AREA 2009 - 2010

Kuliner Baru: Menu Golput

3,453 Views

Seminggu belakangan ini beberapa radio dan televisi minta saya ngomong soal Golput. Saya pikir topik itu sudah ndak laku. Pertama, karena belum lama pernah diembus-embuskan bahwa menjadi Golput berkemungkinan haram, persis kayak makan babi.

Wah saya sudah penuh dosa kalau gitu. Sejak zaman Pak Harto, sejak pertama kali saya boleh milih pada Pemilu 80-an, saya tidak pernah memilih alias Golput. Oh pernah sih, tahun 80-an itu saya diobrak-obrak dibangunin ama Pak RT buat nyoblos. Ndak enak ma Pak RT ya udah saya pergi ke bilik suara, tapi di dalam bilik itu PDI, GOLKAR dan PPP saya coblos semuanya.

Itu alasan pertama. Soal dosa. Ndak mungkin media massa minta saya ngomong soal Golput. Kedua, kalau tak salah, kabarnya memaklumkan diri sebagai Golput, berarti sama saja dengan ngajak-ngajak banyak orang untuk menjadi Golput. Dan ini kabarnya bisa dikenai pasal menyebarkan pemikiran yang berbahaya.

Tapi toh media massa tetap minta saya ngomong soal itu. Berarti, kesimpulan saya, ngomongin Golput termasuk memaklumkan diri sebagai Golput sah-sah saja. Sudah direstuilah kini bicara soal Golput, soal 30 persen bahkan mungkin lebih warga yang tak ambil pusing ama Pemilu.

Beberapa teman bilang, menjadi Golput berarti menyerahkan seluruh urusan pada orang lain, yang kita sendiri tak ikut menentukan. Ibaratnya, kita sama-sama mau naik bus. Penumpang Golput tidak ikut menentukan siapa seyogyanya menjadi sopir meski dia ikut menjadi penumpang. Mau sopirnya santun, gila, tidak punya SIM atau lagi stress. Terserah. Manakala nanti dapat sopir ugal-ugalan dan masuk jurang…ya masuk jurang bareng-bareng.

Pendapat itu menurut saya perlu dihormati dan terus-menerus kita renungkan. Tapi saya punya pendapat lain. Bahwa siapa pun yang bakal kita pilih menjadi sopir, kita akan tetap masuk jurang, karena jalan yang dibikin emang jalan yang mengarah ke jurang. Jadi daripara capek-capek buang waktu dating ke Tempat Pemungutan Suara, bukankah mending kita mengerjakan hal-hal lain yang lebih produktif, termasuk menemani anak-anak sebagai tunas buat masa depan?

Ya, saya punya firasat, siapa pun pemenangnya, bus itu akan menempuh jalan yang dibikin oleh orang atau pihak lain, yang mau gak mau mengarah ke jurang. Pihak tersebutlah yang menurut para ahli ekonomi disebut kaum Neo-Liberalisme internasional. Pihak tersebut yang mendikte agar Undang-undang energi membuat kita cuma mengantungi 10 persen hasil pengurasan minyak.

Pihak itu yang membuat teh kita menjadi tak ada nilainya di dunia internasional dan cuma seenaknya ditentukan harganya di Belanda. Pihak itu yang membuat Bulog cuma boleh mengurus beras, sehingga untuk kedelai dan lain-lain kita masih tergantung pada asing.

Pihak itu yang secara sistematis membuat kita secara kebudayaan juga rendah diri pada asing, minder tak ada ujungnya, sehingga bule terus-menerus menjadi tolok ukur kemajuan…Sampai-sampai iklan sebuah kopi yang dibintangi Luna Maya bilang, “Tuh, bule aja doooooyan…!” (emang kalau bule udah suka, kita harus suka?).

Pihak itulah yang menciptakan sistem sehingga dalam kasus ambrolnya tanggul Situ Gintung, Menteri Pekerjaan Umum langsung bilang akan mendatangkan ahli-ahli dari Jepang (seolah-olah di sini tidak ada insinyur dan doktor-doktor ahli bangunan dari ITB, UI, UGM, ITS dan lain-lain).

Pihak itulah yang membuat program-program dan dana-dana bantuan asing selalu berarti duit yang habis buat menggaji kontraktor dan konsultan asing di negara kita sendiri.

Begitu dan seterusnya. Tapi saya orang yang optimistis. Jika ada partai atau presiden, yang programnya tak melulu internal tapi juga eksternal bagaimana cara menghentikan kolonialisme internasionalisme gaya baru macam hari ini, pada detik itu juga saya akan berhenti Golput dan pergi memilihnya. Tak saja memilihnya, tapi mungkin akan mati-matian mengkampanyekannya.

(Dimuat di rubrik ‘Frankly Speaking’ AREA 52, 13 April 2009)