Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 121 Bakar Sinta Depan Istana …

5,571 Views

Episode121Sekolah dasar yang pernah disambangi walikota Surabaya Bu  Risma itu ancene tergolong giat. Coba to, hampir tiap hari-hari besar mereka bikin program ekstrakurikuler. Salah satu contohnya ya sekarang. Mereka mengirim wartawan-wartawati cilik ke banyak nara sumber buat majalah dinding sekolah.

Pagi-pagi mruput kedua bocah itu sudah ndeprok di rumah Empu  Tantular. Mereka ingin wawancara seputar wayang. Bu guru ingin  menanamkan wayang sejak dini ke para murid. Bu guru takut Indonesia  keduluan Malaysia dalam menulis buku sejarah wayang. Sekarang saja  negeri jiran itu sudah meluncurkan kitab tentang sejarah batik. Opo  tumon coba.

Hmmmm….

Pagi mana milik Osamah

Burung gereja di kubah masjid,

Soal nama bolehlah sama

Orangnya saja yang beda nasib

Di kampung daerah Menanggal Empu Tantular bernasib sebagai dalang. Nama aslinya tak ada yang tahu. Bisa saja Sapari atau Cak Dullah. Yang jelas lelaki berjenggot itu bukanlah Empu Tantular dari kisah Mahapahit.

“Saya juga bukan Robert Tantular,” jelas lelaki berjenggot itu kepada kedua bocah yang menunggunya sejak bang bang wetan. Keduanya melongo. Mereka seakan tak tahu-menahu siapa itu Robert Tantular.

“O, baiklah… Robert Tantular adalah tokoh yang membikin semboyan Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa dalam bukunya Kakawin Sutasoma,” kembali lelaki berjenggot dan bermata sayu itu menjelaskan.

“Lho, Pak De, bukankah Robert Tantular itu yang ada di kasus Century yang masih terombang-ambing?” anak-anak mulai protes. “Bukankah Kakawin Sutasoma yang memuat semboyan itu karangan Empu Tantular?”

Pak Jenggot sibuk bicara dengan istrinya. Ia tak mendengar protes kedua anak kecil. Ia lebih sibuk menyiapkan sarapan pecel Madiun buat tamu-tamu kecilnya. Yang lelaki rambutnya diminyaki dan belah pinggir. Yang perempuan rambutnya diikat dua jalinan.

***

Sembari memamah rempeyek dan nasi pecel, yang perempuan bertanya, “Pak De, kenapa Dewi Sinta tidak menikah dengan Pak SBY?”

“Karena Pak SBY sudah menikah dengan Bu Ani, Nduk…Malah sudah beranak pinak. Yang bungsu namanya Mas Ibas…”

“Kenapa Dewi Sinta tidak menikah dengan Mas Ibas…?”

“Karena Mas Ibas baru saja menikah, Nduk. Menikah dengan…”

“Oooo…” wartawati cilik ini memotong lalu sangat sibuk membuat catatan di buku sakunya.

Kini giliran wartawan lanang. Ia penasaran, kok pas ngirim duta ke negeri penculik Sinta, suami Sinta agak aneh? Yang diutus oleh Prabu Ramawijaya itu kok malah Hanuman? Aneh. Padahal titisan wisnu itu kan bisa saja menitahkan Raden Gatutkaca sebagai duta ke negeri Alengka?

Empu Tantular tampak malas menjawab. Untuk mengalihkan perhatian, ia ajak kedua tunas bangsa itu ke kebun binatang di Wonokromo. Keduanya keberatan. “Kami jauh-jauh ke Menanggal sini kan mau interview Pak De Empu Tantular soal wayang, bukan soal binatang,” kata mereka.

“Lho, ini bukan binatang. Lihat saja nanti …”

Akhirnya anak-anak itu mau turut serta. Ternyata isi kebun binatang sudah bukan hewan-hewan lagi. Isinya justru manusia-manusia terpidana kasus korupsi. Rupanya ide Ketua Mahkamah Konstitusi Pak Mahfud MD sudah kesampaian.

Ketika mampir ke bekas kurungan ular, anak-anak bertemu koruptor yang sangat menggemari wayang. Empu Tantular mempersilakan anak-anak bertanya ke penghuni baru kurungan piton itu.

“Karena waktu itu orangutan-orangutan dibantai,” jelas si koruptor tentang mengapa Prabu Rama mendutakan Hanuman. “Prabu Rama pengin memilih orangutan sebagai duta. Tapi ndilalah orangutan sudah punah. Nah yang paling pleg wujud orangutan kan monyet, yaitu Hanuman. Maka Hanumanlah yang ketiban sampur…”

***

Mahabarata dan Ramayana

Masing-masing, Dik, beda asrama

Maka bertanya dan tak dinyana

Penyidik tersidik dalam asmara

Selidik punya selidik, kedua bocah wartawan akhirnya tahu bahwa Sinta hidup di masa Ramayana. Gatutkaca di era Mahabarata. Ndak mungkin Gatutkaca ketemu Sinta. Sedangkan Hanuman hidup di kedua zaman. Masih mungkin ia jadi duta menemui Sinta. Benar begitukah?

Esok harinya kedua siswa tersebut kembali ke kurungan ular di kebun binatang untuk mendapatkan kepastian. Hah? Mereka kaget. Kini kebun binatang telah kembali diisi lagi oleh para fauna. Tak ada lagi koruptor. Rupanya gara-gara kemarin Hari Antikorupsi. Cuma sehari. Sekarang sudah bukan Hari Antikorupsi lagi. Semua orang boleh korupsi. Koruptor-koruptor pun dilepaskan kembali dari kebun binatang.

Sedihlah kedua bocah tersebut sambil kembali berkunjung ke seorang dalang di Menanggal. Di dalam sedih keadaan mak pet gelap. Di wanci panglong alias dalam kegelapan, berkumpullah para jim, syetan, brekasaan engklek-engklek dan waru doyong. Semuanya mengecoh pancaindra kedua bocah.

Empu Tantular mengatakan bahwa di depan istana ada manusia yang melakukan protes dengan membakar diri. Seolah demonstran ini Sebastian Acevedo di Chile. Apa yang ditangkap oleh telinga dan batin kedua siswa?

Yang kedua bocah itu pahami, Dewi Sinta sedang dibakar di depan istana. Apinya seperti api Monas di depan istana. Kenapa dibakar? Karena, setelah diculik oleh Rahwana selama bertahun-tahun, rakyat Ayodya meragukan kesucian Sinta. “Jika Sinta masih suci dan setia pada Prabu Rama, tubuhnya tidak akan hangus,” begitu pikiran sebagian rakyat Ayodya.

Yang kedua bocah itu pahami, Dewi Sinta memang tidak terbakar. Dewi Sinta telah lolos entah kemana. Konon sukmanya menyusup ke seorang walikota perempuan. Secara ajaib keberadaannya di dalam api sudah digantikan oleh ponokawan Gareng Petruk Bagong. Ketiganya hampir gosong.  Untung cepat dilarikan ke rumah sakit. Tapi pelayanan rumah sakit tak begitu bagus sampai-sampai Walikota Bu Risma mencak-mencak khas perempuan Jawa Timur.

*Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com / twitter @sudjiwotedjo