Blog

Yang Berguna untuk Umat Manusia

6,921 Views

ST4DC2Cerpen Dimuat di Suara Pembaruan 05/05/2002

Saya selalu merasa tak habis berhutang budi kepada pencetus demokrasi. Tanpa demokrasi, tidak akan ada pemilu. Tanpa pemilu, tidak mungkin aku berpeluang lagi dengan perempuan yang dulu itu pacarku. Rambutnya panjang bergelang kaki Senyumnya panjang bermata putri Bau lehernya Warna suaranya.

Tadinya aku berpikir demokrasi cuma berguna buat Ono, tetanggaku di Sragen. Sudah setahun lebih lelaki ceking asal Jombang itu pusing, karena tikus-tikus tak pernah bisa dibasmi dari rumahnya. Baru setelah di lorong depan rumahnya melintas warna-warni pawai kampanye aneka partai, lengkap dengan gemuruh beduk, tambur dan simbal serta pekik-pekik massanya, lenyap seketika tikus di rumah Ono.

Menurut persatuan dukun dan dokter di Jenewa, para hewan pengerat itu mendadak traumatis. Apakah mereka kapok terhadap demokrasi seperti para perempuan telah jera menjadi para istri? “Wah, entah ya. Baru saja saya akan mewawancarai mereka tapi akhirnya mereka sudah …,” kata seorang wartawan sambil tangannya membentuk tanda lenyap, tentang tikus-tikus bercicit rendah dan suka mengerat keyboard komputer itu.

Ada lagi soal coro. Nardi, juga tetanggaku, hampir semingguan ngos-ngosan mau menangkap satu-satunya coro yang masih tersisa dan main unjuk sungut di kamar mandinya. Hinggap di pipi istrinya yang sedang pasang gincu bibir. Bibir yang sedang monyong dan basah itu ditabok sang suami. Istrinya agak terperanjat, kecoak seketika telah melompat ke ruang tamu. Diburu di ruang tamu, coro atau kecoa itu pindah ke dapur. Dikejar ke dapur, terbang ke Solo, malah ke Cirebon, malah terus sampai ke pagar istana di Jakarta. Eh, ternyata mati juga kecoa itu terinjak secara tak sengaja oleh seseorang berseragam. Dia adalah penyuluh pentingnya demokrasi di kelurahan dekat istana. Jadi, ketika di pagi pukul 10-an itu, aku melihat Nardi melonjak kegirangan melihat coro buruannya yang berwarna keemasan diinjak tak sengaja oleh sang penyuluh di pendapa kelurahan.

Kata sang penyuluh sambil menunjuk tulisan-tulisan yang penuh di papan, “Jadi mulai sekarang Saudara-saudara sudah paham pentingnya demokrasi kan?” “Paham, Pak. Paham, Pak,” jawab Nardi. Matanya tidak ke papan tulis. Baru kemudian dia sadar sebagai satu-satunya yang menjawab di acara penyuluhan tentang pentingnya demokrasi itu. Nyatalah, selain berguna untuk Nardi dan Ono, kini demokrasi ternyata juga akan mencokolkan gunanya padaku.

Sebuah koran memuat foto besar di halaman muka tentang antrean di depan bilik pencoblosan pemilu. Saya tidak tahu fotografer yang kreatif itu menjepretnya di dusun mana. Tampak beberapa pohon yang sudah tak ada di kota. Tampak satu jumbleng warna pastel, tapi dengan kolam yang tak keruh di bawahnya. Lalu antrean pencoblosan pemilu di latar depannya. Salah seorang di antara pengantre pencoblosan pemilu di dusun itu tidak berkebaya, tidak pula berkain selutut bagai yang lain. Ternyata dia masih hidup. Ternyata perempuan berpinggul luruh itu belum mati, seperti kata orang dilindas tank tentara sepuluh tahun silam dalam sebuah acara kuis pembebasan tanah untuk pendirian gedung demokrasi. Salah seorang di antara pengantre, perempuan berpinggang asyik, cengar-cengir. Dan di antara bebek-bebek yang melintas di antrean pemilu, perempuan itu dada-dada melambai ke arah kamera seperti umumnya pembantu rumah tangga kalau di-shooting. Dialah perempuan yang dulu itu pacarku. Rambutnya panjang bergelang Senyumnya panjang bermata putri Bau lehernya Warna suaranya

