Sindo

Sabar, Kata Kuncinya…

3,150 Views

Tulisan ini saya kerjakan di Solo, sehabis launching album musik saya Yaiyo. Saya baru tahu bahwa orang Solo yang ngebantuin sound system, namanya Pak Henky, sekarang punya gawean di luar sound, yakni bisnis tanaman jemani.

Tadinya saya sangat terharu mendapatkan bantuan sound system. Padahal, menurut saya, Pak Henky hidupnya tidak berkelebihan. Ternyata saya keliru. Bisnis tanaman pot jemani, kini lumayan menjanjikan. Hawa Solo dan sekitarnya, kabarnya cukup bagus buat tanaman ’hias’ ini.

Bayangkan, bibit yang sudah jadi sebesar kecambah saja bisa terjual antara Rp 75 ribu sampai Rp 250 ribu. Kalau sudah besar dengan masa pemeliharaan sekitar 2 tahun, harganya bisa mencapai Rp 12,5 juta. Langsung kebayang, kayak apa sebenarnya kehidupan Pak Henky sekarang, meski penampilannya tetap sederhana dengan rumah masih tipe 36.

Bukannya saya tidak terharu mendapatkan bantuan sound system dari Pak Henky. Saya tetap terharu. Namun dalam hal yang lain.

***

Ibu-ibu, bisnis tanaman pot jemani itu dilakukan Pak Henky secara tak sengaja. Awalnya dia membeli benih Rp 50 ribu untuk menghibur istrinya yang sedang sakit. Harapannya, warna-warni jemani akan turut meringankan penderitaan istri.

Eh…lama-lama jemani ini bisa membantu Pak Henky dan keluarganya, ketika turun pendapatannya dari bisnis sound system. Maklum, pada bermunculan ahli-ahli sound system lain yang kebanyakan adalah mantan murid-murid sound system Pak Henky (oh iya…Pak Henky orangnya sudah paruh baya).

Mungkin karena Pak Henky orangnya cukup sabar, sehingga ia dapatkan ”kebetulan-kebetulan” yang berguna. Ya, saya pakai kata ”sabar” saja. Kalau saya bilang ”karena Pak Henky sayang istri”, saya takut ibu-ibu jadi manja dan menuntut para suami menghadirkan jemani di rumahnya.

***

 Ya…sabar. Itu kata kuncinya. Kebetulan semingguan sebelumnya, saya juga berkenalan dengan orang yang sabar di Jakarta. Namanya Jarwo. Dia seorang satpam di kawasan pertokoan di Jakarta Selatan, sekaligus ngojek. Penumpangnya adalah karyawati-karyawati di pertokoan itu.

Saya sebut sabar, karena dini hari itu tak ada karyawati yang pakai jasanya. Artinya Mas Jarwo kehilangan tambahan pendapatan Rp 20-30 ribuan dini hari itu (sekali ngojek dia dapat segituan). Tapi Mas Jarwo yang berpostur tinggi, tetep aja murah senyum. Lelaki asal Kediri yang beristrikan perempuan Betawi ini malah tidak menunjukkan tanda-tanda stres akan bagaimana nasib dapur keluarganya esok hari karena pendapatannya selaku satpam pas-pasan.

Lebih-lebih saya sebut sabar si Mas Jarwo itu, karena ketika saya tanya kok namanya aneh, dia juga cuma senyum-senyum. Biasanya kalau bernama ”Jarwo” itu lengkapnya ”Sujarwo”. ”Su” = baik, ”jarwo” = pesan, cerita atau nasehat.

”Dulu nama saya Sujarwo”, katanya. ”Tapi pas udah dikasih nama, ternyata bapak saya lupa sudah punya anak namanya Sujarwo juga. Nggak tahu dari istrinya yang mana. Saya juga nggak tahu istri bapak saya berapa. Makanya terus nama saya bapak ganti dengan Jarwo aja.”

Saya sebut sabar, karena lagi-lagi Mas Jarwo menceritakan kisahnya dengan senyum-senyum juga. Malah ketawa-ketawa. Dia seolah bisa terima sisi gelap dari masa lampaunya secara apa adanya. Tak terbersit dendam atau sakit hati pada bapaknya.

***

Apakah kesabaran Mas Jarwo itu akan membuahkan hasil? Saya belum tahu, tapi saya berharap akan demikian halnya. Saya lihat karyawati-karyawati di pertokoan itu makin banyak yang dijemput entah suami entah pacarnya. Mereka parkir dengan sepeda motornya di luar komplek pertokoan. Artinya kemungkinan para karyawati menggunakan jasa ojek Mas Jarwo akan semakin menipis.

***

Dari perkenalan saya dengan beberapa orang, saya makin kuat berkesimpulan bahwa cepat atau lambat kesabaran akan membuahkan hasil.

Pernah dengar lagu ”Burung Camar” yang dibawakan Vina Panduwinata? Pencipta lagunya, Aryono Jati, termasuk orang sabar yang memperkuat kesimpulan saya. Pernah belajar musik di Jepang dan ikhwal kimia di Boston, akhirnya ia meninggalkan kantor farmasinya. Ia lebih memilih fotografi.

Semula tak ada yang menengok foto-foto jepretannya. Orang kebanyakan mengorder fotonya cuma karena ”kasihan”. Bidang ini dengan sabar terus ditekuninya, sampai akhirnya kini Mas Aryono menjadi fotografer yang disegani dan mahal.

Dimuat di harian Sindo, tanggal 13 Juli 2007