AREA 2009 - 2010

Masih Enakan Jakarta Kok

3,223 Views

Mari nurutin pendapat temen yang ahli ekologi. Hidup matinya kota tidak tergantung pada sering atau jarangnya kebakaran maupun banjir.

Berapa kalipun banjir dalam sehari, berapa kalipun kebakaran dalam setengah hari, berapa kalipun orang akan termehek-mehek menyambut semua itu mereka akan tetap ogah eksodus asalkan kota itu masih menghidupinya.

Mungkin karena itu saya dan sampeyan semuanya masih mau-maunya tinggal di Ibukota.

Polusi kota yang sebagian disebabkan oleh kendaraan bermotor masih tinggi di Jakarta. Saya tidak tahu sekarang Jakarta masih tetap lebih tinggi dibanding Denpasar atau sudah lebih rendah.

Yang jelas, kalau kita dari luar kota, baru kerasa di pernapasan. Udara Jakarta kok kotor banget ya? Kita mau turun di Bandara Soekarno-Hatta? Kita baru ngeh langit Jakarta jauh lebih kotor dibanding kota-kota lain di Indonesia.

Tapi kita tetap tak mau hengkang dari Jakarta.

Kalau kita ke daerah, baru kita sadar bahwa kampas rem dan kopling mobil-mobil di sana relatif lebih awet dibanding yang di Jakarta.

Apa boleh buat, di Jakarta kita mesti rajin ngerem. Kita mesti sering dan ndak boleh bosen main kopling. Makanya onderdil lebih cepet aus. Belum lagi borosnya bahan bakar akibat kita sering injak pedal kopling dan rem.

Tapi kita masih aja ndak pindah-pindah dari Jakarta.

Belum lagi suhu udaranya. Jakarta jauh lebih panas dibanding rata-rata suhu kota di daerah. Mungkin akibat pantulan panas karena makin sempitnya permukaan tanah yang belum sempet dibeton.

Airnya juga jadi aneh. Dan biasanya kita baru kerasa ini aneh sehabis dari luar kota. Sehabis kemarin atau tadi mandi di luar kota, waduh ternyata mandi di Jakarta airnya berasa payau. Air itu rasanya cuma lewat aja ke pori-pori kulit. Suhunya ndak kerasa merasuk buat bikin badan segar.

Tapi kita mungkin baru kepikir aja untuk meninggalkan Jakarta. Belum benar-benar konkret menjinjing kopor-kopor dan melambai ke Puncak Monas.

Karena duit masih kebanyakan beredar di Jakarta. Betul otonomi daerah membuat duit yang dulu konon nyaris 70 persen beredar di Jakarta kini cuma tinggal sekitar 50 persen.

Dan 50 persen itu menurut saya masih banyak. Lebih mungkin laku jualan apa pun di Jakarta. Apalagi kalau yang kita jual itu ada bau-bau tradisinya.

Jualan panganan tradisional seperti serabi dan kue lapis lebih mungkin laku di Jakarta ketimbang di Solo. Masih banyaknya duit yang beredar di Jakarta, berpadu dengan nostalgia warga Jakarta yang jauh dari kampung asal, lebih memungkinkan pecel laku di sini ketimbang di Madiun.

Tentu ada pertimbangan lain. Enaknya hidup di Jakarta itu hampir setiap orang cuek ke tetangganya.

Di kampung halaman, tetangga akan cepat tahu merek apa pesawat televisi yang kita punya. Berapa ukurannya. Layar datar apa tidak.

Bahkan, di kampung halaman, warga akan cepat tahu kita sedang pacaran dengan siapa, baru putus dari siapa, dan sedang berburu siapa.

Di Jakarta, paling yang tahu cuma teman-teman dekat. Siapa tahu karena itu maka dari dulu namanya Presiden dan wakilnya sampai ke para menteri, memilih tetap tinggal di Jakarta. Seperti kita juga.

(Dimuat di rubrik ‘Frankly Speaking’ AREA 48, 16 Februari 2009 )