Artikel

Evolusi Gan KL, Nietzsche dan Sujiwo Tejo

6,035 Views

Ditulis oleh Jusman SD, menteri perhubungan, untuk pengantar pentas Drama-Wayang Semar Mesem

Ketika di SMP saya menyenangi cerita silat dari Tiongkok. Salah satunya berjudul “To Liong To”, Golok Pembunuh Naga karya penulis terkenal bernama Gan KL. Sang tokoh utama bernama Thio Boe Ki, muncul sebagai jagoan setelah sebelumnya diperebutkan Datuk Silat beraliran hitam dan putih. Pertarungan antara baik dan buruk yang selalu muncul dalam episode cerita silat Cina, kemudian menyebabkan saya berkenalan dengan tokoh Semar dalam dunia pewayangan. Ditengah malam saya sering terbangun dan mengendap-endap tanpa permisi kepada ayah bunda, menonton pertunjukan wayang kulit, ketoprak ataupun ludruk ditengah perkebunan karet bersama keluarga buruh penderes yang sedang bersukaria menikmati hari gajian diakhir bulan.

Meski Semar memiliki ilmu tinggi dan kearifan setengah dewa, ia rela menjadi panakawan. Penghibur rakyat jelata dan pangeran yang kesepian dalam kungkungan sangkar emas kekuasaannya. Melalui senyuman, gurauan dan gojekan lawakannya Semar ingin menciptakan ruang batin yang selalu bercahaya dalam diri setiap orang. Karena itu ketika menonton wayang (selain ketoprak atau ludruk) dimasa kecil seringkali yang saya tunggu bersama penonton lain adalah kehadiran Semar, Petruk dan Gareng, ditengah malam, ketika embun subuh mulai menitik diatas jam satu malam.

Ketika menjadi mahasiswa ITB, saya berkenalan dengan adik kelas bernama Sujiwo Tejo. Pada saat itu, saya sedang membaca Zarathustra karya Nietzsche, Buku ini salah satu diantara banyak buku yang bikin saya kesengsem dengan dunia penerbangan. Nietzsche menulis “Kita bisa pintar berenang dengan langsung terjun ke sungai dan belajar mengapung didalam air. Tapi tidak mungkin melakukan hal yang sama untuk menjadi pintar terbang diudara. Tak ada jalan pendek untuk menjadi Superman atau Gatotkaca. Manusia terbang berotot kawat, walung wesi (tulang besi). Mereka yang pada suatu hari nanti ingin menjadi Gatotkaca, harus bekerja keras dan belajar dulu untuk berdiri, berjalan, berlari, memanjat, melompat dan menari. Engkau tidk dapat belajar terbang dengan terbang, demikian ujar Nietzsche dalam tulisannya.

Di Indonesia Nietzsche sering disalahartikan dan dicap sebagai orang atheis yang perlu dicerca dan dirajam karena kata-kata”The Old God is Dead” yang diserukannya. Akan tetapi kalimat “Tuhan lama yang tua telah mati” sebenarnya merupakan potongan dialog Zarathustra dengan seorang Pendeta yang kesal dengan prilaku umatnya yang menyimpang. Dialog itu muncul ketika mereka saling sepakat untuk menjauhi pergaulan manusia ala pasar bebas, dimana Tuhan dan Kepercayaan pun diperjualbelikan seperti komoditi lainnya.

Dalam dunia pewayangan tokoh Semar hampir mirip seperti Zarathustra, hanya mereka hidup dalam alam berbeda. Zarathustra manusia yang menyenangi kehidupan siang hari ditengah matahari terik bersinar. Sebagai seorang individualis Zarathustra selalu mendorong manusia untuk memilih jalan keras yang penuh karang dalam menempa diri. Ia merindukan superman yang unggul sebagai pekerja keras, produktif dan berjuang seolah ingin menaklukkan matahari ditengah siang bolong. Zarathustra ingin semua manusia berkeringat dan berdarah-darah berjuang membelah gunung karang dengan kekuatan tangan sendiri.

Tidak begitu dengan Semar. Ia mirip manusia yang lebih memilih malam sebagai sahabatnya. Semar menyenangi kegelapan untuk menutupi semua kebajikan yang ia lahirkan. Semar tak ingin bersikap “ria”, menonjolkan diri sendiri. Semar selalu mencoba menyembunyikan peran strategisnya di tengah kumpulan masyarakatnya. Karena itu ia selalu memilih peran penghibur duka-lara, di kala manusia kerja sedang beristirahat.

Kini tokoh Semar dihidupkan kembali dalam lakon oleh dalang Sujiwo Tejo. Judulnya dipermak dan di-“reformat” dengan tambahan ajektif kata “Mesem”. Sebuah tambahan kata yang digunakan untuk menonjolkan perasaan galau dan kerisauan tanpa henti dalam perjuangan untuk mewujudkan kelahiran Bangsa Indonesia yang modern, demokratis dan disegani kawan dan lawan. Sebuah perjalanan mendaki dan berliku diselang-selingi oleh tanjakan gunung yang amat licin.

Judul lakon “Semar Mesem”, seolah ingin menggambarkan bayangan citra diri seorang tokoh yang sedang berada di antara dua dunia. Dunia siang yang penuh dengan keceriaan dan kegembiraannya dalam arus kemajuan yang tercipta di atas kegigihan dan kerja keras dalam memperjuangkan peningkatan produktivitas Bangsa. Dan dikontraskan dengan tokoh yang menyenangi dunia malam yang penuh dengan rasa capai lelah dan kadangkala ditutupi dengan kegetiran dan kepahitan hidup. Dalam malam buta, tokoh ini selalu berupaya kontemplatif, menjalani proses perenungan, introspeksi diri dalam salat tahajud untuk mencerna makna kegalauan hati, keprihatinan dan rasa penasaran yang tak kunjung usai, menyusuri jalan panjang perjalanan reformasi yang hampir menginjak usia sepuluh tahun.

Semar. Tokoh yang mirip Thio Boe Ki dalam cerita Gan KL, To Liong To, yang terombang-ambing gelombang pergulatan dan pertempuran kekuatan hitam dan putih dalam dunia Kang Ouw. Mesem berarti setengah tertawa setengah menangis. Semar Mesem, lakon yang terletak diantara spektrum perjalanan panjang Zarathustra-nya Nietzsche dan perilaku kebajikan yang ditawarkan oleh tokoh Semar dalam dunia pewayangan, dengan tata cara skenario mirip seperti jalannya cerita silat Golok Pembunuh Naga-nya Gan KL.

Bravo Sujiwo Tejo.