Sindo

Jakarta 2012

2,999 Views

Lima belas tahunan lalu saya tinggal di Bekasi. Kerja di Jakarta. Ulang-alik tiap hari minimal 60 km. Perjalanan lewat Kalimalang. Kalau pagi, sekitar 1 jam. Tengah malam bisa cuma 45 menit. Tapi pekan lalu pas datang ke hajatan nikah di Bekasi, waktu tempuh jadi gila-gilaan. Gara-garanya macet.

Sudah sekitar 5 tahunan lalu saya kagum ke rekan-rekan dan masyarakat Bekasi yang gawe hariannya di Jakarta. Soalnya ya kemacetan itu. Kagum atas betapa gigihnya mereka. Kagum atas betapa tahan bantingnya mereka.

Itu Jakarta-Bekasi lima tahunan lalu. Jakarta-Bekasi pekan lalu bukan lagi macet. Tapi, hemat saja: semi parkir. Mau cari alternatif lewat jalan tol, yaitu jalan bebas hambatan, kemacetan di jalan tol sama parahnya dengan jalan biasa di tepian sungai Kalimalang.

Dan kemacetan lalu-lintas adalah soal rentetan. Saya tidak tahu kemacetan di Jakarta-Bekasi itu rentetan dari mana. Termasuk saya tidak tahu kemacetan di gerbang tol dekat RCTI Kebon Jeruk buat masyarakat Tangerang yang kerja di Jakarta itu jalinan kemacetan dari daerah di Jakata yang mana.

Yang pasti, pas ada kebakaran di kawasan timur, Cawang, sebulanan lalu, kita di Jakarta tahu bahwa kemacetan sampai terasa di wilayah barat, Grogol.

Saat itu seorang teman pengamat transportasi bilang ke saya, “Ndak usah terlalu kaget. Akibat kemacetan memang berantai. Dan ini belum ada apa-apanya. Nanti Jakarta tahun 2012, akibat kemacetan di jalan raya, keluar dari pagar rumah, kita sudah kepergok macet. Kemacetan akan merentet hingga ke gang-gang.”

***

Lalu sekarang ada pemilihan kepala daerah di Jakarta. Semua calon berjanji akan membenahi kota. Dapatkah mereka, jika terpilih, menggagalkan ramalan tentang Jakarta tahun 2012? Atau, setidaknya, akankah mereka sanggup menunda terjadinya peristiwa di tahun 2012?

Soal pemilihan gubernur adalah soal perebutan kursi kekuasaan. Dan soal kekuasaan adalah soal politik. Padahal saya, sebagaimana umumnya ibu-ibu, tidak terlalu tertarik pada politik. Maka pertanyaan itu tidak bisa saya jawab.

Apalagi menurut desas-desus yang saya dengar dari orang-orang di lingkaran tim sukses kedua calon, saya simpulkan bahwa siapa pun yang terpilih keadaan akan tetap sama saja. Pihak yang satu bilang, setidaknya ini dalam versi desas-desus, jangan pilih calon yang didukung oleh banyak partai. Nanti trilyunan duit anggaran daerah akan dibagi-bagi buat elit partai-partai itu. Yang merembes dan menetes ke masyarakat jadi nggak seberapa.

Pihak yang lain lagi bilang, sama juga dalam versi desas-desus, jangan pilih calon pemimpin yang cuma didukung sedikit partai. Nanti program-programnya nggak jalan. Sebagus apa pun program itu buat masyarakat. Karena dia akan melulu dijegal oleh mayoritas partai yang menguasai lembaga legislatif.

Rekan saya Tantowi Yahya punya usul, untuk menghindari penjegalan segala keputusan eksekutif oleh mayoritas orang di lembaga legislatif, mestinya ada jaminan dari DPRD.

“Buat saya solusinya, mesti ada jaminan dari DPRD bahwa siapa pun yang kepilih, dia akan didukung. Jaminan tertulis. Kalau tidak, percuma saja…,” kata presenter ini tanpa menyebut dia secara pribadi mendukung siapa.

Atau, pilihan lain adalah menjadi golput alias golongan putih, yaitu golongan yang tidak memilih. Tapi kok ya, percuma juga ya… Kita ikut milih atau nggak, gubernur akan tetap terpilih dan dinyatakan sah secara hukum. Wong di negara yang mengaku biangnya demokrasi, Amerika Serikat, pemilihan cuma diikuti sekitar separuh warga saja, pemimpin terpilihnya dinyatakan sah kok.

***

Atau, ya…nggak usah mikir politik. Tapi mikir beberapa hal yang mungkin bisa kita lakukan sendiri untuk mengatasi kehidupan kota. Soalnya gini, sekitar sebulanan lalu pas kebakaran di Cawang itu saya juga ketemu rekan senior ahli tata kota di Universitas Indonesia. Dia iseng tanya, “Urbanisasi itu apa?”

Ya, mungkin jawaban saya akan sama dengan jawaban ibu-ibu seandainya ditanya hal yang sama. “Gampang. Urbanisasi itu pemindahan warga dari desa ke kota,” jawab saya. Bukankah itu pula yang kita terima di sekolah-sekolah.

Ternyata Mas Ahli Tata Kota ini mengoreksi. “Bukan itu,” katanya. “Kalau cuma itu ya memang gampang. Pindahin aja orang-orang desa ke kota. Itu salah kaprah. Tapi urbanisasi sebetulnya proses perubahan mentalitas hidup di pedesaan menuju mentalitas hidup di perkotaan. Cara buang sampahnya. Cara penggunaan airnya. Irama dan tata krama lalu-lintasnya. Dan lain-lain. Jakarta ini fisiknya saja yang kota. Tapi sebetulnya masih kampung. Kampung besar. Karena mentalitas mayoritas warganya masih belum berubah dalam proses urbanisasi, ” tegasnya.

Saya lupa nggak tanya apakah yang dia maksud masih bermental kampung itu masyarakat menengah ke bawah di Jakarta. Tapi kayaknya hampir semua ya, ibu-ibu. Kalangan elitnya juga gitu. Dan yang ngingetin saya seorang model, Izabel Jahja.

“Mereka punya banyak semboyan untuk memperbaiki Jakarta. Tapi mereka malah mengotori Jakarta dengan spanduk-spanduk, poster…Dan sekarang ada bendera (partai) di mana-mana. Satu kota Jakarta malah penuh dengan atribut kampanye. Gila, itu nggak dipikirin apa?” kata Izabel yang lebih mengusulkan kampanye lewat perdebatan di media massa macam radio, koran dan televisi.

(Dimuat di harian Sindo, tanggal 27 Juli 2007)