Sindo

Rambu Zaman: Awas Ada Rambo dalam Subadra

3,576 Views

Bharata Kusuma, salah seorang penulis naskah acara bulanan saya KabaretJo suatu hari memberi tahu saya tentang suatu hal yang saya nggak kepikir. Mungkin sebagian ibu-ibu juga belum ngeh. Bahwa, katanya, laki-laki dan perempuan itu cuma soal unsur. Keduanya bukan sekadar jenis kelamin. Kedua unsur itu bisa muncul sekaligus dalam sosok laki-laki, maupun dalam sosok perempuan.

Kayaknya ini pandangan New Age deh. Artinya, ketika Kitab Suci meminta bahwa yang harus memimpin itu laki-laki, bisa jadi yang dimaksudkan bukan semata-mata sosok manusia yang punya penis. Tapi yang penting unsur laki-laki di dalam sosok tersebut.

Pemimpin itu bisa makhluk yang sosoknya bervagina, asal unsur putera (maskulinitas) dalam dirinya lebih dominan ketimbang unsur puteri (katakanlah femininitas). Dia bisa ibu rumah tangga, tetapi ketika memimpin masyarakat, memimpin sidang dan sebagainya, yang menonjol adalah maskulinitasnya.

Bharata mungkin sedang mengingatkan hal baru, sekaligus mengingatkan bahwa Kitab Suci manapun selalu turun dalam ruang dan waktu tertentu. Kitab Suci harus dimengerti dalam konteks zaman dan masyarakat ketika itu. Maka penerapannya pada ruang dan waktu lain mesti melalui tafsir. Tak bisa harafiah diterapkan begitu saja.

Seperti halnya dulu belum ada bank karena membungakan uang dianggap riba. Tapi kemudian bank-bank bermunculan di mana-mana termasuk untuk urusan umroh dan naik haji. Ada seorang teman, fund manager, di sebuah perusahaan mirip bank yang sudah banyak memberangkatkan orang umroh cuma-cuma.

Ya, Bharata mungkin sedang mengingatkan hal baru, tetapi sebenarnya dia membukakan saya halaman-halaman lama dari ajaran wayang. Misalnya, pandangan kuno dari Ramayana dan Mahabarata pun, jauh sebelum New Age, percaya bahwa ada jiwa laki-laki sekaligus jiwa perempuan di dalam sosok manusia. Entah manusia itu bersosok pria. Entah manusia itu bersosok wanita.

***

Dalam sosok Srikandi yang tomboi, yang kerap dijadikan ikon dunia panah misalnya, ada jiwa laki-laki. Bahkan dalam sosok Subadra yang lemah gemulai, ada juga jiwa lelaki. Malahan kontras. Spirit lelaki dalam Subadra yang anggun, jauh lebih banyak dan lebih macho bagai Rambo ketimbang spirit lelaki dalam Srikandi. Spirit lelaki justru kian sedikit dan lemah dalam Srikandi yang sosoknya ugal-ugalan.

Ibu-ibu, mari kita lihat juga wayang orang Jawa. Wayang orang mengajari kita bahwa Arjuna yang dikenal sebagai lelananging jagad, laki-lakinya dunia, justru dimainkan oleh perempuan. Itu bukan kebetulan di satu-dua kelompok wayang orang. Itu sudah umum dan jadi tradisi.

Padahal, suatu hal, apapun, tidak mudah menjadi kebiasaan turun-temurun yang kerap kita sebut tradisi. Suatu hal, apa saja, bisa soal salaman sampai cium pipi, nggak bakal jadi tradisi kalau masyarakat tidak setuju pada paham atau nilai-nilai di balik itu.

Jadi, diem-diem, sadar atau tidak, sudah lama kita sepakat bahwa di dalam sosok laki-laki ada juga jiwa perempuan. Dan sebaliknya. Di dalam wujud fisik perempuan, tak mustahil terkandung segudang jiwa kelelakian.

Manakala tafsir kita terhadap Kitab Suci menyimpulkan bahwa maskulinitas-lah yang mesti memimpin, bukan sosok laki-laki, apa pula salahnya kelak kita punya presiden bersosok perempuan (lagi)?

***

Sidang Ibu-ibu yang terhormat dan saya cintai, pemilihan presiden masih lama. Yang nggak sreg ama Mbak Mega, jangan cepat-cepat menuduh saya pengin mencalonkan kembali Megawati sebagai presiden. Bukan itu. Siapa pun, yang Ibu-ibu mantep, ayo kita dukung.

Dan meski pemilihan presiden masih lama, janganlah kita lupa bahwa pemimpin tidak cuma presiden. Ia bisa gubernur seperti Ratu Atut Chosiyah. Bisa seperti Dra. Rustriningsih Msi., bupati Kebumen. Sampai kepala desa. Bisa pemimpin perusahaan sampai kepala RW. Dan proses-proses pencalonan maupun pemilihan pemimpin-pemimpin pada tingkat itu bukankah terus berlangsung sepanjang waktu?

***

Bagi Syaharani Ibrahim, yang hari ini baru saja melakukan perjalanan dengan pesawat terbang, bagus atau tidaknya pemimpin memang bukan ditentukan oleh gender, tapi berdasarkan kemampuan dan pengalaman. Secara umum banyak yang bilang bahwa dipimpin oleh seorang perempuan tidak enak karena sering emosional. Syaharani berpendapat hal tersebut tidak bisa digeneralisir karena tidak semua perempuan emosional.

Hedy Yunus, mantan vokalis Kahitna, bercerita tentang pengalamannya dipimpin perempuan yang menjadi produser albumnya. Ada positif dan negatifnya, misalnya produser perempuan lebih protektif dan perhatian pada penyanyinya. Sementara negatifnya pada saat diperlukan ketenangan sang produser perempuan malah panik karena emosional. Tapi pengalamannya itu tidak bisa dijadikan pendapat umum, karena sebenarnya tergantung pada orang per orang. Bisa jadi tafsir yang baru saya dengar ini benar, karena salah satu faktor sebuah kepemimpinan dikatakan bagus adalah kemampuan mengambil tindakan yang sesuai dengan situasi dan keadaan.

Ya, tafsir bisa salah. Termasuk tafsir New Age terhadap Kitab Suci. Tapi toh bisa juga benar. Sedangkan yang sudah pasti salah adalah menerapkan apapun dari masa lampau untuk masa kini, tanpa tafsir sama sekali.

(Dimuat di harian Sindo, tanggal 11 Mei 2007)