Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 126 Untung Suropati, Untung Ada Saya

4,970 Views

Episode126INI bukan “Untung Ada Saya”, tapi “Untung Suropati”. Paham? “Ndak paham. Bedanya apa, Pak Lurah?”

Bedanya, “Untung Ada Saya” adalah celetukan yang membuat pelawak almarhum Gepeng melejit. Itu dekade Srimulat 80-an. Sedangkan Untung Suropati adalah bocah temuan bajak laut di Bali. Ia diewer-ewer ke Makassar oleh bajak laut, lalu diambil alih dan diangkut ke Batavia oleh kumpeni. Mereka mendidik dan membesarkan Untung. Eh, ujung-ujungnya, Untung malah ngantemi kumpeni. Pemberontakannya ke orang-orang Belanda meluas dari tanah Priangan sampai Cirebon dan lain-lain.

“Bedanya dengan Prabu Narakasura,” kata ponokawan Gareng ke Cangik setelah ikut pertemuan pagi di kelurahan itu, “Untung Suropati punya guru ngaji. Tapi, guru ngajinya bukan seleb.”

Cangik, ponokawan perempuan kurus kerontang, mlongo terheran-heran. “Emang ndak boleh to kalau guru ngajinya seleb, Kang Gareng?”

Bagong nyeletuk, “Halah itu kan karena Kang Gareng iri saja ke guru-guru ngaji selebriti karena mereka tajir-tajir. Kekayaannya juga sering dipamer-pamerkan di teve. Iya kan?”

“Sudah, Gong,” Petruk melerai, “Jangan su’udon pada Kang Gareng.” “Lha Kang Gareng sendiri juga berprasangka ndak baek pada guru-guru ngaji di tipi-tipi kok Truk,” Bagong ngotot.

Akhirnya, Gareng menggamit tangan Cangik. Diajaknya Cangik cuma berdua di gardu sudut desa. Tahu petis tak lupa mereka bawa serta. “Di sini lebih enak. Di sana bincang-bincang kita diganggu bedhes-bedhes itu,” kata Gareng, mengetus.

***

Untung Suropati punya guru ngaji di Batavia. Namanya Kiai Embun. Dia suhu silat sekaligus. Dari Kiai Embunlah, Untung tahu agama bukan soal nikmat-nikmatan pribadi maupun tangis-tangisan pribadi. Agama justru perbuatan nyata untuk menegakkan keadilan dan kemakmuran, terutama bagi bangsa sendiri.

Dari Kiai Embun, Untung Suropati juga paham bahwa memerangi suatu kaum tidak berarti harus membencinya. Dasarnya cuma menegakkan keadilan. Begitu juga memerangi Belanda tidak berarti harus membenci Belanda.

Lihat tuh! Untung Suropati menjalin cinta dengan Suzana, perawan Belanda. Malah akhirnya mereka dinikahkan di bawah tangan oleh Kiai Embun. Wah, ini tambah membuat Belanda marah terhadap Untung. Dipenjaralah Untung. Tapi, jagoan di penjara pun, si Entong Gendut, dikalahkan oleh Untung. Untung menjadi jagoan baru di bui dan memimpin pemberontakan para narapidana.

Sambil melahap sisa tahu petis, Cangik mulai merenung-renung, “Ceritamu itu kok mirip-mirip cerita Prabu Narakasura ya, Kang Gareng?”

Gareng menjilati petis sambil kethapkethip berpikir, “Memper-memper-nya di bagian mananya?”

“Ya Untung digadang-gadang Belanda akhirnya melawan Belanda. Prabu Narakasura dari negara Surateleng kan dibesarkan oleh Prabu Bomantara ….”

“Bomantara dari Kerajaan Trajutresna?”

“Yup. Akhirnya waktu dirasa-rasa kerajaannya akan dikuasai oleh Bomantara kan Narakasura ndak tidur saja. Dia bangkit. Dia melawan. Dan dia menang.”

Gareng cekikikan, “Wah, pinter kamu, Cangik. Kok aku malah nggak kepikir ya?”

