Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 104 Lysistrata dari Sunan Bonang ….

5,713 Views

Episode104Ngakunya sih Sunan Bonang. Tapi sebagian ceritanya memang meyakinkan. “Nama aliasku Raden Makdum atau Maulana Makdum Ibrahim,” tutur pria berusia 50-an tahun itu. Bener kan? Dia mengaku lahir sekitar abad ke-15 di Bonang, daerah Tuban. Itu pun benar. Sunan Bonang memang miyos di situ. “Syi’iran Tamba Ati itu saya yang bikin,” maksudnya Salawat Tamba Ati. Itu pun ndak kliru.

Lalu senja itu, di bawah pohon trembesi, dia rengeng-rengeng sendiri, lengkap dengan sorbannya yang dikibar-kibar angin gunung dusun sebelah…

Tamba Ati iku lima sakwarnane:
Maca Quran angen-angen samaknane
Kaping pindo, shalat wengi lakonana
Kaping telu, wong kang saleh, kancanana
Kaping papat, dzikir wengi ingkang suwi
Kaping lima, kudu weteng, ingkang luwe…

Yang artinya, bagai Sunan Bonang, orang ini menekankan pentingnya lima hal. Yaitu, membaca Al Quran, shalat, berteman orang saleh, dzikir dan berpuasa. Orang-orang galau yang kerap membuntuti kemana ia pergi hampir semua sudah hafal Salawat Tamba Ati. Tak jarang rembuk-desa di balai dusun diawali dan diakhiri dengan Salawat syahdu ajaran sunan tersebut.

Tak cuma pandai nembang. Orang-orang galau yang siang-malam selalu mengeremuninya di berbagai tempat termasuk di gardu-gardu ronda juga mengenalnya sebagai lelaki yang mahir main gamelan. “Tapi saya bukan anak pengrawit, lho. Sudarma saya justru wali. Saya putra Sunan Ampel. Ajaran-ajaran saya tak berbeda dengan kitab-kitab Jawa seperti Dewa Ruci dalam pewayangan…” jelasnya.

Itu juga klop. Bukankah salah satu pendiri Mesjid Demak itu ajarannya memang sejalan dengan banyak mutiara pewayangan termasuk pertemuan makhluk dan khaliknya dalam Dewa Ruci?

Orang serba-meyakinkan sebagai Sunan Bonang ini hanya mulai kacau apabila sudah ngomong soal perang Baratayuda. Masa’, katanya, perang agung Pandawa dan Kurawa di Tegal Kuru Setra terjadi bukan lantaran rebutan kerajaan Astina. Gara-garanya malah rebutan teve. Maklum leluhur mereka hanya punya satu pesawat televisi.

Pandawa ingin menonton berita penangkapan Nazaruddin. Kurawa penginnya malah nonton kabar tentang pria yang ngamuk-ngamuk di Bandara Polonia Medan. Pria itu kehilangan baju pengantin di bagasi. Padahal pernikahan sudah akan berlangsung keesokan harinya.

“Rebutan teve antara Pandawa dan Kurawa tak bisa dihindari. Dewi Kunti ibu Pandawa ndak kuasa melerai. Batara Kresna penasihat Pandawa pun ndak gablek memisah. Maka, wahai Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, pecahlah Perang Baratayuda itu,” kata orang yang mengaku Sunan Bonang tersebut di tengah-tengah terik siang Pasar Kamis.

Hah?

***

Menurut si pengaku Sunan Bonang, Pandawa berpendapat, berita penangkapan Nazaruddin di Colombia sangatlah penting. Kurawa berpikiran lain. Buat apa menyaksikan peristiwa yang sudah bisa ditebak kemana berakhirnya, yaitu berakhir dengan ngambang. “Lihatlah kasus Century, pandanglah kasus Gayus Tambunan, terawanglah perkara Susno Duadji,” kata Sengkuni.

“O, mari jangan berburuk sangka,” bantah Yudistira. “Manusia bisa berubah. Umar bin Khatab juga berubah dari manusia brangasan ke manusia ta’at. Kanjeng Sunan Kalijaga juga. Dia berganti temperamen dari manusia hitam sebelumnya yang bernama Brandal Lokajaya. Pemimpin kita saat ini bisa berubah pula. Siapa tahu Nazaruddin kali ini akan diadili dengan benar…”

“Siapa tahu pengadilannya juga akan berlangsung terbuka. Seluruh masyarakat bisa menyaksikannya dengan mata telanjang melalui televisi,” kembar Nakula-Sadewa mengimbuhi.

Dursasana dari Kurawa menimpal. “Pengadilannya sih memang terbuka. Tapi sebelum dibuka di pengadilan, pemeriksaannya kan tertutup rapat-rapat. Di situlah permainan yang sesungguhnya berlangsung. Mana kasus yang boleh diungkap, mana yang tidak. Mana nama-nama yang boleh disebut di persidangan, mana yang tidak…wuaaaaah…ancor pessena telor…”

“Siapa yang bisa menjamin bahwa isi tas hitam Nazaruddin tidak diobok-obok?” Durmagati dari Kurawa ikut menimpal.

