Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 120 Dewa Ruci versi Saridin …

6,415 Views

Episode120“Ceritakan padaku tentang Parikesit,” pinta Mbok Rondo Ndadapan ke lurahnya.
Pak Lurah ringkas bercerita. “Parikesit itu anak Abimanyu. Cucu Arjuna to artinya. Nah, bayi ini hidup setelah ambruknya dinasti Kurawa. Itu sehabis perang Baratayuda. Orang-orang percaya, Parikesit ini cikal bakal raja-raja di tanah Jawa mulai dari Kediri.”

“Kok bisa ada hubungan antara dunia wayang dan dunia kenyataan?”
“Lho, coba, Mbok Rondo Ndadapan, melu-meluo mikir. Di dunia ini apa yang tidak bisa dihubung-hubungkan. Jambul Syahrini dan tato David Beckam bisa ndak onok hubungane, tapi bisa juga dihubung-hubungkan. Lho wong Madura dan Jawa yang awalnya ndak ada hubungannya akhirnya juga sudah bisa dihubung-hubungkan dengan Jembatan Suramadu. Hayo?”
“O iya. Bener, Pak Lurah.”

“Kamu kira Saridin yang kamu ajak kemana-mana itu nggak ada hubungannya dengan Wali Songo…?”
“Walah? Begitu, Pak Lurah?” Mbok Rondo Ndadapan terbelalak.

Perkutut kembali berkumandang di tiang bambu halaman kelurahan. Lelaki bernama  Saridin di samping Mbok Rondo masih melongo seperti ekspresi orang-orang dalam antrean pembelian HP baru yang menelan korban.

“Begini, Mbok Rondo Ndadapan, dengarkan saya,” Pak Lurah berlanjut. “Dulu Kanjeng Sunan Kalijaga punya hubungan dengan Syekh Rido. Beliau juga orang sakti. Hmm…tapi waktu itu kan baru zaman Islamisasi …”

“Maksud Pak Lurah?”
“Maksud saya, zaman para wali itu kita lebih sibuk melakukan Islamisasi ketimbang Arabisasi …”
“O, jadi, maksud Pak Lurah, sekarang kita lebih sibuk melakukan … apa itu…melakukan Arabisasi ketimbang Islamisasi…?”

“Wah, itu bukan saya yang ngomong lho. Tapi kamu, Mbok Rondo Ndadapan. Nah, pada zaman itu, meski memeluk Islam, orang-orang nggak ke-Arab-Arab-an. Logat dan aksen bicara kita juga nggak di-Arab-Arab-Kan. Nama ‘Syekh Rido’ susah bagi lidah orang Jawa. Jadilah ‘Syekh Rido’ diucapkan ‘Saridin’.”

***

Sejak percakapan pagi hari itu nama Saridin moncer. Tidak secepat mencuatnya nama Ketua KPK yang baru Abraham Samad dan Briptu Norman pada masanya, memang. Namun namanya pelan-pelan dikenal di dusun Ndadapan dan dusun-dusun lain sekitar Surabaya seperti Nggedangan.

Tak jarang bakul jamu gendongan marah-marah ketika sebagian warga mengucapkan nama ‘Saridin’ di-Arab-Arab-kan jadi ‘Syekh Rido’. “Hush! Saridin saja. Ndak usah mekso-mekso jadi wong Ngarab. Nanti lidah sampeyan ketekuk-tekuk lho…”
Warga sepakat.

Setelah didesas-desuskan punya hubungan dengan trah para wali, Saridin yang gemar makan tebu itu akhirnya juga dikenal sebagai dalang. Aneh. Padahal sebelumnya, dia tidak tahu bedanya Kurawa dan DPR. Dia tidak tahu mana Alengka dan mana PSSI. Wong membedakan Cakil dan Arjuna saja dia ndak sanggup.

