Ponokawan Petruk sudah semingguan lebih tak pulang ke rumahnya di kampung Kembang Sore. Istrinya, Dewi Undanawati ndak harap-harap nemen dia cepat pulang. “Lha wong kalau dia di rumah malah nambah perkoro,” curhatnya kecut. Apalagi perempuan ini mendengar kabar dari teman lamanya nek Petruk sedang menonton Rakornas Partai Demokrat di Sentul.
“Ya sudah. Saya malah tenang. Daripada dia keluyuran ke Dolly, Sarkem dan tempat-tempat gituan lainnya.”
“Lha terus gaweanmu sekarang apa kalau gak nunggu-nunggu Mas Petruk?”
Dewi Undanawati tampak ndak senang kawan lamanya dulu di SD itu nyinyir tanya-tanya model begitu. Memangnya perempuan bisanya cuma tenguk-tenguk menanti wong lanang? Kayak nggak pernah tahu riwayat Kartini saja. Kayak jam dan tanggalan ini mandek saja di zaman dulu, zaman perempuan cuma eksis di rumah jadi katak dalam tempurung. Ndaklah. Waktu bergulir laksana cakra manggilingan. Perempuan berubah.
Lihat dong. Ketika suaminya tidak ada di rumah, Dewi Undanawati mondar-mandir bekerja kian kemari. Kerjanya adalah nyari utangan.
***
Undanawati pergi ke rumah Burisrawa di Cindekambang, ternyata anak keempat Raja Mandraka Prabu Salya ini malah curhat ke Dewi Undanawati. Ksatria berwajah raksasa itu menutupi kepalanya dengan topi anyaman mirip buron Nazaruddin ketika pertama muncul di televisi. Dia ungkapkan kekesalannya tak bisa menikahi Rara Ireng alias Subadra. Subadra akhirnya dinikahi dan menjadi istri kesayangan Arjuna.
“Padahal, kamu tahu, Dewi Undanawati, Prabu Baladewa kakak Subadra sudah janji akan menikahkan aku dengan adik perempuannya itu..”
“Memang Sampeyan kenal Dewi Subadra di mall mana, Mas Buris?”
“Lha…Yok opo seh kamu itu…Kan Prabu Baladewa nikah ma kakak sulungku, Dewi Erawati. Pas pernikahan itu Subadra ikut Baladewa. Masih malu-malu dia waktu itu. Tapi aku kesengsem. Aku kepincut…”
“Terus?”
“Terus aku dihalang-halangi, terus dikaploki mbarek Setyaki.”
“Setyaki bendahara umumnya Prabu Kresna?”
“Tul…Kresna kan juga hadir waktu cara mantenan itu. Bendaharanya ikut. Ada CCTV-nya kok kalau ndak percaya. Nah waktu Kresna misah aku berantem ma Setyaki, Prabu Baladewa menarikku. Dia bisik-bisik: Tenang coi, nanti kamu akan aku nikahkan ma adikku Subadra…sip kan coi?”
“Ah cuma bisik-bisik ndak ada saksi. Ya…Itu bukan fakta hukum, Mas Buris. Silakan Sampeyan nyanyi-nyanyi saja di televisi…Tapi itu bukan fakta persidangan. Nggak bisa hukum itu dari katanya-katanya …bisiknya-bisiknya…Sampeyan gak bisa bikin Kongres Luar Biasa untuk mencopot Raden Arjuna sebagai suami Subadra…”
***
Niatnya mau utang, Dewi Undanawati malah berdebat panjang dengan Raden Burisrawa. Raksasa itu terus curhat galau hingga tengah malam. Undanawati nanya, ngapain sih pengin nikah. Pengin punya anak? Pusing lho punya anak itu. Ujung-ujungnya Sang Dewi sungkan, ndak kewetu mulutnya bilang bahwa kedatangannya mau pinjam duit.
Duit utangan malah diterimanya dari ponokawan Togog yang dipergoki Dewi Undanawati di jalan pulang. Kebetulan Togog marah ke anaknya. Dia sudah capek-capek nabung. Giliran duit sudah terkumpul anaknya wegah kuliah. Duit itulah yang dipinjamkan ke Undanawati.
“Anakmu kan juga cucuku. Masih keluarga. Ndak papa. Anakku gak jadi kuliah. Uang ini untuk kuliah cucuku. Sama saja,” kata Togog.
Sebagian besar duit itu dalam dolar Amerika Serikat, sebagian rupiah. Tapi tak perlu sampai diangkut dengan mobil box. Dewi Undanawati bisa mengangkutnya dengan akal.
Kini fulus sudah ditangan Undanawati. Uang masuk pendaftaran perguruan tinggi buat anaknya sudah dibayar. Tapi anak semata wayang Dewi Undanawati berubah pikiran. Dia males masuk Unair, almamater Kang Anas Urbaningrum.
“Aku mau kuliah di Partai Demokrat saja, Mak!”
Dewi Undanawati hampir pingsan. Suami tak ada di rumah. Uang utangan yang sudah dibayar tak bisa ditarik lagi. Saat itu juga Sang Dewi yang awam dunia perguruan tinggi itu bingung, Partai Demokrat yang disebut anaknya itu universitas apa institut apa sekolah tinggi dan akreditasinya apa…?
