Wayang Durangpo Tahun I (2009 - 2010)

Episode 11 Belajar dari Sumpah Cakil

7,410 Views

Episode011Kenongopo kok yang bersumpah itu cuma para pemuda? Cangik menjawab, karena orang-orang tua, orang yang sudah kenyang asam garam, akan malu untuk bersumpah. Pahit getir kehidupan mengajarinya untuk sareh dan semeleh. Keduanya akan memaksa setiap orang tua tahu diri betapa susah untuk tidak melanggar sumpah. Lebih susah dibanding mencari beruang kutub di Pulau Madura. Mereka, orang-orang gaek seperti Cangik, lantas malu untuk mengangkat sumpah.

Kenongopo kok Sumpah Pemuda jatuh pada bulan Oktober? Bagong menjawab, pertanyaan itu tidak relevan. Mau jatuh bulan Jumadil Awal atau Jumadil Akhir, mau tibo pasaran Kliwon atau Pahing, yang jelas persatuan yang terkandung dalam Sumpah Pemuda sekarang sudah mulai luntur. Pertanyaan yang lebih tepak adalah dicuci pakai apa sih kok Sumpah Pemuda made in Indonesia tahun 1928 itu sekarang luntur?

Diumbah lan diucek-ucek tur dibilas mbarek zaman. Itu yang dikatakan Semar kepada ketiga anaknya: Gareng, Petruk dan Bagong. Mereka lagi di tengah hutan dalam perjalanan mengantar Menteri Negara Urusan Perempuan, Arjuna. Di dalam perkembangan zaman, ada daerah yang kaya sumber daya tetapi orang-orangnya tetap miskin, karena sumber daya tersebut dikeruk oleh orang-orang pusat.

Di dalam perkembangan zaman, sistem pendidikan yang diperkenalkan Ki Hajar Dewantara makin tidak berlaku. Secara umum hanya orang-orang kaya yang bisa melanjutkan sekolah ke pendidikan jenjang tertinggi. Dalam perkembangan zaman seperti itu, ketika masyarakat kemudian terbagi-bagi dalam berbagai kelompok dan saling iri saling curiga, bagaimana persatuan bisa tetap digalang?

Para panakawan yang berarti pana (menerangi) dan kawan (sahabat) alias sahabat yang menerangi, bukan saja ngobrol. Mereka juga berhenti, thenguk-thenguk, sampai-sampai di tengah belantara itu Menteri Negara Urusan Perempuan sudah jauh berjalan entah berapa tebing. Petruk menyela penjelasan Semar yang terkesan serius. ”Jangan serius-serius, Mar…,” kata Petruk, ”Kamu meneng-meneng wis janji nang Arief Santosa dari Jawa Pos nek rubrik Wayang Durangpo ini rubrik guyon. Nanti kamu dipecat karo Kang Arief modar lho…”

Semar terkekeh-kekeh sampai njungkel di akar beringin. ”O iya, aku lupa pada janjiku…I am so sorrrrrryyyy…,” kata Semar di antara suara kekehannya yang mirip air mendidih di teko. Tiba-tiba Semar kaget dan mengusap kuncungnya, ”Ah, lupa janji, lupa sumpah, ya ndak papa to…Apalagi aku ini sudah kempong perot kaki pikun jambul uwanen. Bisma saja ketika masih muda juga lupa sumpahnya. Ingat, Le, Thole, waktu masih muda, waktu masih bernama Dewabrata, dia bersumpah wadat alias selebat. Tapi toh akhirnya dia melamar Dewi Amba…Ingat tidak, Le, Letho…”

Kata Semar pada periode kasmaran dan lupa sumpahnya itu banyak pantun yang dibikin oleh Dewabrata buat Dewi Amba dan sampai kini masih digunakan oleh para seniman ludruk. Misalnya:

Kecipir mrambat kawat

Kok gak mampir mongko wis liwat…

Ada lagi:

Esuk nyuling sore nyuling

Sulingane arek Suroboyo…

Esuk eling sore eling

Lha nek eling ta’ nyambang mrono

Gareng protes, ”Itu terjemahan Indonesia-nya apa? I can’t mudeng boso Jowo anymore…” Petruk menyadurnya dalam bahasa Indonesia. Pantun pertama adalah kecipir merambat kawat, tidak mampir padahal sudah lewat depan rumah. Kedua…ah, belum sempat Petruk membuat terjemahan, keempat Panakawan itu disentak oleh suara sumpah berbentuk dua bait pantun dari balik bukit. Nyaring dan bergema dipantul-pantulkan tebing. Bunyinya:

