Sindo

Sekolahlah Latihan Kesabaran Terbaik

3,430 Views

Pekan lalu soal pendidikan sudah kita bahas untuk menyongsong Hari Pendidikan Nasional. Mestinya kita bisa beralih ke topik lain.

Tapi didik-mendidik ini emang bukan perkara ringan. Pas hari besar nasional itu banyak demo di tanah air. Mereka perkarakan kebijakan pendidikan. Ya kurikulumnya, ya mahalnya ongkos.

Karena itu, Ibu-ibu, mohon izin pada kesempatan kali ini saya kembali nyoalin ikhwal pendidikan. Yaitu soal paling inti dari kebudayaan.

Kodok bukanlah makhluk berbudaya. Artinya, mereka bukan titah dewata yang dikaruniai kemampuan mengajar dan diajar secara sistematis.

Tanpa kebudayaan, yaitu tanpa pendidikan segala hal berlangsung bagai sedia kala. Segala hal tidak dianalisa baik-buruknya, lalu dikembangkan lebih lanjut sebagaimana proses yang mesti ada di dalam pendidikan.

Lihatlah cara bersenggama kodok dan sapi dari zaman Ken Arok sampai sekarang ya…kita sama-sama tahulah. Gitu-gitu aja. Karena flora dan fauna adalah makhluk alam.

Manusia ndak gitu. Mereka eh, kita, punya pendidikan. Kita punya daya analisa kekurangan segala hal yang sudah terbiasa berlangsung. Lalu kita perbaiki. Maka kita tak saja berubah dari lampu minyak ke listrik, dari telegram ke internet.

Kita pun berubah-ubah dan punya macam-macam seks berikut jamunya dari zaman ke zaman. Di dalam kebudayaan, karena ada pendidikan, muncullah kitab-kitab seperti Kamasutra, Gatoloco, Centini dan lain-lain.

Emang nyamuk penyebab demam berdarah kini tak cuma gawe pada jam 10 pagi sampai jam 2 siang. Mereka juga beroperasi pukul 5 sore sampai 7 malam. Tapi bukan karena ada analisa bahwa kerja cuma pagi ternyata kurang efektif. Lantas, dengan pendidikan, mereka bikin organisasi dan bikin shift kerja.

Bukan begitu. Mereka kini bisa kerja petang hari mungkin akibat perubahan cuaca. Mungkin juga karena obat-obat pembasmi nyamuk bikin mereka berubah “pikiran” dan berubah fisik sehingga mampu kerja sore hari.

Singkatnya, ibu-ibu, perubahan-perubahan pada flora dan fauna terjadi lantaran respon naluriah pada perubahan lingkungan alam. Mereka makhluk alam. Manusia makhluk alam sekaligus makhluk kebudayaan. Di dalam kebudayaan, perubahan terjadi tak semata-mata karena respon naluriah, tetapi juga karena manusia punya strategi dan perencanaan akibat proses pendidikan.

***

Jadi, ibu-ibu, demo-demo yang terjadi di berbagai daerah menyangkut soal kebijakan dan ongkos pendidikan, sebetulnya bisa kita posisikan dalam kerangka itu. Yakni, ada sekelompok makhluk yang merasa bukan fauna, tapi kok tidak dipacu buat jadi manusia melalui pendidikan? Berdemolah mereka.

Kalau emang mereka tidak dianggap sebagai fauna, kok tidak dipacu buat berbudaya, buat punya kemampuan strategi dan perencanaan dalam hidupnya melalui pendidikan yang baik dan terjangkau biayanya? Berdemolah mereka.

Sebenarnya ada cara demo yang lain. Tidak turun ke jalanan dan bawa spanduk. Tetapi mengajar sendiri anaknya. Home schooling macam ini mulai tumbuh belakangan ini, mungkin ada kaitannya langsung maupun tidak dengan buku Deschooling Society tulisan pedagog Ivan Illich beberapa dasawarsa lalu.

Cuma, mendidik sendiri anaknya di rumah bukannya tanpa problem. Mungkin di rumah, bapak dan ibu mengajar anaknya dengan penuh kehangatan, perdebatan dan demokratis. Tapi kelak di tempat kerja, anak tak bakal mendapatkan suasana itu. Anak-anak bakal lebih kerap berjumpa dengan orang-orang yang tidak kritis, tidak suka debat dan tidak demokratis hasil pendidikan formal sekolah.

***

Maka, ibu-ibu, menghadapi anak-anak yang sudah malas sekolah karena gurunya sok tahu dan teman-temannya cuma sirik kalau dia dapat nilai bagus pas ujian, nasihat terbaik dari orang tua menurut saya dan beberapa teman kira-kira begini:

“Saya bisa ngerti kalau kamu males sekolah. Baik, saya akan ngajari kamu beberapa mata pelajaran yang saya masih ingat”. Karena menurut Widi AB Three, yang lebih penting daripada sekolah adalah belajar. Dan belajar itu bisa dari mana-mana. Dari film yang kamu tonton, lalu kita bahas bareng. Kira-kira gitulah kata Widi.

Eh, saya juga akan sering ngajak kamu ke tempat-tempat yang sering disebut dalam buku-buku pelajaran. Semampu biaya yang saya punya. Tapi kamu harus sekolah karena kamu harus tahu rasanya sebel, kecewa dan ndak cocok ama lingkungan. Di situ kesabaran kamu dilatih. Dalam kebudayaan, yang diperlukan di tempat kerja nanti adalah kesabaran. Ingat juga kata Titiek Puspa, ”Kita harus belajar menghormati teman-teman kamu dan lingkungan kamu meskipun mereka berbeda.”

(Dimuat di harian Sindo, tanggal 4 Mei 2007)