***
Di kampung Bluluktibo Dewi Sariwati tampak tenang di pekarangan belakang rumahnya. Di bawah rembulan penuh di tengah malam, di antara siluet tanaman obat-obatan yang asri, istri Gareng itu menyenandungkan tembang Mijil Wigaring Tiyas yang kerap dipakai mengiringi tari bedaya:
Duh biyung mban, wayah apa iki?
rembulan wis ngayom
Ing nggegono trang abyor lintange
titi sonya puspito kasilir
maruto ris kengis
sumrik gandanya rum…
(Duh Gusti, saat apakah ini, rembulan bulat bundar dan langit penuh kemerlip bintang, angin membuai kesunyian yang sakral, menebar keharuman)
Dewi Undanawati yang pelan-pelan menyusup ke karangkitri itu haru bercampur iri. Dia sedang ditimpa musibah anak satu-satunya alias anak semata wayangnya jadi semprul, ini kok istri Gareng malah adem ayem.
“Pasti anak Dewi Sariwati sudah lancar masuk universitas,” pikir Undanawati.
“Undanawati, suamiku Kang Gareng sudah setahun ini pergi. Saya baru saja nyari utangan ke Mas Bambang Priyambodo…”
“Langsung dapat utangan kok bisa tenang bersenandung?”
“Ndak juga. Ternyata Mas Bambang Priyambodo lagi banyak pikiran. Dia sedang bertanya-tanya, siapakah ayahnya. Kakeknya, Begawan Sidikwaspada di pertapaan Glagahwangi sudah bilang, ndak usah mikir siapa bapaknya. Tapi Mas Bambang keukeuh pengin tahu siapa ayahnya.”
“Lho kok nggak Sampeyan kasih tahu saja fakta hukumnya bahwa Mas Bambang itu putranya Raden Arjuna …Ketimbang nanti Mas Bambang cuma dengar katanya-katanya…bisiknya-bisiknya…”
“Waduh…Nanti kalau Dewi Subadra mencak-mencak kok ternyata suaminya punya anak gelap bagaimana? Kan tambah runyam? Akhirnya aku ya pamit pulang nggak jadi pinjam duit. Dan lagi kenapa sih ndoro Arjuna doyan bikin anak di mana-mana…Wong punya anak satu saja susah…Anak itu kalau sudah punya mau gak bisa dilarang…Kakeknya juga gak bisa kasih nasihat…”
“Terus…?”
“Ah sudahlah itu nggak usah aku teruskan…Pokoknya akhirnya aku pasrah. Eh, kok ndilalah tadi petang pas ndangir tanah di kebun ini saya nemu duit. Dalam karung beras. Mungkin disembunyikan Kang Gareng pas dapat angpao dari kongres apa gitu..”
Dewi Undanawati mesam-mesem menyaksikan Dewi Sariwati bahagia. Persoalan anaknya membatalkan kuliah yang sudah dibayar belum ia curhatkan pada Sariwati. Esok hari, sambil masih menyimpan beban kelakuan anak lanangnya, Undanawati mengantar Sariwati membayar uang pendaftaran kuliah anaknya.
Sorenya kedua perempuan ditinggal suami itu tercengang. Anak semata wayang Gareng minggat. Dari surat di meja mereka tahu, anak itu membatalkan diri masuk UGM. “Mbok, maafkan saya. Saya ogah kuliah. Saya ingin jadi orang jujur saja. Saya ingin belajar menari. Nanti saya akan jadi Prabu Puntadewa. Orang yang tidak pernah bohong. Ngisi acara wayang di Rakornas partai Mbok…”
***
Dewi Sariwati dan Dewi Undanawati mengunjungi Dewi Bagnawati, istri Bagong. Keduanya tidak menuju Kampung Pucang Sewu kediaman Bagong. Mereka ke Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit di Bandung. Sudah tiga hari ini Bagnawati dirawat di kora pegunungan itu dan Bagong tak diketahui batang hidungnya.
Tiga hari lalu Bagnawati pingsan ketika anaknya yang sudah diterima di ITB ujuk-ujuk membikin keputusan sendiri yang berbeda. Padahal, persis Sariwati dan Undanawati, uang pendaftaran sudah dibayar lunas. Menurut keterangan banyak pihak, ia dapat utangan duit itu dari Resi Bisma.
Semula Bagnawati ragu apakah orang yang kondang bersumpah hidup selibat dan tidak punya anak seperti Bisma akan sudi ngasih pinjaman duit untuk kepentingan anak. “Bisma itu selibat karena takut punya anak dan membenci anak,” kata banyak orang.
Ah, itu kan katanya-katanya…
Fakta hukum nggak bisa dari katanya-katanya…Bagnawati ingin membuktikan katanya-katanya itu dengan datang sendiri ke Bisma dan pinjam duit.
Eh, berhasil. Ganti si anak membatalkan diri masuk ITB. Bukan itu saja. Si anak malah menggunduli kepalanya, kompakan dengan teman-temannya yang tak diterima di perguruan tinggi. Semaputlah Bagnawati sampai sekarang.
“Anak semata wayang Bu Bagnawati lebih memilih bareng senasib dengan teman-temannya ketimbang mengikuti kehendak ibunya. Mereka mau jadi penonton sepakbola saja. Kata orang sepakbola lebih bersih ketimbang politik,” jelas dokter di Unit Gawat Darurat.
“Ah, itu kan katanya-katanya…” ujar anak Petruk yang tiba-tiba njedul di Bandung dari suatu kongres…