AREA 2011 - 2012

AREA 96 Hanya Tidur Yang Belum di Mall

3,761 Views

TejomusikWilliam Shakespeare bilang apalah arti sebuah nama. Kini, apalah arti suatu angka. Ada yang bilang jumlah mall di Jakarta sekitar 130-an. Tapi pernah saya dengar mencapai 600-an lebih. Mungkin mereka menghitung pusat-pusat perbelanjaan di seputar Jakarta juga. Tercakup mall-mall di Depok, Tangerang, Bogor dan Bekasi.
Atau angka 600 mall itu cuma di Jakarta saja? Toh mall-mall tak cuma marak di kawasan Tomang, Mangga Dua, Kelapa Gading, Bundaran HI, Blok M, Senayan. Kawasan TB Simatupang di selatan, yang konon bakal dijadikan lahan konservasi dan resapan air, kini jadi “kebun mall” juga. Jadi berapa sih tepatnya jumlah mall di Jakarta?
Ah, yang sama penting dengan hitung-menghitung, bahkan mungkin lebih penting, adalah perasaan. Pokoknya, rasanya jumlah mall itu buaaanyak banget. Dan sering dibilang bahwa Jakarta itu kota dengan jumlah mall terbanyak. Sampai-sampai setiap kali kena macet lalu-lintas malam di Jakarta, saya merasa bahwa di depan sana ada truk dan alat-alat berat keluar masuk proyek pembangunan mall.

Mudah diduga kebanyakan warga Jakarta juga membelanjakan uangnya di pusat-pusat perbelanjaan itu. Pengunjung selalu penuh. Kalau kita intip dunia maya seperti twitter, janjian-janjian ketemuan pada umumnya juga di mall. Tempat ini memang jadi satu menyediakan berbagai  kebutuhan. Janjian ketemuan itu bisa di tempat makan, bioskop, pusat kebugaran dan lain-lain. Semua manunggal di dalam mall.
Jarang sekali saya intip di twitterland ada janjian ketemu di perpustakaan umum mana, atau ruang publik seperti Taman Suropati. Bahkan hampir tidak ada. Hampir tidak ada pula janjian ketemuan di tempat-tempat olahraga umum gratis.
Mungkin karena perpustakaan umum juga amat langka di ibukota. Mungkin karena ruang publik semacam Taman Suropati, yang bisa dibuat latihan gratis main musik dan lain-lain itu, juga amat jarang di Jakarta. Mungkin karena lapangan bola gratis buat warga kota yang ingin bermain bola, seperti di beberapa kota dunia, nyaris tak ada di Jakarta. Lha wong WC umum di jalanan saja, seperti di Singapura, Amsterdam dan lain-lain, nyaris tidak ada kok. Sopir-sopir taksi di sini rata-rata ngempet pipis 2-3 jam tiap hari.
Singkatnya, minim sekali fasilitas gratisan buat warga kota. Kalau mau bugar ya datanglah ke mal. Habis olahraga, termasuk ice skating seperti di kawasan Tomang, bisa makan-makan dan beli-beli pakaian. Semuanya bayar.
Pemain sinetron Jeremy Thomas sampai pernah bilang, hidup sehat di Jakarta mahal karena kurangnya sarana publik untuk tempat olahraga. “Kalau mau sehat harus ke mal dulu, bayar mahal,” katanya, membandingkan Jakarta dengan kota-kota di Australia yang banyak mempunyai sarana publik. Lembaga survei Mercer Human Resource Consulting pernah melaporkan, biaya hidup di Jakarta lebih mahal ketimbang di Washington DC.
Ongkos pemakaman juga mahal. Apalagi lahan kuburan sudah penuh seperti di Menteng Pulo dengan 41.000-an makam. Berlaku hukum pasar. Persediaan terbatas. Permintaan banyak. Tapi mati toh cuma sekali seumur hidup. Yang berkali-kali dalam hidup itu ke mall.
Tapi kenapa saya hampir tak pernah pergi ke mall ya? Kalau ada teman atau klien mau ketemu, saya sering minta pindah ketemu di tempat makan bukan mall, yang halaman tanahnya kelihatan. Atau kelahiran saya salah zaman?