“Mas Anom Suroto pasti juga geleng-geleng kalau melihat kamu mendalang,” puji Mbok Rondo Ndadapan.
Saridin tidak tersipu-sipu seperti manusia pada umumnya kalau dipuji. Matanya tetap menerawang ke makam Sunan Drajat. Ia malah seperti tak mendengar sanjungan apa-apa. Suwung.

***

Malam itu, Jumat Legi saat Wuku Marakeh, Saridin mendalang semalam suntuk dengan lakon terkenal Dewa Ruci. Kurawa yang pusing kehabisan akal untuk membunuh Bima dari Pandawa kini mendapatkan titik terang. Pandita Durna, pujangga kraton Astina yang tampak berada di pihak Kurawa punya ide.

“Gampang, Ngger Prabu Duryudana,” kata Durna pada Raja Astina. Durna yang juga guru Kurawa-Pandawa menyuruh Bima pergi ke gunung Reksamuka untuk mencari Kayu Gung Susuhing Angin. Yakinlah para Kurawa saat itu bahwa Bima akan mampus diuntal raksasa bernama Rukmuka dan Rukmakala yang menjaga hutan Tikbrasara.

Ternyata dalam sanggit atau versi Ki Dalang Saridin, penunggu hutan angker bukanlah Rukmuka dan Rukmakala yang masing-masing malihan dari dewa keindahan Batara Indra dan dewa angin Batara Bayu. Penunggunya jebul  ponokawan Petruk dan Bagong.

Keduanya tidak memberikan Kayu Gung Susuhing Angin, malah cuma amplop tertutup berwarna merah kuning biru. Bima segera pulang menemui gurunya, Durna. Prabu Duryudana dan segenap Kurawa mangkel kok ternyata Bima tak mati-mati. “Sabar, sabar. Saya punya jalan lain. Kali ini Bima pasti mampus,” Durna tampak terbata-bata.
Durna mengajak Bima mojok. “Mana Kayu Gung Susuhing Angin?”

Bima memberikan amplop tertutup merah kuning biru. “Hmmm, Guru. Menurut kedua dewa di hutan Tikbrasara gunung Reksamuka, kamu harus mampu membaca isinya tanpa membuka amplop.”

Di situlah Durna tampak ngundat-undat Bima. Di tangan Ki Dalang Saridin, tak jelas apakah Durna pura-pura marah atau marah beneran. Yang jelas, suara Durna meninggi.

“Bima!!! Kamu menghina kesaktian gurumu di Sokalima!!! O, lole, lole, prit gantil buntute omah joglo …Kamu kira aku tak tahu isi amplop itu!!!??? Kamu meragukan kemampuan penerawanganku, Bima!!! Bukankah isinya daftar siapa saja penerima duit kasus Century!!!???”

Bima kaget dan memohon ampun.
“Maaf saja tidak cukup, Bima. Menceburlah ke laut selatan. Carilah Kayu Gung Susuhing Angin di dasar laut!!!” Bima tak tahu bahwa Durna ngomong itu sambil mesem penuh kasih sayang.

***

Di dasar laut, setelah Bima bertempur melawan naga raksasa, naga tidak badar menjadi Dewa Ruci, malah salin rupo menjadi Gareng. Yang diwejangkan Gareng kepada Bima juga bukan ilmu Manunggaling Kawula Gusti.
Ki Dalang Saridin puya versi lain. Melalui Gareng, ia wanti-wanti begini kepada Bima: Ambruknya dinasti Kurawa ditandai oleh munculnya Parikesit. Ambruknya jembatan Kutai Kartanegara ditandai oleh peran Rumah Sakit Parikesit. Korban-korban dirawat di situ.

Jembatan berarti penghubung. Semua bisa dihubung-hubungkan, Bima. Maka hubungkan-hubungkanlah sendiri seluruh kata-kataku di dasar laut selatan ini.
Sudah sana Bima, mentaslah dari laut. Mbok Rondo Ndadapan di lumpur Lapindo sudah lama menunggu-nunggumu.