Pemberantasan buta huruf di alam terbuka itu hampir saja batal. Biang sebabnya? Ada suatu laskar. Adatnya suka bikin gaduh. Nah, di siang bolong itu mereka juga tak kalah gaduh mau main gerebek.
Panglima mereka main hardik, ’’Kenapa hari ini pakaian Bu Guru seksi sekaleee!?’’ Mata lelaki sangar itu merem, tapi telunjuknya menuding-nuding paha Bu Guru.
Keruan saja yang dibentak langsung ciut. Perempuan ayu itu langsung mengerut sampai seperti kerupuk kecelup kuah.
Ancene salahe dhewe, sih.
Lumrahnya, sehari-hari dia memberantas buta huruf dengan kebaya. Cuma sekarang dianggapnya hari istimewa. Istimewanya, setelah berbulan-bulan ngajar sukarela, para siswa sudah mulai lancar baca-tulis, mereka ingin diajar menulis surat kepada Ibu Negara.
Waduh … waduh … girangnya Bu Susi bukan kepalang. Maka, Bu Susi, sang guru berbakti itu, ingin membikin suasana berbeda. Di antaranya, dengan penampakan semlohay.
Coba lihat di kamarnya. Sebelum berangkat mengajar, sambil melukis alis di depan cermin Bu Susi membayangkan anak-anak didiknya nanti sangat berapi-api melihat penampilan barunya. Api itu diharapkannya akan turut mengobarkan inspirasi para murid untuk dituangkan dalam surat ke Bu Besar.
Semacam mukjizat, lalu terjadi.
Tak ada ombak, tak ada angin, laskar gaduh itu mundur perlahan, tanpa ada satu pun kata-kata bela diri dari Bu Guru yang pucet ketakutan. Mungkin karena mereka melas melihat para siswa melongo, ndlahom, patah arang, padahal sudah bersiap-siap mengikuti pelajaran. Kepergian mereka segera disambut tepuk tangan salut dari seluruh peserta didik pemberantasan buta huruf itu, yang rata-rata sudah kakek-nenek.
Di antaranya, ada ponokawan Cangik dan anak satu-satunya, Limbuk.
***
Wah, salah, ding.
Laskar maut ternyata tidak hengkang begitu saja. Sebagian balik lagi membawakan makanan macem-macem. Ada arem-arem. Ada jajan pasar. Semua dibawa untuk para murid. Bu Guru juga. ’’Pak Panglima kirim camilan ini sambil titip salam. Beliau berkata, selamat memasuki alam melek huruf sambil ngemil,’’ ujar seseorang yang ketika balik membawa bingkisan sudah tak bawa-bawa pedang lagi.
Semua siswa senang. Bu Guru senang. Kegiatan belajar-mengajar pun berlangsung penuh semangat.
Ini adalah tulisan kapur Bu Susi di papan tulis, rangkuman dari setiap surat siswa yang sebelumnya dibuat pada masing-masing kertas mereka:
Yth Ibu Negara,
Bu, apa kabar? Kami sekarang sudah bisa membaca. O kami ndak cuma bisa membaca. Kami sudah mulai bisa menulis juga ding. Ibu juga sudah bisa baca-tulis, kan?
Bu. Bu. Itu bukan pertanyaan saya, Bu. Itu pertanyaan Limbuk, Bu. Dia gembrot, Bu. Bu, Limbuk itu anak Cangik.
Terus, terus, surat kami ini tidak salah alamat, Bu. Kami memang tidak ingin surat-suratan ke Bapak Negara kok. Kenapa? Ndak kok, Bu. Kami ndak sentimen ke Bapak Negara. Tapi, kan di mana-mana yang kuasa kan perempuan kan?
Dewi Kunti, Bu, itu contohnya. Pandawa kuatnya ya dari Kunti sebetulnya to. Kunti itu perempuan dari Kerajaan Mandura. Pakai ”n”, Bu. ”N” ketemu huruf ”d” dibaca M-a-nd-u-r-a. Bukan Madura lho, Bu. Tapi, di Madura juga ada, ding. Namanya Mbok Sakerah. Wuih sama kuatnya dengan Dayang Sumbi dia, Bu. Laki-laki takluk. Cepat. Cepat takluk.
Di Yunani Kuno, Bu, dalam kitab Aristophanes, cekcok antara orang-orang Sparta dan Atena diselesaikan juga oleh perempuan. Bukan oleh wong lanang. Namanya siapa hayo?
#Hmmm kasih tahu nggak Eaaa...
Namanya Lysistrata. Horeeee….
***
Angin di antara pohon dan pohon berhenti bertiup. Murid-murid di kelas ruang terbuka itu ribut. Mereka merasa tidak tahu siapa itu Lysistrata. Apa itu Yunani Kuno. Satu sama lain thingak-thinguk saling bertanya siapa yang punya ide membawa-bawa kitab yang ada Phanes-Phanes-nya itu. Tak ada seorang pun yang mengakui.
Akhirnya … Bu Guru ngacung dan cekikikan, ’’Iyaaaaa…. Saya ngaku…. Saya yang iseng nulis sendiri. Apa saya nggak boleh ikutan nulis surat ke Ibu Negara to?’’
Bu Susi lalu menghapus idenya sendiri sembari melanjutkan rangkuman surat. Isinya sangat bervariasi. Sejak pertanyaan ke Ibu Negara tentang mengapa sekarang banyak preman, mengapa ada maling ala Robinhood yang belum lama ini ditangkap, mengapa orang-orang di penjara ngamuk, apakah ada laskar yang tiba-tiba baik … dan sebagainya.
Setelah seluruh isi surat komplet tertulis di papan, Limbuk disuruh menyalinnya ke dalam kertas surat. Perawan tua anak Cangik itu memang dikenal memiliki tulisan tangan terbaik di antara puluhan peserta pemberantasan buta huruf.
***
Lain adegan. Tunggal cerita.
Di suatu rimba dekat Setra Gandamayit. Tiba-tiba ponokawan Gareng, Petruk, dan Bagong bingung. Surat titipan yang mereka bawa itu sebetulnya ditujukan kepada Ibu Negara mana. Para pemilik saham Ponokawan Cargo itu semula sangat yakin bahwa surat tertuju ke Dewi Banuwati, Ibu Negara Astina. Sebab, di pemberantasan buta huruf itu ada Limbuk dan Cangik. Keduanya abdi Kerajaan Astina.Di Setra Gandamayit mereka baru ingat ternyata peserta didik datang dari berbagai negara. Mayoritasnya malah tidak berasal dari Astina.’’Mungkin surat terbuka ini buat Dewi Tari, Ibu Negara Alengka,’’ kata Petruk.’’Ndak mungkin. Zamannya beda. Kita sekarang hidup di zaman Mahabharata. Dasamuka dan Alengka itu zaman Ramayana,’’ jelas Gareng.
’’Atau buat Batari Durga, Ibu Negara Kahyangan, Kang Gareng?’’ kata Bagong asal nyeletuk.
’’Ndak mungkin. Karena di kahyangan ndak ada preman. Lihat saja, surat terbuka ini kebak dengan pertanyaan soal preman, Gong.’’
’’Lha, terus surat ini buat Ibu Negara-ne sapa?”