Karena itu Kurawa memutuskan lebih baik menjadi saksi berita tentang pria yang hilang baju pengantin di bagasi pesawat dan muring-muring di Bandara Polonia, Medan. Menurut mereka peristiwa ini pasti tak direkayasa. Dan menurut mereka, ini klop dengan banyak pengalaman pribadi anggota Kurawa. Mereka selalu menemui malapetaka ketika akan kawin. Lesmana Mandrakumara, putra mahkota Duryudana, bahkan sampai nggak nikah-nikah lantaran selalu kena musibah sebelum mantenan.

Eyel-eyelan Pandawa-Kurawa berlanjut ke rebutan remote controll dan selanjutnya ke adu tosing balung uleting kulit rebut unggul genti kalindih…
***
Yang menarik, dalam versi si pengaku Sunan Bonang, Baratayuda justru diawali dari bagian akhir yakni Rubuhan. Yaitu, perang antara Bima dan Duryudana. Padahal dalam pertempuran Baratayuda yang berlangsung 18 hari, perang gada antara panenggak Pandawa dan sulung Kurawa itu mestinya pecah di penghujung waktu sebagai pamungkas. Itulah yang biasa ditampilkan dalam pakem pedalangan.

“Kenapa mbaca-nya nggak dari depan,Pak Sunan?” seorang guru SD protes.

“Lho, justru saya membaca dari depan, Kisanak. Dari depan itu berarti dari belakang. Itulah tata cara membaca di Arab. Sampeyan berarti sudah terlalu lama tanpa sadar dijajah oleh cara membaca aksara Latin…”

Ponokawan Petruk, Gareng dan Bagong setuju pada pengaku Sunan. Menurut mereka lembaga seperti KPK didirikan untuk membuat masyarakat punya kesadaran aksara Latin sekaligus aksara Arab. “Coba perhatikan, dibaca dari kiri maupun dari kanan, KPK tetaplah KPK,” kata Bagong kepada khalayak.

“Setujuuuuuu…..!!!”
“Hidup KPK…” teriak pembaca aksara Latin.
“Bravo KPK…!!!” pekik pembaca aksara Arab.

Mendapat pembelaan dari ponokawan, si pengaku Sunan Bonang melanjutkan kisahnya tentang Rubuhan dalam Baratayuda.

Di tengah seru-serunya pergulatan gada antara Bima dan Duryudana di tepi sungai, kata si pengaku Sunan Bonang, muncullah seorang perempuan cantik dan bahenol. Saking kuatnya daya tarik sang perempuan sampai-sampai Bima dan Duryudana menghentikan duelnya. Mereka seakan terpesona oleh sihir keayuan sang putri.

“Maca ciii….Sepengetahuan saya selama mengabdi Pandawa, Ndoro Bima tidak akan mudah terpengaruh oleh perempuan asing yang baru dilihatnya,” Gareng protes.

Petruk nyambung, “Sepengetahuan saya selama mengikuti Ndoro Arjuna, kekasih gelap Dewi Banuwati, suami Banuwati Prabu Duryudana itu termasuk lelaki setia. Mustahal Duryudana lekas tergoda oleh perempuan lain, walaupun kecantikannya sundul bintang Hollywood Megan Fox…”
Hmmm….

Si pengaku Sunan Bonang memandangi kedua ponokawan. Ia mengambil napas dalam-dalam lalu bicara, “Masalahnya perempuan bahenol itu tak sendirian. Ia punya banyak pengikut. Termasuk Banuwati dan Dewi Arimbi, istri Bima. Keduanya, dan semua perempuan pengikut, patuh pada wanita bahenol itu. Perintah perempuan itu adalah mogok melayani suami manakala para suami tak menghentikan peperangan!!!”

***

Bagong yang kelihatan lugu dan goblok diam-diam nguping dan menyimak omongan si pengaku Sunan Bonang. “Kayaknya yang sedang merasuk ke orang ini bukan Sunan Bonang saja,” pikirnya. “Dia pasti juga sedang kerasukan Aristophanes, pujangga Yunani Kuno. Bukankah perempuan bahenol itu mirip Lysistrata yang mencoba melerai pertempuran laki-laki Sparta dan Atena?”

Bagong ingat, ketika itu Yunani berkecamuk. Situasinya mirip Tanah Air saat ini. Semua laki-laki saling curiga dan gontok-gontokan. Untuk meredamnya, Lysistrata yang banyak pengikutnya mengimbau mereka untuk mulai berdandan siang-malam, pakai gincu, celak, pakai parfum, menata rambut sehingga menimbulkan hasrat dan gairah kaum lelaki. Namun, mereka harus menolak melayani lelaki jika tak menghentikan peperangan.

Mumet dan kelimpunganlah seluruh lelaki!!!
“Sampeyan itu sebenarnya Sunan Bonang apa Aristophanes?” bisik Bagong.
Pengaku Sunan Bonang cuma mesam-mesem.

“Negeri saya ini sekarang lebih perlu Lysistrata apa Salawat Tamba Ati?” Bagong terus bertanya.
Lelaki itu tak menjawab. Dari Pasar Kamis ia berjalan ke arah pohon trembesi. Nun di kejauhan masyarakat mendengar alunan tembangnya dari pohon trembesi yang sepoi-sepoi ditiup oleh angin gunung dusun sebelah …