Sindo

Bisnis dan Mengarang di Sekolah

3,134 Views

Pemusik Djaduk Ferianto lebih beruntung ketimbang saya dalam hal naluri bisnis. Yaitu naluri yang kini banyak diajarkan di dunia pendidikan formal. Mungkin karena ayahnya, almarhum seniman Bagong Kusudiardjo adalah seniman tulen. Beliau hidup melulu dari kesenian dan harus bisa hidup secara swasta. Spirit itu diwariskan kepada anak-anaknya termasuk Djaduk dan Butet Kertaredjasa.

Pak Bagong tidak nyambi jadi pejabat seperti ayah saya. Ayah saya dalang tetapi juga pejabat di daerah. Makanya beliau malu kalau anaknya berbisnis sejak kanak-kanak.

Pernah suatu hari, ketika masih kelas satu SD, bapak saya marah karena saya ketahuan jual karet gelang. Karet itu saya dapat karena menang permainan karet gelang. Begitu juga bapak saya marah ketika memergoki saya jual kertas-kertas gambar yang saya peroleh juga atas kemenangan main kertas-kertas gambar.

Djaduk beruntung. Bapak Presiden ini (anak Djaduk namanya Presiden), bahkan dilatih berbisnis terhadap eyang Presiden sendiri. Semasih kanak-kanak, ketika ia pinjam sepeda motor bapaknya, Pak Bagong diem-diem akan periksa bensin di tangki. Pulangnya, diem-diem, akan Pak Bagong cek lagi itu bensin. Djaduk harus membayar bensin yang telah keluar.

Gak ada duit? Gak masalah. Tapi Djaduk nantinya harus dipotong honornya kalau ikutan dalam pementasan Pak Bagong. Makanya selain bisa bikin musik, Djaduk juga piawai membisniskan musiknya. Saya sampai sekarang jatuh-bangun untuk mulai dari awal belajar membisniskan kesenian. Dan kadang merasa udah telat umur.

***

Saya melihat inti bisnis adalah pemasaran (marketing) dan penjualan (selling). Dan dari wawancara tokoh bisnis ketika siaran radio, saya baru tahu beda keduanya. Pemasaran itu memperluas permintaan yang ada menjadi permintaan yang lebih besar lagi di masa mendatang. Penjualan adalah menyuplai permintaan yang sudah ada.

Dan saya melihat inti dari marketing dan selling adalah kemampuan berkomunikasi.

Dari situ saya heran. Sekolah-sekolah, terutama yang swasta, kini berlomba-lomba mengajarkan bisnis sejak dini. Misalnya di School of Universe dan Technonatura International School dan orang-orang ribut soal itu. Tetapi kok nggak ada yang meributkan bagaimana dunia pendidikan formal kita mengasah kemampuan berkomunikasi melalui pelajaran mengarang, bercerita maupun pidato di depan kelas.

Di berbagai kesempatan saya sering bilang, dan tetap nggak akan bosan bilang, mengapa penyerahan hadiah musik dan film di Indonesia nggak pernah menarik? Ya antara lain karena pidato-pidato artis abis nerima piala jadi formal, klise. Kenapa klise? Ya karena tidak terlatih untuk mengarang dan menyampaikan pendapat secara ekspresif dan otentik.

Bukan saya mau mengagung-agungkan acara Piala Oscar. Tapi harus kita akui di situ bahwa pidato-pidato penerima penghargaan, dari artis yang punya image intelektual maupun yang image-nya sekedar hura-hura, pidatonya ekspresif dan otentik. Mengharukan dan menggugah!

Begitu juga acara dialog peserta dan juri dalam American Idol. Asyik. Ekspresif. Otentik. Enak ditonton. Oprah Winfrey juga enak ditonton talkshownya karena tamu-tamunya ekpresif. Ndak klise omongannya. Di sini setengah mati jadi host acara karena belum ada jaminan bahwa tamu-tamu akan bicara singkat dan asyik dalam wawancara.

Ya, dan kemampuan berkomunikasi itulah yang menurut saya jadi apinya marketing dan selling. Pakar telematika Roy Suryo belum tentu yang paling pinter di tanah air. Tapi kenapa dia yang kelihatannya paling laku? Ya pasti karena kemampuan berkomunikasinya.

Saya juga jamin, belum tentu dai-dai kondang dan mahal-mahal itu dai yang paling pinter. Justru dai yang pinter-pinter dan ditakuti malah yang tidak terkenal sama sekali. Ya tapi karena dai-dai produk televisi itu bisa “memasarkan” dan “menjual” dirinya.

Bahkan di dunia ilmu pengetahuan, dunia yang konon paling selektif dan cuma melihat prestasi seseorang tanpa kecampur ama daya tarik orangnya, kemampuan memasarkan dan menjual diri ini juga diperlukan.

Di belakang Albert Einstein ada beberapa orang. Tapi yang ngetop Einstein. Sebelum Charles Darwin bikin teori evolusi, di India sudah ada pemuda yang merintis teori itu. Tapi yang dikenal dan kepake adalah Darwin!

***

Mari saya rangkumkan pro-kontra anggota masyarakat yang sempat saya kontak buat pengajaran bisnis sejak dini di sekolah. Fira Basuki, novelis dan mantan pemimpin redaksi Cosmopolitan, bilang lihat sisi positifnya aja pengajaran bisnis di sekolah.

Katanya, televisi jauh lebih perlu kita perhatikan bahayanya. Karena banyak tampak selebriti yang bisa dapat uang tanpa kerja keras. Banyak juga selebriti kecil-kecil sudah punya uang. Bahkan ada yang bilang sudah tidak konsen lagi ke sekolahnya, dan lebih konsen di akting.

Pengajar dan fotografer papan atas Firman Ichsan tidak bermasalah dengan pengajaran berbisnis di sekolah asal titik berat yang diajarkan adalah etika berbisnis. Menurutnya, justru etika itulah termasuk etika-etika dalam bidang lain seperti politik dan peradilan, yang kini kurang diperhatikan dunia pendidikan.

Susan Bachtiar, mantan model yang kini guru taman kanak-kanak, tidak mau berkomentar banyak meski sebenarnya kurang begitu setuju kalau anak kecil sudah diajarkan mencari uang. Justru yang harus dipikirkan sekarang adalah banyak anak yang tidak suka sekolah dan maunya hanya mencari uang. Kalau yang diajarkan adalah kreatifitas dan cara menjual hasil karyanya, Susan setuju tapi itu pun dengan catatan selama tidak mengganggu pelajaran sekolah.

Hampir senada dengan Susan adalah model dan aktris muda, Dominique. Dia tidak setuju karena menurut dia tidak semua anak senang atau punya kemampuan berdagang atau berbisnis. Yang lebih baik diakarkan kepada anak-anak adalah barang mana yang patut dijual dan mana yang dibeli. Sekarang banyak anak muda yang ’lapar’ matanya, mereka beli barang bukan karena kebutuhan. Konsumtif istilah kerennya.

(Dimuat di harian Sindo, tanggal 27 April 2007)