Sejak itu aku merasa bahagia. Sejak itu aku merasa bahwa demokrasi memang betul-betul penting untuk kehidupan umat manusia. Tapi, ternyata, selanjutnya, demokrasi tetap tak kunjung membuat saya bertemu dengan perempuan yang dulu itu pacarku. Saya sudah berkirim e-mail melalui wartel di Klaten, tapi redaksi koran itu mengatakan, bahwa fotografernya sudah lupa di dusun mana potret itu dijepret. Esoknya aku mau cek langsung ke fotografer, ternyata ia sudah mati dibunuh oleh petugas demokrasi. “Oleh tentara,” kata tetangganya yang lain. Aku tak peduli. Yang jelas fotografer itu sudah mati. Aku sudah lihat makamnya. Aku sudah baca nama di pusaranya. Berulang-ulang aku baca lagi keterangan foto di koran yang kini mulai menguning itu. Tapi berkali-kali pula aku makin diyakinkan, bahwa memang tak ada keterangan tempat di foto utama koran itu, kecuali tulisan bahwa kolam di pencoblosan pemilu di dusun itu sejernih danau-danau di Kopenhagen.

Sekarang saya sudah bolak-balik, mungkin ini sudah ke-99 kalinya, ke kantor pemimpin DPR, bertanya kalau-kalau beliau tahu di mana kini bermukim perempuan yang dulu itu pacarku. “Saya tidak tahu di mana pacar Anda yang dulu itu.” “Tapi siapa tahu perempuan yang dulu itu pacar saya termasuk anggota partai Bapak. Baiklah Bapak tidak tahu. Tapi kan Bapak bisa cek ke anak buah yang langsung berurusan dengan calon pemilih. Bapak kan bisa menyebar foto ini ke DPD-DPD propinsi.” “DPD-DPD provinsi bisa menyebar ke kabupaten-kabupaten?” “Kabupaten ke kecamatan-kecamatan.” “Terus ke RT/RW?” “Betul, Pak. Siapa tahu ada pengurus ranting partai Bapak, kenal dengan yang dulu itu pacar saya, Pak. Tolong, Pak. Tolong. Ini penting.”

Pemimpin DPR itu tampak berpikir keras. Ia menghampiri tape di sudut ruang dan melantunlah sebuah lagu dangdut entah apa. Ia bergoyang-goyang kecil. Aku ikuti dengan goyangan kecil kepalaku. Lalu ia tampak kembali berpikir keras. “Orangnya?” “Persis seperti di foto ini, Pak. Tapi lebih cantik. Bau keringatnya asyik. Tanpa deodoran. Tanpa parfum. Tapi sudut mata dan cara dia menggerakkan kepala, cara dia membenarkan rambut yang jatuh di kening, juga menjadi daya tarik seksualnya, Pak.” “Anda pernah gituan?” “Wah, saya lupa. Tapi dia memang perempuan yang dulu itu pacar saya, Pak.” “Ya, ya. Tapi saya berpendapat tak mungkin dia ditemukan oleh yang sekarang itu orang-orang saya. Kita sedang banyak urusan lain, Bung.

Sopan santun memakai kondom misalnya, ternyata belum dikuasai oleh seluruh orang parlemen. Kita sedang mengadakan workshop-workshop untuk itu.” “Ya, tapi saya berpendapat pencarian itu bisa dilakukan oleh kaki-tangan Bapak.” “Ya, kita berbeda pendapat dalam hal menemukan yang dulu itu pacar Anda. Tapi jangan cemas. Demokrasi memang menghargai adanya perbedaan pendapat yang dulu itu tidak boleh.”

