Wayang Durangpo Tahun II (2010 - 2011)

Episode 80 Rahwana-Yamadipati dari Hollywood

5,826 Views

Episode080Ada yang ikut-ikutan berubah. Ada yang pancet wae. Negoro berubah, Diponegoro tetap naik kuda dan bersorban putih. Alam berubah, Dipo Alam ikut berubah. Dulu dia kritis ke government. Sekarang, konon, dia senewen kalau ada koran yang mengkritik government.

Termasuk yang ndak berubah adalah soal pertemanan. Sejak dulu perkoncoan juga sering bikin mumet. Umpamanya, kok bisa-bisanya kera sakti Subali sohiban sama Rahwana. Jalur keduanya beda. Subali dari dunia putih. Rahwana dari kegelapan. Dua saudara Subali juga orang-orang dari garis putih. Adiknya, Prabu Sugriwa, ikut koalisi membela Ramawijaya. Adiknya lagi, Retno Anjani, menjadi mamanya Hanuman.

Dirunut ke belakang, ayah Subali, Resi Gotama, agamawan terpandang. Baginya agama bukan cuma untuk menggempur pornografi dan orang-orang yang berbeda keyakinan. Agama juga untuk mengganyang korupsi.

Itulah ayah Subali. Berbeda dibanding ayah Rahwana, Resi Wisrawa. Resi Wisrawa lebih sibuk ngurusi spiritual. Banyak anggapan, di tangan Resi Wisrawa agama jadi semacam narkoba. Hanya untuk kenikmatan dan kebahagiaan diri sendiri. Tak heran akhirnya Wisrawa menyepi. Panembahan ini baru turun gunung ketika hendak menemui Dewi Sukesi yang kelak menjadi ibunda Rahwana.

Kalau keduanya berbeda kenapa bisa berteman? Ya, jangan tanya dalang. Dalang seperti saya ini biasanya sok tahu. Mending tanya Mas Anas Urbaningrum, kok Demokrat bisa-bisanya masih koncoan juga sama PKS dan Golkar? Di dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi siapa yang Subali siapa yang Rahwana?

***

Bukan cuma berteman. Subali-Rahwana sudah nyaris seperti saudara, sedulur sinarawedi. Subali bahkan mewariskan pusaka andalannya yaitu Aji Pancasona ke Dasamuka, ya, si Rahwana itu. ’’Enak tenan Rahwana,’’ ujar ponokawan Gareng. ’’Dia ndak pakai susah-susah tahunan bertapa ngalong seperti Resi Subali, kepala di bawah kaki nyantol ranting pohon kayak kelelawar…’’

’’Ya berarti itu sudah garisnya…Sudah takdirnya…Sudahlah ndak usah mikir-mikir kok enak tenan jadi orang lain,’’ sahut adiknya Bagong.

’’Setuju Bagong,’’ celetukan asal dari Petruk, kakak Bagong. ’’Kita nggak usah merenung kok asyik sekali hidupnya Pak Nurdin Halid. Kok ce’ saktinya. Enakan mana jadi Pak Nurdin Halid atau Pak Arifi n Panigoro atau Pak Jendral George Toisutta. Kalau jadi Bung Ipin dan Bung Geo memang enak, kok yang masuk calon mandor PSSI Bung Nurdin? Tapi jadi Bung Halid ndak enak juga ya, dikeroyok demo di mana-mana… Makanya, yuk, mari, jangan mikirin nasib keberuntungan orang…’’

Tapi Gareng bersikeras tetap ngomong soal Rahwana dan Aji Pancasona. Katanya itu bukan soal dia iri atau apa. Mboten. Ini soal nasib semua orang. Aji Pancasona itu membuat pemiliknya ndak bisa mati selama masih hinggap di bumi, Ibu Pertiwi. Punya Aji Pancasona tapi ndak mengalami susahnya meraih aji luar biasa itu, bisa membuat Rahwana sewenang- wenang, adigang adigung adiguno. Bahaya! Bahaya!

’’Wah kalau gitu sekarang saya setuju Kang Gareng,’’ Petruk berganti haluan, meski masih asal-asalan. ’’Itu bahaya. Bahayanya sama dengan orang mimpin partai, megang negara, tapi nggak tahu bagaimana jerih payah nenek-moyang dahulu mendirikan partai atau negara… Orang nyetir sepeda motor, tapi tidak tahu sejarah perjuangan kakek-moyang dahulu menemukan mur dan baut…. Lupa pada perjuangan ibu, seorang anak di Sumatera Utara tega-teganya menuntut ibunya yang sudah 90 tahun karena nyolong jagung.. Iya kan Gong?”

’’Embuh!’’ Bagong terus pergi entah ke mana. Mungkin ke Gunung Srandil.

Melihat Bagong pergi, Petruk juga ngacir, tapi Gareng terus membuntutinya. Malah gendong Petruk yang tinggi agar Gareng yang pendek itu mulutnya bisa mencapai telinga Petruk. Gareng hanya berhenti ngoceh ketika lewat kebun kelapa. Takut kejatuhan kelapa, seperti bayi di Banyuwangi.

