Wayang Durangpo Tahun II (2010 - 2011)

Episode 71 “Bola Kuala Lumpur, Bala di Lumpur Lainnya”

4,944 Views

Episode071Sulung panakawan, Gareng, seperti biasa, sok intelektual dan mencoba menjelaskan, ”Kemampuan membesar itu namanya triwikrama. Triwikrama itu gabungan tiga kesadaran. Kesadaran alam sebelum lahir, kesadaran alam lahir, dan kesadaran alam setelah mati secara bersamaan digabung menjadi satu rombongan kesadaran. Hanya titisan Wisnu yang bisa seperti itu.”

BARUNA bukan saja nama penyanyi rock. Nduk wayang ada juga. Namanya Dewa Baruna. Dia jarang sekali marah-marah. Ojok maneh ngamuk-ngamuk, wong mentas ke muka samudra saja jarang-jarang.

Tapi, si dewa penjaga laut itu sudah ndak tahan sabar. Dia masih kalah sabar oleh orang-orang korban lumpur Lapindo yang sudah tahunan.

Maka, mak pecungul, muncullah sang Baruna ke pesisir.

”Heh, raksasa segunung gedenya,” serunya kepada sosok buto. Nada bicaranya biasa-biasa saja. Amarah dipendamnya cuma kandeg di dada. ”Olaopo lautan ini mau kau keringkan? Mau kau asatkan dengan sekali teguk? Mentang-mentang awakmu lebih lipat-lipat besar daripada Gunung Mahameru?”

Baruna berpikir, jika laut kering kerontang, yok opo nasib cumi-cumi, udang, cakalang, tongkol, iwak P, patin, dan lain-lain. Padahal, mereka semua baru bergembira di laut kalau laut ada airnya. Lha laut nek ndak ada airnya, yo kecut, Rek. Anak sekolah juga banyak yang telap-telep makan ikan laut. Katanya, bangsa yang sepak bolanya bagus seperti Brazil, konsumsi ikan lautnya tinggi. Stadion-stadion sepak bola diperbanyak.

Warga bisa main dan berlatih sepak bola gratisan kapan pun di mana pun, di berbagai penjuru kota. Hmm, percuma kalau konsumsi ikan lautnya rendah karena semua ikan bongko.

”Heh, raksasa berlipat gunung gedenya,” lanjut Dewa Baruna. ”Silakan teguk air lautku, tapi seruput sekalian seluruh isi lautnya, gurah seluruh ikan-ikannya, seperti cendol dalam air kelapa dan gula merah. Mending begitu ketimbang kamu biarkan ikan-ikan dan kepiting-kepiting itu menggelepar-gelepar di dasar samudra.”

***

Raksasa berganda gunung gedenya itu mandek –mangu, antara mau melanjutkan dan mengu rungkan niatnya. Jika samudra kering, pasukannya, bala tentara kera yang dipimpin Sugriwa, sanggup menyeberang dari lereng Gunung Mahendra di wilayah Ayodya ke Gunung Maliawan di tlatah Alengka.

Kok dari Ayodya? Kok mau ke Alengka? Ya, si mega raksasa itu memang malihan dari Prabu Rama.

Mak jleg jadi raksasa-nya Rama biasanya akan ditandai oleh ada-ada (nyayian seru) para dalang sambil menderodog-derodog kotak wayang: Oooo… Jumangkah anggro sru susumbar, lindu bumi gonjing, gumaluduk guntur ketug, umub kang jalanidi, lumembak penyu kumambang, tuhu sang Wisnu Bathoro kang nedyo ambadog bumi… Ooooo… (Melangkah sambil sumbar-sumbar, bumi gempa, langit gemuruh, laut mendidih, penyupenyu mengapung-apung, itu pertanda Bathara Wisnu hendak menelan bumi…)

Seperti itulah situasi mencekam tatkala raksasa malihan Prabu Rama bersama prajuritnya hendak mengembalikan Dewi Sinta, sang istri, dari tawanan Rahwana di Alengka Diraja.

Kok bisa malih raksasa? Kok bisa membesar? Titisan Wisnu memang ditandai ciri-ciri bahwa dia bisa membesar.”Bukan cuma bagian tertentu tubuhnya yang bisa membesar, lho, hehehe,” ujar panakawan Petruk.

”Hush!” sergah bungsu panakawan, Bagong.

”Pikiranmu ngeres terus, Truk.”

Sulung panakawan, Gareng, seperti biasa, sok intelektual dan mencoba menjelaskan, ”Kemampuan membesar itu namanya triwikrama. Triwikrama itu gabungan tiga kesadaran. Kesadaran alam sebelum lahir, kesadaran alam lahir, dan kesadaran alam setelah mati secara bersamaan digabung menjadi satu rombongan kesadaran. Hanya titisan Wisnu yang bisa seperti itu.”

Saking asyiknya berdialog, tiga panakawan sampai tak sadar bahwa Baruna sudah pergi.

Mungkin mau nyanyi rock entah di mana. Pun, mereka baru sadar bahwa majikan mereka, Prabu Ramawijaya, yang tadi berubah wujud jadi raksasa nggegirisi, kini telah balik ke wajah aslinya.

***

Petruk sambil ketawa-ketawa mempertanyakan  siapakah dalang kali ini. Apakah bayarannya ndak cukup, kok omongannya mulai ngaco. Kata

Petruk, ”Seingatku, dalam wayang pakem, samudra antara Ayodya ke Alengka itu mau diasatkan dengan panah Guawijaya, bukan mau diglegeg, diminum kayak air di kendi.”