Nang Pasar Turi telek tampar

Manten anyar jarike udhar

Senajano onok bledhek ngampar

Persatuan kita ojok ngantek buyar

Menyang Kenjeran klempoken semur

Tape ketan peno rageni

Persatuan kita ojok ngantek luntur

Obahe zaman wis peno ngerteni

Mendengar sumpah dalam bentuk pantun dari balik bukit itu bergegaslah para panakawan ke sana. Tahunya, di balik bukit yang cukup terjal itu majikan mereka, Menteri Negara Urusan Perempuan Arjuna sudah dikepung para raksasa yang dipimpin oleh Cakil. Cakil terpaksa bersumpah bersama para sejawatnya sesama raksasa karena melihat persatuan mereka sudah mulai goyah.

Raksasa-raksasa lelaki yang cenderung suka sesama jenis, banyak yang kesengsem pada Arjuna. Gadis-gadis dan janda-janda raksasa bahkan para istri raksasa banyak yang mulai kasmaran melihat Arjuna. Begitu juga para raksasa tua, ingin punya menantu Arjuna karena pakaian sang calon menantu, walau sederhana, jauh lebih menarik ketimbang pakaian para diyu alias raksasa.

Gareng menelepon Cangik, setelah tersambung telepon Gareng berikan kepada Cakil. Cangik bertanya kepada Cakil, wis tuwek gerang daplok kok ndak malu main sumpah-sumpahan. Cakil mendongak, ngakak dengan suara falseto nada tingginya yang khas. ”Kami tuh lain dibandingkan dengan manusia. Kami orangya tidak plin plan, tidak mencla-mencle, jadi kalau bersumpah pasti bisa melaksanakan…”

”Apa itu namanya…ehmmm…konsisten?” tanya Cangik ke Cakil.

”Sangat konsiten. Ya, kami kaum raksasa sangat-sangat konsisten. Manusia tidak konsisten. Manusia dulu makan tumbuh-tumbuhan. Makan hewan. Sekarang mereka juga mulai makan semen, sampai-sampai banyak bangunan SD yang runtuh akibat kekurangan semen. Mereka makan kayu juga, sampai hutan-hutan ludes. Padahal hutan tuh bagi kami para raksasa seperti mal. Manusia bikin mal. Kami kehilangan mal. Mereka juga makan saudara-saudaranya sendiri sebangsa, akibatnya kami para raksasa berkurang pangannya, karena manusia sudah dimakan oleh manusia sendiri.”

Gareng, Petruk, dan Bagong mulai panas mendengar celotehan dan ocehan para raksasa. Menteri Negera Urusan Perempuan juga mulai gerah. Semar tanggap. Semar memberi isyarat agar semua diam. Semar memberi sasmita agar sekali-kali manusia menjadi pendengar yang baik untuk bala raksasa. Belajarlah sampai ke negeri Cina, itu juga berarti bahwa kebenaran ada di mana-mana. Maka belajarlah…belajarlah…

Cakil merasa mendapat angin. Dilanjutkanlah khotbahnya. Dakwahnya, ”Untuk melaksanakan sumpah, satunya kata dan perbuatan, kami juga tanpa pamrih. Di sekolah-sekolah, di kantor-kantor, di rumah-rumah, yang dipajang itu wayang atau foto Arjuna. Mana ada guru-guru bangga memajang wayang Cakil di ruang kelas? Ah, kami nggak peduli.”

”Jogetnya Arjuna dibanding jogetnya Cakil yang pethakilan dan pencilakan kayak breakdance susahan mana? Susahan joget kami kan? Belum harus salto-salto, koprol-koprol. Tapi kami tetap saja melakukan tarian sing kemringet itu. Padahal bayarannya besaran bayaran sing dadi Arjuno. Kenapa? Karena kami konsisten! Kami sudah bersumpah untuk menari gaya Cakil. Kami ini memang seniman yang ”disegani” alias mung dibayar ambek sego atawa nasi.”

”Kami juga bersumpah hanya makan manusia. Apakah nanti perhiasan mayat manusia kayak gelang Limbuk yang besarnya segede peleg becak itu juga kami makan? Tidak! Kami konsisten dengan sumpah hanya akan makan tulang dan daging dan darah dan sumsum manusia. Tidak yang lain-lainnya. Sekarang baru saja kami bersumpah untuk persatuan para raksasa, ya bahasanya, ya bangsanya, ya tanah airnya…Apakah kalian masih akan meragukan sumpah kami wahai manusia?”

*) Sujiwo Tejo, tinggal di www.sujiwotejo.com

Disadur Sepenuhnya dari Jawa Pos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo