AREA 2009 - 2010

24 Jam tanpa UGD

3,261 Views

Alasan layanan 24 jam merebak dari salon, makanan dan lain-lain sudah pasti bukan karena kebutuhan untuk menyindir. Misalnya kalau wartel dan warnet yang nggak diongkosi negara aja 24 jam siaga, mestinya presiden, menteri, anggota DPR dan lain-lain kalau perlu sedia waktu 24 jam lebih. Tak pernah tidur, apalagi di ruang sidang.

Pertama, karena para pengusaha, para pewujud gagasan, pasti adalah orang-orang yang berbuat kongkrit. Mereka bukanlah orang-orang dari “Republik Komentar”. Bukan presiden, bukan pula calon-calon presiden, bukan intelektual, bukan rata-rata orang-orang LSM, yang kerjanya cuma saling komentar dan sindir-menyindir. Kerja kongkritnya ya ndak ada.

Kedua, negara ini sangatlah abstrak terutama bagi orang-orang yang punya jiwa kewirausahaan. Di dalamnya termasuk yang kepikir bikin layanan salon 24 jam. Gimana nggak abstrak wong sebagian besar dari 1000-an trilyun lebih anggaran belanjanya buat biaya rutin, misalnya buat gaji 5 jutaan pegawai negeri dan tentara dan polisi.

Sebagian besar justru bukan buat belanja barang dan jasa, seperti pengadaan meja dan kursi sekolahan…pembangunan jalan-jalan pedesaan yang bakal melibatkan banyak pekerja…bukan buat peredaran duit yang masyarakat ikut menikmati. Pajak yang kita bayar nggak balik secara proporsional buat kemaslahatan bersama. Padahal, saat kita ikhlas bayar pajak, kita membayangkan duit itu tak melulu buat bayar pegawai alias ongkos birokrasi.

Pekan lalu kita lihat pejalar-pelajar di Kabupaten Malang bersekolah tanpa meja kursi, karena pengusaha mengambil kembali meja-kursi itu lantaran Pemda Kabupaten tak kunjung membayar.

Negara jadi kelihatan abstrak. Ada, tapi kok nggak ada gunanya. Masa’ abis itu justru masyarakat diminta oleh pemda buat menyumbang meja dan kursi. Lho, duit dari pajak dikemanain?

Lalu ini alasan ketiga. Munculnya layanan 24 jam termasuk untuk money changer pasti juga bukan buat menyindir panitia Pemilu KPU. Misalnya mereka dengan arogan bilang, “Nih liat, gue bikin layanan 24 jam. Gue lebih tanggap membaca situasi lalu meresponnya. Tanggap baca situasi kebutuhan orang, sebelum masyarakat teriak-teriak. Ini lebih tanggap daripada KPU yang diteriaki kiri-kanan tetap aja tak merasa bersalah.”

Karena, apa urusan pengusaha layanan 24 jam dengan kacaunya Daftar Pemilih Tetap di sejumlah daerah. Ada yang membengkak karena seorang warga terdaftar dua kali, atau sudah mati masih terdaftar. Seorang bayi 3 tahun terdaftar sebagai pemilih. Di Batang, orang gila terdaftar juga sebagi pemilih. Belum lagi kurangnya maupun rusaknya surat suara di berbagai daerah.

    Gak ada urusan pengusaha dengan itu semua. Jika pun Pemilu berlangsung lancar, tetap aja negara adalah sesuatu yang abstrak buat para pengusaha layanan 24 jam bidang apapun. Yang kongkrit ya kebutuhan konsumen untuk dilayani makanannya, kebutuhan untuk pagi-pagi banget pengin berhias dan sudah ada salon buka…kebutuhan untuk tak khawatir karena tak punya valuta asing karena jam berapa pun mereka butuh pada saat itu ada bisnis tukar valuta.

Semua yang 24 jam saya kira bagus. Mungkin ke depannya, yang perlu diperhatikan cuma Unit Gawat Darurat Rumah Sakit tetap pentingkah keberadaannya.

Karena bagi sebagian besar rakyat Indonesia saat ini, jika gak jadi mati karena segera tertolong oleh UGD, emangnya ada jaminan bahwa si gak jadi mati itu mendapat lapangan pekerjaan, mendapat pengobatan gratis, mendapat pendidikan yang layak dari pajak yang sama-sama sudah kita bayar?

Takutnya kalau UGD itu 24 jam, yang untung cuma birokrasi dan bukan masyarakat. Dengan orang tetap hidup gak jadi mati, maka jumlah pembayar pajak tidak akan pernah berkurang. Birokrasi untung!

(Dimuat di rubrik ‘Frankly Speaking’ AREA 51, 31 Maret 2009)