Ketua DPR berdiri. Sebuah papan tulis terpampang di ruang kerjanya yang lapang. Ia mematikan musik dangdut lalu berjalan ke arah papan tulis. Tampak bekas gambar kondom dari spidol biru yang belum bersih terhapus. Beliau bilang akan menjelaskan, mengapa betapa penting demokrasi. Sebelum beliau lengkap menulis “demokrasi” di ujung bekas gambar kondom, saya sudah mengacir lebih dahulu. “Lho, Bung mau ke mana?” “Ya, Pak, saya sudah paham bahwa betapa penting demokrasi bagi kehidupan umat manusia.” Saya tutup pintu ruang kerjanya sehingga tak terdengar lagi beliau berkata apa. Seorang satpam mengejarku. Ternyata ketua DPR itu sudah menelepon resepsionis di lobi. “Jangan pergi, Tuan, Tuan, Tuan. Tuan jangan pergi dulu. Bos mau menjelaskan sesuatu,” kata satpam itu. “Ya, ya, tapi saya sudah paham. Itu memang sangat penting bagi kehidupan umat manusia.”

“Apanya yang penting?” “Bosmu sudah tahu itu.” Saya dipegang kuat-kuat oleh satpam itu sembari bicara lewat handytalky-nya, “Bos, katanya Bos sudah tahu itu.” “Itu apa?” “Itu yang sangat (satpam bisik-bisik bertanya pada saya yang masih digenggamnya kuat-kuat), itu yang sangat bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.” “Ya, ya, karena demokrasi itu ya. You tahu, demokrasi itu memang seperti..(?)” Genggaman satpam mengendur. Aku berkesempatan lari. Suara ketua DPR tiba-tiba mati dari handytalky. Satpam mematikannya tiba-tiba saking tergopoh mengejar buronannya. “Tuan, Tuan, Tuan. Jangan lari, Tuan. Bos masih ingin bicara. Tapi Anda sudah pergi. Ini penghinaan terhadap atasan saya. Ini bisa panjang urusannya. Kambing saja tidak pernah meninggalkan bos dengan cara kasar seperti ini.” Kata-kata satpam, selanjutnya, semakin tak jelas di sela-sela napasnya yang terengah-engah. Tubuhnya yang menjelang renta lari semakin cepat dan terseok mengejarku. Dan aku semakin jauh.

“Berhenti!” Hah? Seseorang telah berdiri seperti menghadangku sembari tersenyum. “Pernah menonton saya di televisi?” katanya ramah. Saya mengangguk. Saya meraba-raba di pikiran. Rasanya saya memang pernah menontonnya di televisi. Tapi, kalau bintang telenovela, ini siapa namanya. Kalau pembawa acara kuis, ini Amien Rais, Mahfud MD, Alwi Sihab atau siapa. Kalau tukang sulap, apa kalau tidak salah ini yang bernama Habibie? Atau Pele? Ah, aku lupa-lupa ingat. Aku ingat-ingat lupa. “Ah, masa lupa?” kata penghadang masih tersenyum, “Saya ini kan presiden Anda.” Oh, ya ampun! Iya, iya, iya. Maka jadilah ini kesempatan emas itu. Saya lihat di kejauhan satpam dari DPR itu belum tampak sosoknya. Saya masih aman. Saya menyodorkan halaman muka pilar keempat demokrasi, yakni sebuah surat kabar, yang kini tampak semakin kumal dan lusuh kepada presiden.

“Bisa mencarikan perempuan ini?” tanya saya sambil menunjuk foto yang sedang cengar-cengir dan dada-dada di depan bilik pencoblosan. Presiden tampak sedang berpikir keras. Presiden menoleh ke kiri. Mungkin itu ajudannya. Presiden menoleh ke kanan. Salah seorang yang ditoleh melambai-lambai ke kamera televisi lalu dipelototi presiden. Mungkin dia pembantu rumah tangga presiden. Salah, ternyata dia salah seorang di antara pembantu presiden, yakni menteri-menterinya. Lalu semuanya tampak berpikir keras. Ada yang mengernyitkan keningnya melebihi lipat-lipatan babat di dapur soto Betawi.

