AREA 2007 - 2008

Soal Pernikahan yah…

5,852 Views

Sekarang Area ngebahas pernikahan… Aduuh kita mesti ngomong apa ya? Karena di suatu film lama, ada pesan bagus dari perempuan kuat dengan segudang asam-garam dunia. Pemerannya Glenn Close. Ia bertutur ke perawan ingusan yang dimainkan Uma Thurman.

Nasihatnya, kira-kira, “Ah, udahlah…nikah aja kamu ma laki-laki itu. Nggak ada urusan dia bandit atau bukan…karena…dengar…kalau sudah berada di dalam pernikahan…semua laki-laki sama saja!” Sarua wae, orang Sunda bilang.

Kalau dikasih kesempatan main di film itu, meski mustahil, saya akan bilang juga ke pacar seorang tokoh yang dilakonkan Uma, “Ah, sikat aja, man. Nikahi dia. Karena setelah tinggal serumah apalagi dalam formalitas perkawinan alias nikah, semua perempuan sami mawon!”

Di dalam pernikahan, laki-laki yang dulunya pendiam bagai patung Sudirman, makin lama makin cepet nggak ada puas-puasnya dan jadi cerewet kayak parkit berebut pakan.

Di dalam pernikahan, segala pemihakan dan layanan perempuan kepada kaum laki yang dulunya dialasi cinta, perlahan-lahan dilandaskan pada duty atau kewajiban semata-mata.

Jadi kita nggak usah nikah?

Ya, nggak gitu juga sih. Mirip logika, banyak manusia meninggal karena tidur di pesawat lalu pesawatnya jatuh, tapi jauh lebih banyak lagi, dan jumlahnya paling besar, manusia yang meninggal di tempat tidur. Jadi kita nggak usah molor di tempat tidur?

Ya, nggak gitu juga sih.

Pertanyaan tentang perlu tidaknya menikah nggak bisa dimasukkan pada Ujian Nasioal (UN) dalam pola multiple choice “ya” atau “tidak” dan sejenis itu. Jawabannya mesti berbentuk esai.

Bisa aja ntar seorang siswa menjawab, “Ehm, kalau menurut gue pernikahan itu kagak perlulah. Karena nyak dan babe gue cerai. Coba kalau mereka nggak nikah. Kan mereka kagak bakalan divorce…”

“Setuju banget,” mungkin gitu tambahan dari siswa lain yang nyontek. “Kalau pacaran aja kan pisahnya cuma putus atau udahan. Gak serepot dan se-serem cerai…”

Guru yang ingin UN siswanya tinggi, ngimbuhi jawaban esai, “Lagian kita-kita kan tetap bisa aja lahir di dunia tanpa nyak babe gue pakai acara nikah. Kamasutra India dan Centhini Jawa juga nggak ngajarin bahwa seks mesti dilakukan dalam pernikahan, dalam ikatan suami isteri. Yang penting saling mencintai dan dilakukan dengan indah…ya kan?

Kalau jawaban saya ikhwal perlu tidaknya nikah itu, tidak dalam bentuk tertulis. Tapi dalam kelakuan. Misalnya saya marah kalau anak-anak saya menghina ayam yang sedang gituan, abis kejar-kejaran, berkitar-kitar lalu…Nah…jadi kuda-kudaan.

Karena menghina ayam dan seluruh binatang ketika gituan, berarti diam-diam terlalu mengagungkan pernikahan manusia. Padahal cinta binatang itu kudus, kalau mengutip Putu Wjaya dalam novel Telegram.

Saya setuju Mas Putu. Mungkin karena binatang itu asal suka ama suka ya jadilah. Ya…pertama perempuannya lari-larilah. Tapi kan itu bagian dari cara menggairahkan pejantannya. Ndak usah ngitung untung rugi dan lain sebagainya.

Kata ayam, mungkin lho ya, pernikahan itu baik tetapi ia akan jadi penjara kalau dulunya dibangun atas dasar kalkulasi untung rugi material.

(Dimuat di rubrik ‘Frankly Speaking’ AREA edisi No. 90, tanggal 27 Juni 2007)