Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 105 Ada Nazar di Kali Serayu…

4,874 Views

Episode105Capek jalan kaki dari Rungkut Lor ke Panjangjiwo, Surabaya, ponokawan Limbuk akhirnya leyeh-leyeh. Kok kebeneran istirahatnya pas di depan salon-salon kecantikan. Dari situ dia dapat pelajaran gratis. Ternyata salon tuh laris kalau pekerjanya ramah tamah. Apalagi kalau rajin ngobrol ke para langganan, wah.

Maka di kota pahlawan itu Limbuk ikut-ikutan buka salon di antara kawasan Mayjen Sungkono ke arah Satelit. Sambil memotong rambut pelanggannya, Limbuk ngecipris ngalor-ngidul soal kenapa sekarang Nazaruddin bungkam. Lalu soal Neneng, Nunun, Andi Nurpati dan lain-lain. Tapi pengunjung ndak banyak juga.

“Bosen, Mbuk, Mbuk,” alasan mereka. “Kalau Mas Nazar kembali ngoceh lagi menyebut banyak nama, apa ya terus lalu-lintas di Rungkut jadi lancar kayak Jakarta pas Lebaran? Halah-halah…Mbok cerita soal harga sembako saja..”

Maka di Kamis Kliwon esok harinya Limbuk, putri ponokawan Cangik itu mengganti obrolan. Ia bawakan legenda terjadinya kota-kota di Jawa Timur. Tapi pengunjung masih bosen juga.

Mbok cerita sampeyan dibikin baru. Umpamane ya legenda Banyuwangi sampeyan gabung dengan Babad Tanah Jawa tentang terjadinya kerajaan Mataram…” alasan salah satu pengunjung, seorang ibu-ibu. “Tapi cerita gabungannya jangan terkesan dibuat-buat. Nanti seperti skenario kasus Nazaruddin lho…hehehehe… Ah, sudahlah. Yuk, mari Mbak Yu Limbuk…Saya ada kondangan di Ndupak…”

***

Gabungan antara legenda terjadinya Kota Banyuwangi dan Babad Mataram ternyata tak membuahkan hasil. Pengunjung salon Limbuk masih sepi. Limbuk sempat putus asa. Mau kerja apa lagi? Dia sudah terlalu tua untuk mendaftar menjadi Pasukan Pengibar Bendara Pusaka pas 17an di Istana. Apalagi badannya sangat gembrot.

Tiba-tiba ia ingat pesan ibunya, Cangik, untuk kadang-kadang melakukan nglowong, yaitu puasa selama sehari-semalam. Setelah tirakat itu malamnya ia bermimpi ketemu ponokawan Gareng, Petruk dan Bagong. Mereka berpesan agar Limbuk menggabungkannya dengan kisah-kisah dari pewayangan.

Hasilnya bagi salon Limbuk pelan-pelan mulai kelihatan. Pengunjung senang Limbuk menggabungkan legenda terjadinya berbagai kota di Jawa Timur dengan kisah-kisah lain dari Babad Mataram seperti Ngabehi Loring Pasar, Ki Ageng Pemanahan. Apalagi itu pun masih dia gabung dengan lakon-lakon dari dunia pedalangan. Lalu lintas dari Mayjen Sungkono ke arah Satelit pun bertambah macet gara-gara antrean mobil pengunjung salon Limbuk.

“Sudah sana ke salon lain saja,” tukang parkir mulai mengusir mobil-mobil yang memaksa parkir.

“Nggak mau!!!” protes calon pengunjung. “Orang-orang salon lain itu…kalau kerja itu… sambil motong rambut ceritanya cuma soal kasus Nazaruddin yang katanya banyak direkayasa…Di Salon Bu Limbuk, ceritanya lebih oyeeee…”

***

Limbuk kini merapikan poni lelaki yang tadi protes ke tukang parkir. Ia sambil melanjutkan kisahnya tentang Aryo Penangsang alias Aryo Jipang. Tepat di hari terakhir 40 hari puasanya agar terhindar dari petaka Raja Kalacakra, lanjut Limbuk, Aryo Jipang disurati Nazaruddin. Isi suratnya, kesultanan Pajang akan diserahkan kepada Aryo Jipang asalkan Aryo Jipang tidak mengganggu anak-istrinya. Aryo Penangsang langsung tersinggung. Ia hunus kerisnya Setan Kober.

