Sindo

Orang-orang yang Menyanyi

3,584 Views

Orang-orang yang menyanyi. Orang yang mungkin beruntung. Beruntung, karena orang yang menyanyi sesungguhnya sedang mengambil jarak terhadap duka-citanya. Itu jika ia lagi berduka. Ia ambil jarak pula terhadap suka-citanya, bila kebetulan nyanyinya pas di hati riang.

Ia mengambil jarak terhadap kehidupannya yang jauh lebih kongkrit.

Beruntung, karena kadang begitu melelahkan serta membosankannya hidup keseharian yang meskipun kongkrit, meskipun benar-benar nyata, namun sungguh berat. Bukankah Ibu-ibu merasa lapang dan lega, jembar orang Jawa bilang, bila menonton sebuah film atau sinetron yang melulu bergambar close-up lantas ibu-ibu tergiring menerawang karena ada pergerakan kamera yang menyajikan gambar jarak jauh?

Aduh, lega. Aduh, lapang.

Memang, adalah perlu memandang hidup dari jarak dekat, bahkan menempel. Malah lebih sering tak cukup kita cuma main tempel. Kita mesti masuk. Kita mesti lebur. Sungguh-sungguh terlibat di dalam persoalan riil dunia. Menyanyi membuat kita sejenak hengkang dari keterlibatan dalam seabrek persoalan itu.

Ketika berjarak…O, orang jadi semakin merdeka mempertanyakan, mengkaji ulang hidup kesehariannya: Apakah sekolah anaknya terlampau mahal dan kenapa tak pindah sekolah saja meski mungkin bukan sekolah bergengsi, apakah satu-satunya jalan menuju sehat adalah rumah sakit dan pengobatan tradisional sudah mati…apakah satu-satunya sumber protein adalah daging yang kian mahal padahal pete adalah protein nabati yang bagus…dan seterusnya…

Sama-sama berjarak. Namun, Ibu-ibu, berbeda dibanding merenung, ketika menyanyi, ada sesuatu yang dikeluarkan melalui tubuh. Antara lain keluaran bebunyian dari pita suara dan keluaran berupa ekspresi wajah serta tubuh dari perasaan terdalam hati manusia.

Maka, sekarang, pertanyaan saya: Sudah, sedang, dan akankah Ibu-ibu menyanyi?

***

Pekan lalu, di stasiun Solo Balapan, saya naik kereta api Bima ke Surabaya. Itu dini hari sekitar pukul 3. Begitu naik dan menaruh barang di rak gerbong, baru duduk, belum nyandar, saya sepertinya mendengar suara orang menyanyi di bangku belakang saya. Tepatnya suara anak kecil, perempuan.

Saya nggak sempat nengok, tepatnya agak malas menoleh biarpun sedikit. Saya kecapekan kerja seharian. Belum abis itu, malamnya, pengin nonton wayang karena dalangnya temen sejawat saya sendiri, Ki Purbo Asmoro. Ke Solo Balapan itu juga langsung dari tempat wayangan, belum tidur.

Lalu kereta berangkat. Eh, masih juga terdengar suara anak kecil menyanyi, baur dengan suara angin dan bunyi roda melaju. Sebetulnya saya kagum. Elok betul suaranya. Lagunya juga bagus. Saya ingin beli album musik itu buat anak-anak saya di Jakarta. Tapi di mana ya belinya?

Sepanjang perjalanan ke Surabaya, saya yang termasuk orang susah tidur juga terus-menerus tertidur-terjaga atau ada di ambang antara pulas dan bangun. Dan setiap saya terjaga, sepanjang itu pula saya mendengar album musik suara anak kecil terus diputar.

Baru entah di stasiun mana saya kaget. Eh, itu ternyata bukan suara dari tape recorder atau cd player…Itu live. Anak kecil, perempuan, sekitar usia 5 tahun…menyanyi live di belakang saya sepanjang jalan dan dengan suara sekualitas penyanyi album. Di sebelahnya seorang lelaki muda yang dipanggilnya “Oom”, pasti pamannya, yang terus mendengkur sejak Solo Balapan.

Kelihatannya itu cuma perjalanan berdua. Si Oom mendengkur. Seluruh gerbong juga tampak cuek, meski anak perempuan bersuara merdu ini sering sampai sibuk mondar-mandir karena menyangka setiap stasiun yang kami singgahi adalah stasiun terakhir tujuannya.

“Belum Dik, belum. Ini belum Surabaya…,” paling cuma begitu satu-dua penumpang menimpal. Nggak ada yang memuji suaranya. Atau, setidaknya, tidak ada yang tampak kagum karena di zaman rekaman audio-visual yang alatnya bisa ditenteng ke mana-mana ini, yang orang biasanya cuma pasif mendengar, ternyata masih ada orang yang mau menyanyi sendiri dan hepi. Setelah hilir mudik anak itu duduk lagi. Dan…ya itu tadi…nyanyi-nyanyi lagi…, di sebelah Oomnya yang mendengkur.

Seturun bareng di Stasiun Gubeng Surabaya, dan pisah, saya jadi membenci diri sendiri, karena saking capeknya, termasuk orang yang cuek pada perempuan cilik itu di kereta. Saya nggak sempat memujinya. Nggak sempat pesan agar dia mengajak temen-temen, saudara dan ayah-ibunya sering menyanyi di zaman kayak gini.

***

Agak terobati rasa bersalah saya, karena ketika nyambung taksi ke Malang, pak sopir suka menyanyi. Saya duduk di sebelahnya, di bangku depan. Saya puji dia. Saya bilang berbahagialah orang yang masih mau menyanyi dalam keadaan apa pun. Saya minta dia ajak seluruh orang-orang dekatnya juga menyanyi nantinya.

Wah, tambah semangat dia menyanyi. Saya terharu. Badannya makin menghadap ke arah saya. Dia menyanyikan lagu almarhum Gombloh bahasa Jawa yang katanya belum pernah direkam dan hanya dia yang tahu…beeeeecak…pinancal aloooon (becak dikayuh perlahan)….

Tapi Ibu-ibu, rupanya apapun ndak boleh berlebihan ya? Kelakuan baik pun termasuk menyanyi, nggak boleh berlebihan.

Menjelang kawasan “wisata bencana” lumpur Lapindo di Porong, pak sopir makin menghayati dan mendayu-dayukan beeeeecak…pinancal…

Brak!!! Kami menabrak sepeda motor yang sedang berhenti di lampu merah. Pengendara sepeda motor, berjaket merah, tengkurap di jalan.

(Dimuat di harian Sindo, tanggal 20 Juli 2007)