Sindo

Komodo dan Manusia tentang Parfum

3,176 Views

Waktu jelang liburan sekolah tahun lalu saya matur di forum ini. Betapa tiap orang punya sudut pandang atau versi masing-masing tentang aneka hal termasuk liburan. Kayaknya perselisihan padang ini juga bisa berlaku buat libur sekarang.

Orangtua ngira liburan harus pergi jauh-jauh. Untuk itu pontang-panting mereka nyelengin duit. Padahal anak, diem-diem, sebetulnya lebih pengin tetap tinggal di rumah bersama kelinci, kucing, anjing dan kedua orangtuanya. Atau main bola di halaman.

Maka jadilah saat-saat menjelang liburan sebagai saat-saat yang mendebarkan terutama buat keluarga dengan kantung pas-pasan. Mereka ngeluh sana-sini. Utang kiri-kanan. Padahal, bisa saja sih, yang ngebet pengin pergi jauh-jauh itu ya si orang tua sendiri karena stres di kantor dan seluk-seluk kotanya.

***

Bocah 9 tahun, Mansur, yang dicabik-cabik komodo ketika sedang buang air besar, lebih gamblang lagi sebagai contoh adanya perbedaan sudut pandang, versi atau selera di jagat raya. Kita selalu menyangka daya tarik penciuman adalah parfum. Ini pasti diketawain oleh komodo, anjing dan masyarakat binatang lainnya.

Bocah kelas 2 SD di Pulau Komodo itu menggairahkan komodo yang nyaris seperti bunglon, yaitu warnanya hampir senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga bisa samar, karena sang bocah mengeluarkan bau tinja yang…bagi komodo…hmmm…serasa berada di negeri parfum bilang Perancis.

Konon, maaf, darah haid juga jadi seakan Perancis buat komodo. Tapi bapak-bapak bukan komodo (kebetulan juga nggak ada predikat “komodo darat” selain “buaya darat”). Bapak-bapak, bahkan ibu-ibu sendiri, kalau bisa malah menghindar dari aroma itu.

Ini saya bukan ngajarin lho. Saya cuma bagi-bagi inget alias ngingetin. Karena, apalagi kalau gemar anjing, Ibu-ibu pasti sudah tahu akan perbedaan sudut pandang, versi maupun selera dunia. Anjing dengan sel penciuman bisa mencapai 220 juta yang kalau dihampar bisa seluas sapu tangan normal, yaitu 40an kali lipat ketimbang sel penciuman manusia, suka bebauan yang ibu-ibu nggak suka.

***

Ingatan pada komodo dan anjing, termasuk pada burung albatros yang sanggup mencium dan tertarik pada bau bangkai dari jarak sejauh 30-an kilometer, kiranya berguna juga buat bahan pertimbangan ketika sedang ngobrol dengan anak. Nggak cuma perkara vakansi.

Ya, jelas, ibu dan anak ibu sama-sama manusia. Salah satunya bukan komodo yang punya selera sendiri atas dasar jenis makhluk. Tapi perbedaan sudut pandang, versi dan selera juga bisa timbul di kalangan sesama orang kan? Antara lain berkat lingkungan yang membentuk masing-masing orang.

Ibu dengan lingkungan masa lalu dan masa kini mati-matian meyankinkan anak untuk memilih IPA dalam penjurusan di SMU. Mungkin lingkungan ibu-ibu adalah para insinyur. Ketambahan juga para insinyur yang lantas kerja di berbagai bidang termasuk bidang keuangan.

Udah IPA aja, karena kalau IPS nggak bisa ke engineering, tapi kalau IPA bisa kemana aja!” mungkin begitu cara ibu menandaskan keyakinan pada putra-putri.

Belum tentu anak-anak bisa diyakinkan kalau lingkungan pergaulan mereka adalah orang-orang IPS. Apalagi orang-orang IPS yang senantiasa meyakinkan bahwa pengetahuan sosial sangat vital bahkan bisa dipakai buat menjajah. Jadi lebih vital juga dibanding engineering dan tetek-bengek senjata.

Bahwa Belanda dulu bikin studi sosial yang luar biasa tentang tabiat suku-suku di Indonesia, terutama kelemahan-kelemahannya. Lantas mereka datang cuma dengan satu-dua kapal tapi sanggup menjajah nusantara berabad-abad.

Kok bisa? Ya dengan ilmu pengetahuan sosial! Sekolah saja yang agak keliru mengajarkan bahwa Belanda menjajah kita terutama dengan bedil….

Oh, tapi tenang Bu. Ibu-ibu dan sekolah bukan satu-satunya penanggung-jawab kekeliruan pendidikan. Gerbang-gerbang 17 Agustusan juga sering keliru mengajar anak-anak bahwa kemerdekaan cuma ditempuh melalui “unsur IPA” yang perwujudannya berupa senjata seperti bambu runcing, keris, mandau, kujang dan lain-lain.

Gapura-gapura 17 Agustusan yang kerap penuh senjata dan patung-patung orang tawuran itu lupa ngajarin anak-anak bahwa kemerdekaan juga kita tempuh terutama lewat “unsur IPS” seperti diplomasi dengan tokoh-tokohnya antara lain Hatta dan Agus Salim.

***

Ibu-ibu bisa mati-matian ngejelasin ke anak bahwa film-film horor kita irasional. Abis itu lega dan tidur pulas, nyangka bahwa anak bisa diyakinkan. Padahal belum tentu anak bisa ngeh. Karena anak juga dibesarkan oleh kesaksiannya atas peristiwa sehari-hari. Itu yang konon turut membentuk sudut pandang, versi dan selera anak.

Kalau bergaul dengan ilmuwan Dr. Saiful Mudjani dari LSI (Lembaga Survey Indonesia), bisa saja mereka bilang orang-orang dewasa malah yang nggak rasional. Karena ketika ditanya oleh survei LSI, masyarakat Jakarta bilang ada 3 hal pokok masalah di Jakarta yaitu banjir, kemacetan dan pengangguran.

Mereka menganggap eksekutif Jakarta sekarang, yang Fauzi Bowo ada di dalamnya, belum bisa menangani problem itu. Tapi pas ditanya mereka mencalonkan siapa buat gubernur mendatang, sebagian besar masyarakat Jakarta malah mencalonkan Fauzi Bowo.

Jadi siapa yang irasional? Penonton film horor atau pemilih calon gubernur?

“Ah, kalau saya mah milih calon gubernur yang…hmmm…tinjanya paling bau azza…” begitulah kalau komodo nanti sempat disurvei Mas Saiful.

(Dimuat di harian Sindo, tanggal 08 Juni 2007)