Selepas pohon-pohon nyiur, Gareng bicara tepat di telinga kiri Petruk, ’’Kamu tahu kan, Truk, kenapa Ibu Pertiwi sangat mencintai Subali. Kalau kamu berdiri, berjalan di atas Ibu Pertiwi, kamu nggak sadar pada belas kasih Ibu Pertiwi. Sudah kamu injak-injak, kamu ludahi, tetap saja malah menumbuhkan tanaman buat kebutuhan hidupmu. Ketika kamu sudah nggak kumpul lagi, sudah berjarak terhadap Ibu Pertiwi, menggantung terbalik seperti kalong, kamu baru ngeh betapa luar biasanya kasih sayang bumi. Itu bertahun-tahun dilakukan Resi Subali… Rahwana melakukan apa?’’

***

Sudah berbulan-bulan raja Alengka, Rahwana, betah tinggal di keraton kerajaan Gua Kiskenda. Keratonnya Resi Subali. Waduh, hulubalang kerajaan Alengka sudah pengin sekali melihat junjungannya kembali dari Kiskendapuri. Bukan lantaran kangen tok, terutama juga mereka resah. Pemberitaan-pemberitaan koran baru yang dipimpin Gareng wis keterlaluan. Namanya koran Becik Ketitik Olo Ketoro. Disingkat Bekolotoro.

Laporan-laporan Bekolotoro selalu memojokkan kepemimpinan Rahwana. Termasuk pemberitaan bocornya rahasia militer mereka di Korea Selatan. Salah seorang punggawa kerajaan, Dipo siapa gitu, malah mengancam menghentikan iklan-iklan kerajaan di koran itu. ’’Biar koran Gareng mampus kejet-kejet nggak punya pemasukan,’’ tandas Dipo.

Untung di Alengka ada Togog dan Mbilung. Kedua ponokawan itu kasih nasihat-nasihat ke Rahwana. Maka sepulang dari Kiskendapuri, Rahwana justru tidak tertarik memboikot reklame kerajaan Alengka. ’’Kalau advertensi Alengka di koran Bekolotoro distop, nanti koran itu akan bangkrut. Ribuan karyawan nganggur. Kalau mereka nganggur, pasti pada pengin jadi anggota DPR atau Ketua PSSI… Kasihan petugas pendaftaran..,’’ hatur Togog.

’’Setuju. Setuju, Gok,’’ Rahwana sambil kejang- kejang ngakak.

Sayangnya ada info-info yang bocor. Dasamuka mendengar info bahwa koran kadang-kadang juga kebablasan kalau ngritik. Dipo siapa gitu ada benarnya juga. Merah-hijaunya isi koran tergantung pemiliknya. Wartawan bisa berani ke siapa pun termasuk ke Rahwana, tetapi mati kutu di depan pemilik koran. Padahal wartawan sudah dilindungi undang-undang. Kalau ditekan oleh pemilik koran dalam menulis, si pemilik bisa dikenai sanksi dua tahun penjara atau denda Rp 500 juta.

’’Sudah dilindungi undang-undang masih juga wartawan lebih takut pada pemilik koran ketimbang ke aku!!!????’’ meradanglah Rahwana di suatu sidang. Pilar-pilar keraton sampai bergetar seakan kena gempa.

Ayah Indrajit itu langsung memesan tunggangannya Wimana Pupaka. Para serdadu sontak menyertainya meski mereka tak tahu akan ke manakah gerangan sang juragan. Mereka menyangka Rahwana akan meluruk Gareng. Sang Wisrawaputra itu akan membuktikan kepada wartawan bahwa ia lebih sakti ketimbang pemilik media mana pun.

***

Semua keliru, kecuali Bagong. Ternyata Wisrawaputra menuju Yamaloka, tempat Dewa Pencabut Nyawa, Yamadipati. ’’Buat apa tanding sama Gareng. Kalah malu. Menang pun kita tak kondang,’’ alasan Rahwana. ’’Mending aku membunuh Yamadipati, sedulur Gareng sesama anak Semar. Bisa dijadikan bahan film Hollywood. Nanti aku pakai akal-akalan. Aku akan ancam film itu nggak aku edarkan di Tanah Air, sampai harga tiket jaringan bioskop bisa dinaikkan… hahaha…,’’

Di film Hollywood, pertarungan Rahwana-Yamadipati pun seru seperti macan gembong dan singo barong. Mereka bertempur di waitarani, sungai darah. Mereka bertempur asipatrawana, hutan yang daun-daunnya setajam pedang. Berkali-kali Wisrawaputra mati jatuh dari kahyangan ke bumi. Aji Pancasona membuatnya gumregah hidup kembali. Akhirnya Yamadipati alias Pretaraja mengeluarkan pusaka andalannya, Kaladhandha.

Kocap kacarita.

Bagong yang sedang berputar-putar di Gunung Srandil tak sengaja membangkitkan Semar. Semar alias Badranaya dipercaya dimakamkan di situ bersama Syekh Jambu Karang, Sam Poo Kong, Eyang Langlang Buwana, Eyang Mayangkoro dan lain-lain.

Bagong meminta Semar agar dari kawasan Cilacap itu Semar naik kahyangan, melarang Yamadipati menggunakan pusaka Kaladhandha. Semar kasih perintah itu tanpa sepengetahuan Rahwana. Yamadipati hengkang. Rahwana akhirnya tidak jadi terbunuh. Ia malah lunjak-lunjak merasa lebih sakti ketimbang Dewa Maut.

Kenapa Rahwana tak dibunuh. Alasan Bagong, ’’Kalau Rahwana mati, koran Gareng ndak punya bahan tulisan lagi. Korannya mati. Aku dan istriku, Bagnawati, mau numpang makan ke siapa?”

Disadur selengkapnya dari JawaPos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo