Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 119 Wisanggeni Gugat

11,188 Views

Episode119Sudah dari zaman sebelum Sawunggaling namanya kraton ya bisanya cuma tiru-tiru masyarakat. Ada tari-tarian model ledek atau tayub yang semarak di udik. Para punggawa kerajaan mergoki. Ndilalah kesengsem. Diusunglah jogetan itu ke istana. Mereka dandani. Mereka poles. Jadilah aneka jenis tari bedaya kraton yang adiluhung. Wong-wong cilik sampai pangling. Mereka ndak sadar bahwa semua itu berasal dari dusun-dusun seputar sawah ladang dan pesisir.

Sudah berapa tahun belakangan ini Cak Nun alias Emha Ainun Nadjib membikin kenduri cinta. Mungkin karena itu juga penguasa membikin lingkaran kenduri yang sama. Namanya saja yang mereka ganti. Bukan kenduri tetapi koalisi. Tepatnya koalisi cinta. Itulah yang kemarin-kemarin ramai disorot oleh layar kaca. Mereka yang pro bilang pernikahan antar-partai itu lebih gemebyar dibanding pernikahan putri Sultan HB X. Mereka yang tidak pro bilang, masih lebih meriah sekaligus merakyat pernikahan kraton Yogya.
Ah, embuh, wis.

“Lho, jangan ditelan bulat-bulat kabeh yang diomong Pak De Gareng tadi,” bisik ponokawan Limbuk kepada temannya yang mau berangkat jadi TKI di Malaysia.

Ya, seperti sudah berkali-kali disebutkan, Gareng kadang orangnya memang sok tahu. Tapi soal tarian istana banyak mengambil unsur-unsur tari rakyat jelata itu ada benarnya. Pakar budaya sekaligus pengamat tari Edi Sedyawati pernah menyebut begitu juga.

“Apa tiap omongan Pak De Gareng ndak perlu kita dengar? Kata bulekku kita harus mendengar saja apa yang diomong orang, jangan lihat siapa yang ngomong?”

“Betul, Bulekmu,” Limbuk sembari unjal napas. “Aku tadi cuma wanti-wanti ke kamu sebelum sampai di Malaysia. Nanti kalau dengar ini itu tentang Indonesia, jangan langsung percaya. Banyak sas-sus. Banyak selentingan. Kabar burung.”
“Katanya Bu Nunun dalam pelarian dikawal Polwan ya…?Terus nanti katanya Nazar bakal mencabut keterangannya bahwa Mas Anas dan Mbak Angelina terlibat …Itu gosip, Limbuk?”

“Ah itu sas-sus. Sama saja, katanya pesawat penerbangan internasional yang mau mendarat di Indonesia harus izin dulu ke Singapura atau negaramu yang baru itu, Malaysia. Itu kan baru kabar burung…”
“Tapi kalau kasus Wisma Atlet masih dibuka kan, Mbuk?”
“Nah, kalau itu jelas sudah ditutup. Kan Sea Games sudah ditutup. Kamu nggak nonton ya? Hahahaha….”
“?”

***

Teman limbuk yang akan berangkat jadi TKI di Malaysia itu dulunya kaya raya. Namanya Lumpur Lapindo-awan. Biaya pernikahan anaknya saja 400 Milyar rupiah, sekitar 10 kali lipat dari konon biaya pernikahan agung di Istana Cipanas. Sayangnya buwuh undangan paling banter cuma Rp 25 ribu. Bangkrutlah dia. Terbersit keinginannya menjadi bupati atau gubernur agar bisa kembali kaya, atau menjadi pemain bola setajir Lionel Messi.

Siratan pikiran itu lekas-lekas dikuburnya begitu ia bertemu Wisanggeni. Menurut Wisanggeni, anak Arjuna dengan Dewi Dersanala, selama bisa meninggalkan Tanah Air, tinggalkan dulu tumpah darah ini untuk sementara.

“Aku bersama para pemuda akan lebih dulu menegakkan keadilan. Akan kami kembalikan lebih dulu semuanya kepada yang berhak. Kalau nanti keadilan sudah tegak, kalau nanti segalanya telah berpulang kepada yang berhak, kamu baru boleh pulang ke Tanah Air,” ujar Wisanggeni dengan suaranya yang khas, tinggi dan polos seperti suara bocah.

Kenapa ia manut pada Wisanggeni. Harap maklum. Pemuda Wisanggeni bukanlah orang sembarangan. Ia hanya sekali-sekali turun ke mayapada. Tempat tinggalnya di Kahyangan Duksinageni. Ibunya, Dewi Dersanala, bukanlah perempuan biasa. Ia putri dewa api Batara Brama. Wisanggeni sendiri harafiah berarti “bisa api”.

Banyak yang percaya Wisanggeni, sesuai namanya, punya idu geni, yaitu kata-katanya mandi. Tak cuma seorang dua orang yang mengikuti petunjuk Wisanggeni. Banyak. Berkampung-kampung termasuk si bangkrut yang kini akan ke negeri jiran haqqul yakin terhadap omongan bocah yang tampak polos itu.
***
Ketika penduduk semakin berkurang karena pada melanglang menjadi tenaga kerja di tanah rantau, Wisanggeni mulai beraksi. Mungkin, pikirnya, jika terjadi huru-hara, tak perlu banyak korban warga sipil. Mereka sedang pada jalan-jalan ke manca negara menjadi TKI.

Wisanggeni mendatangi kraton Astina. Ia ingatkan agar sulung Kurawa Prabu Duryudana mundur baik-baik sebagai raja Astina lantaran yang berhak atas tahta Astina adalah Puntaweda dari blok Pandawa. Jangankan mundur. Duryudana malah menantang Wisanggeni untuk berperang. Duryudana merasa sangat “pede” apalagi didukung oleh koalisi cinta Prabu Manik Manginten dari kerajaan Parangrukmi. Selain itu, di pihak Kurawa kini ada Pandita andalan baru bernama Resi Century-awan dan Resi Wisma-atlet-awan.

Wisanggeni tak mau meladeni tantangan Duryudana. “Ndak level,” batinnya. Soal perang menghadapi Kurawa dan koalisi cinta mereka dari Parangrukmi dipasrahkan oleh Wisanggeni kepada saudara-saudaranya sesama pemuda. Mereka antara lain Gatutkaca, Antareja, Antasena, Abimanyu, Irawan dan Sumitro.

Wisanggeni bablas ke Ondar-andir Bawono. Ia obrak-abrik kahyangan tersebut dan mencari pemimpinnya, yaitu Batara Guru dan Batara Narada. Ternyata keduanya tak ada. Kecurigaan Wisanggeni ketika datang sebelumnya ke kraton Astina kini punya titik terang. “Berarti benar dugaanku,” pikir Wisanggeni, “Resi Century-awan dan Resi Wisma-atlet-awan itu adalah Batara Guru dan Batara Narada…”

Wisanggeni balik lagi ke bumi. Ia kembali ke kahyangan dengan nyangking Gareng dan Bagong. Keduanya ia dandani menjadi Batara Guru dan Batara Narada. Kahyangan menjadi semakin kacau karena para dewa melaksanakan perintah Batara Guru dan Batara Narada gadungan.

Kegaduhan kahyangan merembet sampai ke mayapada di muka bumi. Kedua pandita Astina harus memutuskan tetap berada di pihak Kurawa yang nyaris menang melawan anak-anak Pandawa. Atau, keduanya kembali ke Ondar-andir Bawono.

***

Disadur selengkapnya dari Jawa Pos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo 27 November 2011