AREA 2009 - 2010

Dialog Utara-Selatan untuk Jakarta

4,392 Views

Utara dibikin kesan maju. Selatan kalau ndak berkembang, ya terbelakanglah. Dialog Utara-Selatan berarti kongkow-kongkow antara para negara maju dan para yang mundur. Utara dianggap lebih pintar. Sebaliknya para ikhwan mereka di Selatan.

Itu cuma kesan. Tapi kuat pengaruhnya ke cara kita mikir.

Saya pernah kaget pas seorang teman di Bandung iseng membikin peta terbalik. Australia ada di atas. Amerika dan Eropa meluncur ada di bawah. Kesan sekelebat saya, Inggris, Jerman, Kanada dan lain-lain seperti negara selatan yang kita anggap belum maju.

Padahal lain ceritanya kalau ini menyangkut Jakarta. Selatan jauh lebih rindang dibanding Utara. Secara terbalik, Jakarta Selatan mirip negara-negara Utara. Udaranya terasa lebih bersih. Maklum negara-negara Utara cuma dijadikan tempat mikir dan peredaran duit. Pabrik-pabrik dan cerobong asapnya dibikin di negara-negara Selatan.

Galeri-galeri seni rupa dan tempat-tempat pertunjukan alternatif lebih banyak di Jakarta Selatan. Sekarang muncul lagi misalnya gedung Teater Salihara di dekat Universitas Pancasila, Pejaten. Ini secara berkebalikan juga mirip dengan negara-negara Utara.

Beda dibanding Jakarta Utara, cikal bakal seluruh Jakarta yang dimulai abad ke-5 dari muara Sungai Ciliwung Angke.

Agak takut saya bilang bahwa orang-orang Jakarta Selatan lebih bisa mikir mendalam dan lebih “nyeni” di banding orang-orang Jakarta Utara.

Yang jelas kawan-kawan dalang sudah pada tahu resep ini: Kalau tampil di kawasan Jakarta Utara, jangan pentaskan lakon-lakon yang berat. Temanya yang ringan saja. Lalu perbanyak-banyaklah segi hiburannya.

Mereka akan suka dan terhibur. Boro-boro diajak mikir. Apalagi pas musim hujan mereka lebih in the mood mikir banjir. Jangan lupa. Kawasan ini tempat bermuaranya sembilan sungai dan dua banjir kanal. Belum lagi banjir karena pasang-surut air laut.

Sebenarnya ini tak mutlak untuk Jakarta yang berdiri 22 Juli 1527. Di mana pun, asalkan pesisir, orang-orangnya lebih tak mudah diajak merenung. Mereka berjiwa terbuka, jiwa pedagang dan pekerja. Di jalur Pantai Selatan, orang-orang Utara lebih bisa menerima wayangan mendalam ketimbang yang sebelah Selatan. Sebaliknya di Jalur Pantura.

Mungkin orang-orang Jakarta Utara akan bilang, “gue gak sanggup mikir dalem-dalem deh, gak punya banyak teater dan galeri, tapi gue punya banyak kawasan bisnis.”

Ah kalau cuma gitu, Jakarta Selatan juga punya. Sebut Cipulir, Kuningan, Pondok Indah, Kemang, Barito, Blok M dan lain-lain.

Itu bisa jadi dialog menarik meski kali aja, salah-salah, jadi debat kusir tak abis-abis. Si Selatan bilang, gue punya bisnis dan kesenian sekaligus. Si Utara: gue punya pohon bakau. Si Selatan: Tapi elo gak punya rambutan, sawo, durian. Si Utara: Ah, itu mah bisa beli dari tempat lain. Gue punya banyak pelabuhan, Angke, Sunda Kelapa, Priok…

Dari kasus Jakarta, Pantura dan Pantai Selatan, saya belajar bahwa menyesatkan Utara-Selatan dipakai buat pembagian kawasan dunia. Pengertian Utara-Selatan mungkin juga relatif ketika diterapkan untuk kategorisasi kawasan.

Siapa tahu negara Selatan tertentu kini orang-orangnya lebih pandai, lebih bisa merenung dan menghargai kesenian seperti orang-orang Jakarta Selatan.

(Dimuat di rubrik ‘Frankly Speaking’ AREA 47, 28 Januari 2009 )