Seseorang membisiki presiden. Lalu yang dibisiki berkata kepadaku, “Ehm, begini ya, kita belum kenalan. Saudara?” “Saya dukun, Presiden.” “Dukun apa dokter?” serempak seluruh menteri bertanya padaku dengan nada tandas dan seperti tak kasih pilihan. “Jawab!” “Dokter. Dokter. Dokter.” “Begini ya bung Dokter,” kata presiden ramah, “kebetulan saya besok mau ke Amerika. Ehm, Amerika, Bung tahu kan?” “Ya, Presiden. Hamba tahu. Paman kita.” “Hush! Bukan. Pamannya Sam. Itu yang benar. Tapi, maksud saya, Amerika adalah bapak kita semua. Bapaknya demokrasi.” “Maksud Presiden?” “Nah, kami akan ketemu Presiden Bush. Pada kesempatan emas itulah saya akan bertanya kalau-kalau aparatnya, termasuk aparat intelejennya, tahu di mana alamat yang dulu itu pacar Anda.”

Puji Tuhan! Segera aku bertekuk lutut. Segera aku ciumi kaki presiden. Di siang yang terik, dan matahari bergambar garis-garis wajah orang tersenyum mirip di kartun-kartun maupun gambar anak-anak, aku tersedu di ujung kaki presiden dan baru terlepas ketika lewat melesat seekor coro, sehingga presiden menjingkatkan kaki. Sejak itu aku yakin untuk kedua kalinya betapa penting demokrasi. Dulu dengan demokrasi saya bisa tahu bahwa ternyata yang dulu itu pacar saya masih hidup. Sekarang, dengan presiden demokrasi, saya punya harapan besar bisa bertemu kembali dengan yang dulu itu pacarku. Tak aku sangka bahwa adegan ini esoknya muncul di televisi dan halaman depan koran-koran, yakni lembaran yang katanya adalah pilar keempat demokrasi.

Mati aku! Seluruh teman-temanku bilang aku kurang menghargai demokrasi. “Mengapa kamu main sembah presiden?” tanya yang lain. Yang lain-lain lagi bilang bahwa aku telah menghidupkan kembali budaya kerajaan. Lho, aku bilang, aku tidak sedang menyembah presiden. Aku menyembah demokrasi. Banyak orang membawa foto pacar di dompet. Apa berarti banyak orang pacaran dengan foto? Masa enggak boleh menyembah sesuatu yang bisa menimbulkan harapan? Masa enggak boleh menyembah harapan bahwa aku bisa mungkin bertemu kembali dengan yang dulu itu pacarku? Masa enggak boleh terima SMS dari presiden, bahwa kalau aku bisa melihat foto perempuan itu di koran dan memburunya, mestinya perempuan itu juga bisa melihat fotoku di pilar keempat demokrasi dan memburuku? “Boleh-boleh saja,” kata seseorang sambil terengah-engah dan terseok menyeruak dari kerumunan.

Ya, ampun! Mati aku! Ternyata satpam di DPR itu sudah kembali, dan memegang erat-erat pergelangan tanganku. “Lepaskan saya, Pak. Apa salah saya. Apa karena aku menyembah presiden dan tidak sungkem bosmu? Jangan main tangkap. Ini negara demokrasi.” Satpam itu mengangkat telepon. “Bos bilang,” kata satpam, “Jangan dilepas.” “Baiklah, ” kata ketua DPR di dekat papan tulis setibaku di kantornya tergiring satpam.

Tulisan “demokrasi” di bekas gambar kondom di papan itu ternyata belum terhapus. “Mau dangdut atau bending blues? Sekarang saya akan kembali melanjutkan penjelasan saya, mengapa demokrasi itu penting. Demokrasi itu, ya bung.” Seekor coro lewat melesat. Lagi-lagi, kata-kata ketua DPR, selanjutnya tak mampu aku dengar lagi. Banyak orang bilang aku tertidur di ruang kerja bergambar penuh mickey mouse itu. Banyak orang bilang aku sedang kembali dipenuhi oleh perempuan yang dulu itu pacarku. Rambutnya panjang bergelang kaki Senyumnya panjang bermata putri Bau lehernya Warna suaranya