”Sudah, Truk,” tanggap Gareng. ”Kita yang waras ini ngalah saja.”

Bagong: Ya, namanya Prabu Rama sedang kasmaran.

Kangen ma Dewi Sinta yang bentuk tubuhnya mungkin lebih bagus ketimbang Aura Kasih. Orang kelimpungan itu ya suka-suka. Terserah Prabu Rama, mau pakai panah apa mau triwikrama.

Petruk: Wah, aku setiap dengar kata triwikrama, pikiranku selalu ke mana-mana. Hehehehe…

Kocap kacarita, akhirnya Prabu Rama memerintahkan Sugriwa agar Hanuman dan jutaan kera lain memindahkan Gunung Mahendra sedikit demi sedikit menjadi tanggul di lautan. Di atas tanggul itulah nanti jutaan pasukan kera akan berjalan nglurug ke Alengka, membebaskan Aura Kas… eh, Sinta, di Alengka.

Ada kera tinggi besar bernama Kapi Singanabda yang memindahkan batu-batu gunung ke lautan.

Ada juga kera bernama Kapi Pralebda yang menjebol pohon-pohon dan menanamkannya lagi di gunung yang telah berpindah ke lautan sebagai tanggul. Berbeda dengan tanggul lumpur Lapindo, tanggul itu asri karena dipenuhi pohon-pohon yang dipindahkan dari Gunung Mahendra.

Tanggul telah terbentuk. Saat jutaan kera memulai perjalanan menuju Alengka, tiba-tiba ada raksasa berupa Cakil menyulap air laut. Di mata para kera, laut menjadi semacam lumpur yang panas dan penuh gelembung blekuthuk-blekuthuk.

”Tenang,” kata Hanuman, mengingatkan kawankawannya sesama kera. ”Konsentrasikan pikiran kalian. Ini laut. Lihatlah, banyak ikan di dalamnya.

Elok, kan? Ini bukan lumpur. Awas, kalian jangan terkecoh pancaindra!”

Para munyuk mengucek-ucek mata, melihat air laut. Mereka kembali tidak panik. Mereka meneruskan perjalanan magito-gito membebaskan Dewi Sinta di Alengka. Tapi, tiba-tiba kok tanggul seperti bergoyang- goyang. Malah, di tengah-tengah ada yang mulai ambrol, seperti ambrolnya tanggul lumpur Lapindo.

Adakah yang menggerogoti tanggul di bawah sana?

Sayang sekali, bahkan Hanuman yang begitu yakin itu bukan Lumpur, melainkan laut, ternyata tak bisa menembuskan pandangan ke dalam air.

Di mata Hanuman, tiba-tiba laut hitam pekat seperti lumpur. Tak kurang akal, Hanuman meminta bantuan Kapi Sarpacita, kera yang sangat panjang ekornya. Sarpacita diperintah mencelupkan ekor ke laut yang telah tersulap jadi lumpur tersebut. Kena!

Kapi Sarpacita merasa bahwa ekornya mengenai sebentuk kepiting raksasa. Sarpacita melilitlilitkan ekornya ke kepiting itu, lantas melontarkannya ke angkasa. Sebentuk kepiting terpelanting dan terjerembap di atas tanggul.

Sayang, raksasa yang berbentuk mirip kepiting tersebut tak mau mengaku meski telah diinterogasi dan disiksa para munyuk.

***

Setelah Pak Ical mengajak para pemain tim nasional makan siang, panakawan punya ide.

Bagaimana kalau ”kepiting” itu diajak makan siang saja? Ternyata manjur. Dalam makan siang yang dilengkapi dengan menu otak-otak itu, si ”kepiting” mengaku, ”Nama saya Yuyurumpung.” ”Saya bukan pasukan Sandiyuda Prabu Dasamuka. Saya tidak seperti dalam wayang-wayang pakem. Saya menggerogoti tanggul atas inisiatif sendiri.

Agar dalam makan siang ini, juga makan siang di mana pun, kita tidak melupakan persoalan Lumpur. Hanya itu yang bisa saya lakukan. Tanggul lumpur. Saya tidak bisa menggerogoti gedung Bank Century. Bank itu sudah tidak ada. Saya tidak bisa menggerogoti para mafia pajak karena duitnya tersebar di mana saja, saya tidak tahu.”

Panakawan Gareng, Petruk, dan Bagong berembuk untuk membuat kesimpulan atas peristiwa siang itu. Kesimpulan tersebut dibacakan oleh Gareng.

Rangkumnya, doa kita semua kurang lengkap. Kita semua berdoa agar timnas menang saat melawan Malaysia di Kuala Lumpur. Tapi, mana doa agar gol-gol Indonesia nanti tidak diklaim Malaysia?

”Lho, lho, lho… Kok kesimpulan kalian nggak berhu bungan dengan unek-unekku tadi, ya?” protes Yuyurumpung. Rupanya, ia menguping panakawan.

”Aku tadi ndak bilang gitu. Aku bilang, aku mendukung timnas. Tapi, aku ndak mau kita semua dibikin lupa pada perkara lumpur, Century, maupun pajak.”

”Halah, lumpur ini bencana alam, Yuuuu, Yu…” bantah Bagong keras-keras.

Yuyu: Kalau lumpur Lapindo memang betul bencana alam, kenapa tidak ada bantuan kemanusiaan dari berbagai negara asing?

Dialog akan berlanjut. Namun, matahari keburu tenggelam. Semua mengajak beristirahat dalam damai sambil tak lupa mengucapkan selamat Natal bagi semua yang merayakan. (*)

Disadur selengkapnya dari JAWAPOS, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo