Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 123 Bukan Inspirasi Suster Ngesot

6,425 Views

Episode123Pekerjaan yang sudah lama diindam-idamkan Petruk sepensiun membabu di Pandawa adalah menjadi ratu alias presiden. Kebetulan kecilnya dulu ia sering didongengi lakon Petruk Dadi Ratu. Ini kisah tentang kere munggah bale, yaitu gembel menjadi pemimpin. Apa salahnya punya mimpi? Toh banyak juga sekarang kere munggah bale?

Aaah, sayangnya jabatan tersebut baru kosong 2014.

Sambil menunggu waktu yang mungkin juga dinanti-nantikan oleh Pak Aburizal Bakrie, Pak Wiranto, Pak Prabowo Subianto dan lain-lain itu Petruk menjadi pengusaha kelapa sawit. Hidupnya sempat lumayan kaya dengan rumah magrong-magrong. Banyak aktivis yang biasa bengak-bengok datang menodong sumbangan.

Nah, pas malem Rebo Legi  Petruk dapat mimpi ndak enak. Dalam mimpi jelang Subuh, yang biasa disebut mimpi puspo tajem, dia melihat perempuan bukan suster ngesot. Cantiknya mengalahkan bintang baru Hollywood Megan Fox. Perempuan berambut terurai itu duduk di atas nisan. Matanya tak henti-henti memandang kamboja pas tengah malam.

“Hai Pateruk…” desisnya seperti memanggil Petruk. “Kamu memang kaya raya. Bisnis kelapa sawit memang bikin ngiler. Tapi hidupmu nanti akan terus menerus kehausan. Lantaran kepala sawit itu boros menguras air tanah…”

Aduh merinding Petruk mendengarnya. Badannya lebih panas dingin dibanding pas dulu ia dengar tembang Lingsir Wengi pada malam Jumat Kliwon di Bima yang kini bergolak. Ketika perempuan di tanah kubur itu bangkit, hiiii Petruk melihat busananya yang serbaputih ternyata sobek-sobek. Kulit pinggang dan punggungnya tampak di sana-sini dengan bercak luka.

“Mimpi saat puspo tajem. Itu impen-impen yang akan menjadi kenyataan. Mungkin itu pertanda, kakang harus menjadi tukang jahit,” saran Undanawati. Sama sekali tak ada rona ketakutan pada wajah istri Petruk itu. Ia handuki suaminya yang bernafas masih melar-mingkus pas terbangun menjelang terang tanah di dusun Kembang Sore.

***

Entah sudah berapa bulan Petruk dan istrinya membuka usaha jahitan tapi tak satupun orderan datang. Setiap melihat ibu-ibu dasteran pagi-pagi, mereka berharap ada daster yang sobek. Tapi semua daster tak ada yang suwek-suwek.

“Itulah keberhasilan Pak De Karwo memimpin Jawa Timur, semua daster penduduk ndak ada yang memet, ndak ada yang cabik-cabik,” tukas ponokawan Gareng.

Setiap ada pertemuan partai yang disiarkan televisi, Petruk dan Dewi Undanawati paling senang menunggu yel-yel partai. Pas hadirin memekikkan semboyan-semboyan sambil mengepalkan tangan ke atas, di situlah mereka berpeluang melihat kalau-kalau ada anggota partai yang bajunya sobek di ketiak. Ternyata tak ada.

“Itulah keberhasilan partai-partai. Ndak ada pengurus yang sampai sobek kelek bajunya gara-gara ndak mampu beli baju,” giliran ponokawan Bagong urun pendapat.

Petruk dan istrinya pusing dengan usaha jahit-menjahitnya. Mengharapkan orang menjahitkan bajunya yang dedel sudah ndak mungkin. Sedangkan ngarep agar masyarakat menjahitkan baju baru juga ndak mungkin. Bagi penduduk, lebih murah beli baju jadi bikinan Cina.

Eh, di siang bolong itu ternyata perempuan berambut panjang dalam mimpi Petruk seakan muncul dalam wujud burung kepodang. Dari lagu ocehannya, Petruk mendapat pertanda. Ia sebaiknya mengubah usaha jahitnya menjadi usaha sulam-menyulam gambar wayang.

***

Sulaman pertama yang dikerjakan pasangan Petruk-Undanawati adalah gambar ketika Sekretaris Jenderal Dewata, Batara Narada, menerawang ksatria di kejauhan. Saat itu Batara Narada sedang membawa senjata Kunta. Ia duga ksatria tersebut Arjuna dari blok Pandawa. Padahal, dalam sulaman kedua, ksatria tampan yang sedang bertapa tersebut Adipati Karna dari blok Kurawa.

Wah, orang-orang suka. Maka sulaman jenis pertama dan kedua masing-masing dibikin banyak. Apalagi setelah kemudian bisnis ini melibatkan banyak karyawan.

O ya, seluruh sulaman dikerjakan oleh Petruk-Undanawati di atas kain mori, kain yang biasa dipakai untuk kafan. Warna-warni benang yang mereka pakai mengingatkan wewarnaan pucat pada karangan bunga kematian. Anehnya, makin pucat-pasi warna sulaman Petruk-Undanawati dan makin mengingatkan pada kematian, makin orang-orang menyukainya. Wuuiih…Orang-orang yang datang melebihi ramainya orang datang memburu tas dan sepatu di Tanggulangin, Sidoarjo.

“Dik, Petruk, mana sulaman yang ketiga?” seorang tokoh penasaran akan cerita wayang selanjutnya. Wajahnya mirip Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.

Untuk melegakan “Mas Anas” dibikinlah sulaman ketiga, gambar ketika Batara Narada salah menyerahkan pusaka pamungkas Kunta kepada Bu Ani, eh, Adipati Karna. Narada menerka sosok yang diterawangnya itu Arjuna. Soalnya keduanya memang jambe sinigar, pinang dibelah dua. Keduanya sama-sama anak kandung Dewi Kunti. Arjuna dari Dewa Indra. Karna dari Dewa Surya. Di bawah sulaman tertulis tanggal “22 Desember”.

“Ini untuk memperingati Hari Ibu. Bahwa tidak setiap perempuan adalah seorang ibu yang baik,” jelas Dewi Undanawati.

***

Masyarakat marah karena Dewi Undanawati menjelek-jelekkan Dewi Kunti. Pasalnya, sebelumnya, Nusantara sudah telanjur mengidolakan ibu para Pandawa itu. Mereka bangga mempunyai Dewi Kunti yang menjadi inspirasi kemerdekaan kaum perempuan. Dengan aji-aji pemberian Resi Druwasa, yaitu aji Cipto Wekasing Roso Sabdo Tunggal Tanpo Lawan, Kunti bisa memanggil dewa manapun yang sedang dicintainya.

“Gitu ya? Apakah kita harus mundur lagi pada zaman sebelum Kongres Perempuan di Yogya 22-25 Desember 1928? Mundur lagi pada zaman perempuan nggak boleh gaol?” protes seorang aktivis perempuan.

Alhasil bisnis sulaman Petruk-Undanawati gulung tikar. Mereka ingin balik ke usaha menjahit, tapi ya percuma juga. Sepi. Sampai suatu hari pasangan itu kaget melihat antrean manusia begitu panjang. Mereka antre minta dijahit mulutnya untuk aksi demonstrasi. Sebagian besar mereka pemilik tanah adat yang tergusur bisnis kelapa sawit.

***

Disadur selengkapanya dari Jawa Pos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo (http://digital.jawapos.co.id)