“Artinya begini,” kata Bagong yang ujuk-ujuk sudah menyusul ke gardu sudut desa itu dan nimbrung.

Gareng baru saja akan garuk-garuk kepala karena dia menyangka Bagong akan ngacau lagi. Tapi, ternyata lain. Dengarlah kata Bagong, “Arti cerita kamu tadi itu, meski kita sudah dibantu oleh Amerika, Inggris, Jepang, Prancis, dan lain-lain, kalau akhirnya mereka mau menguasai kita, ya harus kita lawan.”

Gareng tidak jadi garuk-garuk kepala. Dia malah menepuk-nepuk pundak adiknya pertanda bangga bersamaan dengan guguran daun trembesi. Tapi, Bagong mengelakkan tangan Gareng. “Perkara kita belum selesai, Kang Gareng,” ujarnya. “Aku masih ndak terima kamu memburuk-burukkan ustad-ustad di televisi.”

Petruk kembali mencoba mene ngahi. Dia memang orang yang selalu yakin bahwa seluruh percekcokan, termasuk segala cekcok di Nusantara, bisalah diatasi. Sesudah didamaikan Petruk, Gareng bukannya tidak mau terus berdamai. Dia cuma kembali menggamit lengan cangik yang ke rempeng. Mereka pindah ke kelurahan tempat kumpul-kumpul pagi tadi, yang di senja ini sudah sepi.

***

Di kelurahan, Cangik masih terkesan cerita Gareng bahwa berperang bukan berarti membenci yang diperangi. Wah Gareng akur sekali. Makanya, kata Gareng, di zaman dahulu menewaskan musuh tidak disebut “membunuh”, tapi “menyempurnakan”. Tanpa kebencian.

“Bukan ta’ pateni, aku bunuh, tapi ta’ sampurna’ke. Kalimat ta’ sampurna’ke itu berarti kamu tak ingin melihat musuhmu menderita terlalu lama di dunia, baik menderita karena kesombongannya, menderita karena kekayaannya, maupun menderita karena keangkaraannya …. Maka, kamu terpanggil untuk memulangkannya ke hadirat Gusti Yang Maha Kuasa ….”

Lihatlah Bagong sudah kembali menyusul lagi dan sudah memberi wejangan. Gareng, meski tidak suka disusul Bagong, tidak bisa mengusirnya karena wejangan Bagong benar.

“Tanpa kebencian. Setuju!” Petruk menimpal. “Meski memerangi Belanda, Untung Suropati menikahi gadis Belanda, Suzana. Prabu Narakasura ‘menikahi’ nama musuhnya, Prabu Bomantara. Sepeninggal raja Trajutresna itu, Narakasura menjuluki dirinya sebagai Prabu Boma Narakasura, penguasa baru gabungan Kerajaan Surateleng dan Trajutresna.”

Ponokawan dan Cangik lalu hening. Waktu merambat ke tengah malam. Kantor kelurahan semakin sepi. Mereka baru sadar kenapa sepi karena perangkat desa akan siap-siap unjuk rasa esok hari menuntut disahkannya Undang-Undang Desa.

Mereka berunjuk rasa di hampir seluruh Indonesia, terutama Jawa, yaitu Banten, Majalengka, Subang, Cirebon, Kuningan, Brebes, Pekalongan, Pemalang, Kendal, Batang, Semarang, Demak, Kudus, Rembang, Blora, Magelang, Kebumen, Klaten, Solo, Karang anyar, Sukoharjo, Sragen, Ngawi, Pacitan, Wonogiri, Kertosono, Jombang, Nganjuk, Kediri, Madiun, Magetan, Ponorogo, Trenggalek, Lumajang, Probolinggo, Situbondo, dan lain-lain.

Demo itu terjadi pekan lalu. Ponokawan dan Cangik hanya bisa berharap semuanya berlangsung tanpa kebencian. Gareng menasihatkan itu justru dengan gaya para dai di televisi.