Sindo

Jalinan Dendam

2,968 Views

Kasus yang baru terjadi di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) akhirnya mengingatkan saya pada “Dendam Tak Sudah”. Ini bukan judul novel atau film yang ada kaitannya dengan rantai dendam-mendendam. Misalnya karena kasus di IPDN bisa saja akibat rangkaian tali-temali perasaan itu.

Bukan novel bukan film. “Dendam Tak Sudah” hanyalah nama danau di Bengkulu. Meski ceritanya terkait erat entah dengan kasus IPDN, entah dengan dendam-mendendam lain yang justru lebih banyak terjadi di luar kampus di Jatinangor, Sumedang itu. Harus setor kepada atasan, lantas serial selanjutnya dia menginjak bawahan buat setor, sehingga korupsi makin lebar dan luas, bukankah ini juga terjadi di masyarakat?

Mungkin tak ada korban seperti Cliff Muntu, praja IPDN asal Sulawesi Utara, yang bahkan alat vitalnya ditemukan rusak. Tetapi pungutan liar dan korupsi akibat rangkaian dendam yang ujungnya bikin kalangan paling bawah susah hidup sehingga susah juga cari makan buat keluarga, bukankah itu sesungguhnya lebih kejam? Bukankah itu lebih sadis ketimbang penganiayaan terhadap Cliff atau praja IPDN sebelumnya, Wahyu Hidayat tahun 2003?

Cliff dan Wahyu “enak”. Abis dianiaya meninggal. Gak ada penderitaan lagi. Lha, orang yang “terbunuh” secara perlahan-lahan karena menjadi mata rantai terakhir korban rangkaian dendam korupsi itu gimana? Apalagi jumlahnya jauh lebih besar ketimbang Cliff dan Wahyu serta beberapa sejawatnya.

***

Ibu-ibu, setiap ada peristiwa biasanya kita terlalu terpaku pada kasus itu semata-mata. Sebenarnya ini wajar. Penguasa pun kini terfokus kepada penyelesaian tragedi yang menimpa kampus tersebut. Menjadi tidak wajar kalau tiba-tiba orang melupakan intinya. Dalam hal ini intinya adalah mata rantai dendam. Padahal banyak kasus di kehidupan khalayak ramai yang intinya adalah jalinan dendam yang tak sudah-sudah. Terfokus melulu pada IPDN. Lupa yang lain. Jangan ya Bu…please

Ya. Dendam. Lihatlah, sebagian orang masih percaya terhadap legenda tentang dua lintah besar di “Danau Tak Sudah”. Sepasang penghisap darah itu diyakini sebagai jelmaan sejoli yang dahulu menjalin asmara. Bersumpah sehidup semati. Tapi orang tua pihak perempuan tak merestui hubungan itu. Dengan dendam yang membara, lantas keduanya bunuh diri mencebur danau. Dampak dari dendam itu terasa sampai hari ini, terutama bagi orang-orang yang percaya legenda itu.

Orang-orang yang tak lagi percaya legenda, ada baiknya saya ingatkan dengan salah satu hasil penelitian ilmiah tentang dendam. Konon, penelitian itu dibikin di negara-negara Eropa Timur yang kerap mengalami pertengkaran etnis. Katanya, dendam seseorang yang jadi korban hanya akan lenyap minimal setelah 35 tahun.

Seorang aktivis LSM di Semarang yang kerap menangani kerusuhan etnis di Maluku menceritakan itu kepada saya. Hah? Saya heran…kok angkanya 35, bagus dan kerap dijadikan hitungan jadwal upacara di suku-suku tertentu. Maksud dia gini, kalau pada tahun kedua, ketiga atau ke berapa, terjadi lagi kasus, dendam si korban baru lenyap setelah 35 tahun ditambah rentang waktu terjadinya susulan peristiwa itu.

Dengan kata lain, tanpa itikad baik semua pihak untuk memutuskan mata rantai dendam, maka seluruh insiden yang disulut oleh api kesumat itu nggak akan pernah ada henti-hentinya.

***

Katanya perempuan lebih suka menyimpan dendam dibanding laki-laki. Saya sendiri jarang ngomong kekesalan saya ke orang lain terhadap teman perempuan, karena seringkali saya menganggap masalah sudah selesai. Namun kawan saya yang perempuan itu masih punya dendam.

Kebencian yang dirasa oleh perempuan atau kaum ibu biasanya lalu diwariskan ke anak-anaknya. Ketidakpuasan seorang istri terhadap suami biasanya diceritakan kepada anak-anaknya, sehingga anak-anak mewarisi dendam sang ibu kepada bapaknya.

Perempuan sering merasa dianggap sebagai makhluk yang lemah. Tidak hanya oleh laki-laki tapi seringkali oleh perempuan itu sendiri. Karena itu perempuan lalu jadi merasa tak berdaya menghadapi problem-problem hidup. Itu mungkin yang membuat perempuan jadi lebih pendendam dibanding laki-laki.

Mungkin ada bagusnya sebelum merasa tak berdaya, kita mencoba untuk mengatasi persoalan lebih dulu. Bisa jadi hal itu akan memutus rantai dendam yang akhirnya membuat penderitaan tak habis-habisnya. Ibu adalah orang pertama dalam hidup seorang anak. Terhadap ibunyalah, anak akan mencontoh perilaku menghadapi hidup. Jadi bila si ibu adalah seorang pendendam, begitu pula jadinya si anak. Demikian pula sebaliknya.

“Orang Indonesia itu sangat dekat dengan dendam dan membalas dendam. Makanya banyak sekali kasus anak bunuh bapaknya sendiri, anak buah bunuh majikan dan sebagainya,” kata Indra Birowo, aktor yang kini sedang menggarap film pendek seputar dendam dalam kehidupan.

Bagi Oppie Andaresta dendam bukan cuma urusan hutang nyawa dibayar nyawa. Orang tidak cantik bisa dendam terhadap orang-orang yang dianggap cantik dan untuk itu rela mengeluarkan berjuta-juta rupiah buat operasi.

(Dimuat di harian Sindo, tanggal 20 April 2007)