kesenian wayang.
Sebelumnya, tentang betapa wayang mencerminkan pandangan hidup masyarakat pendukungnya, bisa diberi lagi tambahan catatan. Para dalang silakan membuat kreasi-kreasi baru yang bersifat “fisik” menyangkut atraksi pertunjukan dan musik.
Namun kreasi-kreasi baru yang lebih “non-fisik”, yang tematis baru, akan berkemungkinan besar ditolak. Pendukung wayang akan uring-uringan jika Semar dalam lakon baru Semar Mesem misalnya tidak diabdikan pada Pandawa, yang seringkali diasosiasikan pada kaum mapan, tapi dikembalikan ke khittah untuk mengabdi kebenaran (dan kebenaran tersebar di mana-mana termasuk pada Kurawa; alias tidak ada “hitam-putih” seperti dalam realitas konkret).
Mudah dimengerti jika pada tahun 70-an, ketika wayang dihidup-hidupkan lagi antara lain melalui program Banjaran Bima oleh tokoh-tokoh, di antaranya Sudarko Prawiroyudo, yang hidup (sampai kini) adalah kreasi baru “fisik” seperti penggunaan lampu warna-warni, penggabungan dengan tari Bedaya, musik dengan drum, simbal dan trompet, dan kini dengan pelawak. Tapi nyaris tak ada pembaruan-pembaruan, atau tepatnya pengembalian ke khittah, yang berarti pada sektor tematis.
Pada konteks itulah, barangkali, media massa cetak kecele. Mereka menganggap wayang (lama) sudah mati, semati-matinya mati, karena ketika denyut modern telah masuk dengan segala strukturnya, termasuk struktur demokrasi, seharusnya tak ada tempat buat katakanlah mental wayang. Penonton tak akan menjubeli pertunjukan wayang (lama), karena menganggap kesenian itu sudah tidak “bunyi” untuk hari ini.
Orang lupa bahwa di sini, di tanah ini, bisa jadi struktur yang “fisik” itu tak diikuti oleh yang “nonfisik” seperti sikap mental. Penilaian ini bisa lebih diyakinkan oleh sejarawan Dennys Lombard melalui karya besarnya Nusa Jawa: Silang Budaya, bahwa sejak dulu pengaruh apa pun yang datang termasuk Islam, disambut dan disesuaikan dengan cita rasa lokal.
Dengan kata lain, ada inersia atau kelembaman yang luar biasa menyangkut sikap mental. Maka kalau tadi disebut wayang mencerminkan pandangan hidup masyarakat pendukungnya, sebetulnya lebih dimaksud sebagai masyarakat pendukung yang amat lembam terhadap nilai-nilai baru.
***
KALAU demikian halnya, usaha para Wali untuk meng-Islam-kan wayang supaya lebih demokratis antara lain melalui pengadaan panakawan atau simbol rakyat seperti Semar, bisa dibilang kurang mencapai hasil juga akibat kelembaman sikap mental tersebut (meskipun masih diperdebatkan,
tetap besar diyakini bahwa adaptasi Ramayana dan Mahabarata dari India dilakukan oleh para Wali termasuk penciptaan tokoh-tokoh baru seperti Semar; pada wayang Cirebon jumlah panakawan malah sembilan, diyakini sebagai lambang jumlah wali).
Semar yang dirancang sebagai panakawan, bukan punokawan seperti salah kaprah selama ini (pana=terang atau menerangi, kawan= sejawat dengan kedudukan sejajar), yang seharusnya dilihat sebagai wakil Tuhan yang paling nyata kemudian hanya dilihat sebagai gombal, sebagai gedibal para satria. Dalam wayang (lama) kata-kata Semar terhadap satria bukanlah kata-kata yang mengikat seperti, dalam teori, seharusnya DPR terhadap eksekutif.
Semar boleh omong apa saja, melalui (seperti fisiknya yang samar-samar antara mesem atau tersenyum dan menangis) tembang pocung atau apa pun yang tak jelas antara tangis dan tawa, antara marah dan memohon, dan lain-lain “kontradiksi”, tapi keputusan sepenuhnya mutlak di tangan
Arjuna. Bahkan diyakini bahwa semakin baik dalang, semakin membuat Semar tak memberi petunjuk pada Arjuna kecuali melalui sanepo, pasemon atau kiasan (yang sama sekali tak mengikat dengan sanksi misalnya). Dan perlu diketahui bahwa ending gubahan baru Semar Boyong, adalah kembalinya Semar, setelah membelot, pada Pandawa (bukan seperti khittah bahwa Semar pengabdi kebenaran dan kebenaran ada di mana pun).
Kerja kebudayaan mudah-mudahan bisa dimulai. Apakah hal demikian karena masyarakat pendukung wayang memang lembam terhadap nilai-nilai baru. Atau, bersamaan itu, kekuasaan juga menghendaki hal serupa. Terbukti, misalnya, simbol rakyat Semar yang seharusnya menyuarakan aspirasi rakyat kini malah menyuarakan atasan melalui Ria Jenaka TVRI.
Sekian catatan Februari. (H Sujiwo Tejo)