“Lho, Nazaruddin sudah hidup waktu itu, Bu Limbuk?”

“Husssshhhhh…Diem…Ini kan cerita yang sudah digabung-gabung. Maka bergegaslah murid dan pengagum Sunan Kudus itu ke kali Serayu.”

“Serayu di Banyumas? Bukannya Aryo Penangsang pergi ke Bengawan Sore, Bu Limbuk? Di seberang bengawan itu sudah berdiri panglima pasukan Pajang seperti Sutowijoyo, Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Panjawi, Ki Juru Martani…Lengkap dengan tombak Kyai Plered. ”

“Husssshhhhh…Diem… Tadi saya terlintas surat Nazaruddin ke Pak Presiden. Maka muncullah surat Nazaruddin dalam Babad Mataram. Sekarang terlintas ketika Pandawa membuat kanal dari Kurujenggala di Astina ke Sungai Gangga. Salah satu ruas kanal itu disebut Sungai Serayu.”

“Terus?”

“Terus ya…Dalam membuat kanal itu para Pandawa sangat dibantu oleh ketam-ketam dan belut-belut anak buah Begawan Mintuna. Akhirnya Begawan Mintuna kesengsem pada Bima. Putri Begawan Mintuna, Dewi Urangayu, dinikahkan dengan Bima. Lahirlah Antasena…”

“Lha terus Aryo Penangsang di tepi Kali Serayu itu bagaimana?”

“Sabaaaar….Sabaaaaar….”

***

Beberapa bulan setelah rambutnya panjang lagi, lelaki separo baya itu kembali datang. Setelah Aryo Penangsang menghunus keris Setan Kober, Limbuk melanjutkan kisahnya beberapa bulan lalu, belum sampai ke tepi Serayu ternyata keris direbut Raden Banterang, putera mahkota kerajaan Banyuwangi.

Raden Banterang yang sedang kalap dan meragukan kesetiaan istrinya, Putri Surati, memburunya hingga ke tepi Serayu. Ia mengarahkan Setan Kober. “Suamiku, saya tidak akan lari,” Surati memelas. “Bila saya mati jatuh ke sungai dan sungai tak menjadi wangi, maka aku memang tidak setia kepada Kakanda.”

Belum dihunjamkan Setan Kober ke ulu hati Surati, sang Putri Raja Klungkung itu sudah lebih dulu melompat ke sungai Serayu. Mendadak sungai Serayu air atau banyu-nya menjadi wangi. Raden Banterang menangis. “Aku namakan tempat ini Banyuwangi,” kata pangeran itu sambil sesenggukan penuh penyesalan.

***

Sebenarnya Surati tidak tewas ketika tenggelam di sungai. Ia ditolong Antasena yang hidupnya memang di dalam air. Pemuda urakan itu sambil nolong Surati sambil terus ngomel-ngomel. Termasuk ia maki-maki Limbuk karena telah membuat skenario ngawur. Orang-orang di atas air bisa menyaksikan Antasena “menyanyi” memakai topi anyaman karena ia melakukan telekomunikasi lewat Skype persis Nazaruddin sebelum ditangkap.

“Masa’ Banyuwangi ada di kawasan Banyumas? Masa’ Jawa Osing ada di daerah Jawa Ngapak? Ngawur! Masa’ Aryo Penangsang terima surat? Justru dia yang kirim surat ke Pajang melalui pekatik. Tahu pekatik? Pekatik itu tukang kuda. Nah pekatik itu malah dipotong kupingnya oleh orang-orang Pajang! Marahlah Aryo Penangsang! Bilang ke Limbuk, mbok kalau bikin skenario itu yang rapi!!!” begitu ceplas-ceplos Antasena lewat Skype.

Suatu hari seperti yang dijanjikan, Antasena menyerahkan Surati kepada Raden Banterang. Sayangnya, pas Antasena sudah mentas dari habitatnya di dalam air, kecewalah para wartawan yang mencegatnya di darat. Sepatah kata pun Antasena tak berbicara. Ia bungkam.

“Yo wis biarkan saja,” kata wartawan senior. “Mungkin weton-nya memang mengharuskan dia hidup di air. Dia tak cocok hidup di darat. Begitu di daratan, ia jadi pendiam seperti Nazaruddin setelah ditangkap. Biarkan saja. Waktu yang akan menjawab semua ini …”