Sindo

Kresna “Ngumpetin” Anak dari Mata Rakyat

2,631 Views

Siang itu, dulu sekali, di Kedoya, sebelum Andi Mallarangeng jadi orang istana, saya pernah nantang kecil-kecilan dia untuk kapan-kapan diskusi. Topiknya soal pemilihan presiden langsung. Dia setuju pemilihan langsung. Saya nggak.

Alasan saya, logika kita umumnya masih gampangan. Orang kalau udah mampu ngatur dirinya, udah sempurna ngendaliin keluarganya, pasti pas jadi presiden. Apalagi kalau dia tuh lurus-lurus aja. Nggak pernah selingkuh sebagai kepala rumah tangga. Wah, tambah pas.

Maka mayoritas penghuni negeri milih calon presiden ya yang santun. Lurus. Tak kedengaran punya riwayat berkekasih gelap. Anggapan mayoritas, orang tipe itu pasti beres ngurus negara.

Lha kenyataannya kan nggak gitu? Alam ngajarin kita juga nggak kayak gitu. Menurut alam, kehidupan tuh proses menuju ideal. Dan belum ada yang ideal dalam proses itu. Termasuk manusia. Tangkas mengurus diri sendiri dan keluarga, cekatan mengurus perusahaan, belum tentu becus mengurus negara. Dan sebaliknya.

Saya akan setuju pemilihan presiden langsung, nanti, kalau logika orang banyak udah nggak gitu-gitu amat. Saat itu, bagi masyarakat, syarat calon presiden cuma satu hal. Ia mesti punya riwayat mengurus masyarakat sejak dini secara bersih. Dan dalam riwayat itu, sedapat-dapat masyarakat yang dipedulikannya lintas suku, agama, usia, golongan, profesi, lintas kelamin dan lain-lain.

Saat itu, karena telah mencapai tahap kematangannya, masyarakat tak punya peduli riwayat pribadi calon presiden yang tak berhubungan dengan kisah-kisah pengelolaan negara.

Saat itu, karena masyarakat telah dewasa untuk mau menerima baik dan buruk seperti apa adanya di alam, ibarat mereka telah lapang dada menerima Merah-Putih (sejatinya dwi warna ini bukan simbol “berani karena benar” seperti yang salah kaprah diajarkan di bangku sekolah), masyarakat tak akan peduli lagi apakah calon presidennya pernah selingkuh, kawin-cerai, urakan dan lain-lain. Masyarakat cuma hirau, riwayat bakal kepala negara mereka apa dipenuhi oleh lakon menyejahterakan orang banyak apa tidak?

***

Sekarang, sebelum masyarakat berkembang matang, pemilihan langsung bisa tak memunculkan tokoh yang patut jadi presiden. Bakal calon presiden bisa mental bukan karena alkisahnya cacat dalam mengelola orang banyak. Tapi misalnya, ia mental cuma gara-gara punya anak yang rambutnya dicat merah bagai bule. Dianggap, ya itu tadi, ia tak becus ngatur keluarga.

Padahal, beres ngurus keluarga, atau sangat hirau pada keluarga, belum tentu beres pula ngatur negara. Sama halnya, keluarga-keluarga yang kompak dan kuat belum tentu bisa jadi pilar dari negara yang sehat. Contohnya adalah suatu kurun di Italia, yang karena kompaknya beberapa keluarga, maka negara kalang-kabut memberantas bisnis narkoba. Keluarga-keluarga sangat aman dan kokoh melindungi anggota-anggotanya dari hukum orang banyak alias negara.

Ditinjau dari sudut keluarga, sudah pasti Sayidina Ali bukan ayah yang baik. Masa udah janji ama keluarganya ngasih buka puasa yang layak, eh di tengah jalan Ali kepergok warganya yang papa. Ali berikan seluruh makanan itu ke mereka. Keluarganya gigit jari. Kalau sahabat Rasul SAW ini ikut pencalonan kepala negara di sini, sudah pasti masyarakat menampiknya dengan tudingan tak becus menjadi kepala rumah tangga.

Padahal, apa urusannya dengan ikhwal pribadi atau keluarga kalau seseorang akan (apalagi sudah) terbukti mampu jadi presiden? Kalau buah-buahan dan produk pertanian tanah air telah mampu bersaing dengan produk impor? Garam tak lagi impor karena garis pantai Nusantara untuk produksi garam amatlah panjang? Pendidikan terjangkau? Rumah sakit terjangkau dan lain-lain? Dan Kedutaan Besar Amerika Serikat tidak dijaga jauh lebih ketat oleh kita ketimbang kantor kepresidenan kita sendiri?

Urusan pribadi seperti perselingkuhan dan cacat keluarga biarlah diselesaikan secara pribadi pula dengan Tuhan. Bukankah manusia dalam kerumunan ini pada akhirnya mesti mempertanggungjawabkan secara sendiri-sendiri perilaku dunianya?

Kresna, yang punya riwayat urakan, terbukti sukses memimpin negara Dwarawati. Rakyat makmur. Biarkan cacat riwayatnya yang tak berhubungan dengan negara diselesaikannya sendiri antara dia dan Tuhan. Lihatlah Kresna matinya susah. Dari sekarat menuju ajal, titisan Wisnu ini mesti menunggu 40 tahun. Karena selama bertahun-tahun dia sembunyikan anaknya, Gunadewa, di Gunung Rewantaka. Kresna malu, lantaran Gunadewa tak serupawan anak-anaknya yang lain. Anak Kresna dengan Dewi Jembawati ini berwujud mirip monyet.

***

Ya, saya setuju pemilihan presiden langsung. Tapi nanti. Ketika orang urakan juga sangat mungkin rakyat pilih jadi presiden, karena masyarakat nantinya makin paham bahwa orang santun dan penuh tata krama malah bisa aja justru penipu ulung. Figur bapak yang baik, bisa jadi justru terlalu mengutamakan keluarga dan mengeruk negara demi keluarganya.

Kini Andi Mallarangeng sudah jadi orang Istana. Beberapa bulan lalu saya ketemu, tapi tak sempat diskusi soal ini. Waktu dia sangat terbatas. Sibuk. Di perjumpaan itu anehnya saya juga kepingin merasa sibuk.

(Dimuat di harian Sindo, tanggal 10 Agustus 2007)