Wayang Durangpo Tahun II (2010 - 2011)

Episode 102 Riwayat Orang-orang Sakti …

14,673 Views

Episode102Jelang Ramadhan, mumet oleh keadaan di Mayapada akhirnya Gareng berhenti mengurus partai. Dia milih jadi guru. Namun sulung ponokawan itu ndak ngajar di bangku-bangku sekolah. Gareng, alias Cakrawangsa, memilih ngajar di ruang-ruang terbuka seperti di bawah pohon di pantai-pantai.

Murid-muridnya seusia Taman Kanak-kanak hingga SD duduk menggelar tikar. Sekilas gaya Gareng mengingatkan kita pada Mahatma Gandhi yang mengajar rakyat India di pesisir, di kampung-kampung dan di mana saja kaum jelata berada, membangkitkan gerakan Swadesi atau katakanlah tentang kemandirian bangsa.

“Ini terjadi di tahun 1200-an,” kata Gareng serius di depan murid-murid anak kaum nelayan. “Di masa itu, tepatnya 1258, kota Baghdad yang sudah lima abadan menjadi pusat peradaban Islam di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah keok. Mereka takluk pada tentara Tartar dari Mongolia. Kepemimpinan agama di Timur Tengah beralih ke kaum sufi. Bersamaan itu para saudagar Islam mengalihkan perhatiannya pada Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara.”

“Ya terus kalau gitu kenapa?” salah satu muridnya menyela disambung celetukan murid-murid lainnya.

“Langsung-langsung sajalah Pak Guru Gareng…”

“To the point sajalah….Kita di sini sudah haus hiburan…” kata anak nelayan yang keminggris…

Gareng meminta seluruh muridnya yang melingkar di pasir pantai dekat sampan itu bersabar. Lanjutnya, “Gabungan para sufi dan saudagar yang mengarahkan perhatiannya ke Asia Tenggara itulah yang akhirnya memunculkan para wali di Tanah Jawa…”

“Contohnya? Contohnya? Kelamaan nih…” para murid kembali geregetan. Mereka protes sambil melakukan kesibukan sendiri-sendiri. Ada di antaranya yang protes sambil menggambar di atas pasir wajah Ketua DPR Pak Marzuki Alie. Ada pula yang sembari membuat patung-patungan pasir laut dengan sosok Ketua Umum Partai Demokrtat Anas Urbaningrum.

Gareng menelan ludah, meneruskan, “Contohnya ya wali pertama Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang juga dikenal sebagai Syekh Maghribi alias Sunan Gresik itu. Beliau ini menyebarkan agama dengan cara…”

“Langsung soal kesaktiannya saja, Pak Guru…Kami semua sudah haus hiburan,” siswa-siswi kembali protes. “Kami nggak punya uang beli komik-komik silat. Kami kerja bantu orangtua. Kami nggak punya waktu denger cerita-cerita dunia persilatan dari radio…Tapi kami tetap haus hiburan…”

Murid yang lain bengak-bengok, “Masa’ cerita wali kalah ma cerita wayang. Di wayang sakti-sakti tuh…Prabu Kresna sakti. Gatutkaca sakti. Sengkuni saja bisa menurunkan hujan cuma dengan mengibaskan ikat kepalanya ke tanah…hayooo…”

Gareng kembali menelan ludah. Maksud hati ingin mengajarkan bagaimana para wali zaman dahulu menyembah Tuhan. Apa daya para murid lebih tertarik pada kesaktian dan mitos-mitos tentang para wali.

“Baiklah, Anak-anak,” kata Gareng setelah beberapa lama sepi kecuali suara burung-burung camar yang berseliweran. “Kesaktian Sunan Gresik adalah bisa menyembuhkan penyakit apa saja. Bahkan beliau mampu mendatangkan hujan. Tahu enggak? Ketika itu ada perawan akan dibunuh. Perawan malang ini dijadikan tumbal untuk mendatangkan hujan saat kemarau panjang. Sunan Gresik mengambil alih. Dia berdoa agar hujan turun. Maka ketika algojo hendak memenggal kepala gadis tumbal, tiba-tiba bressssss…. hujan turun, pemenggalan pun batal…”

Seluruh murid bertepuk tangan.

***

Ternyata yang haus hiburan ndak cuma para murid di sepanjang pesisir. Di persawahan dan pucuk-pucuk gunung, seluruh anak-anak juga sangat damba hiburan. Maka cerita Gareng soal para wali yang sedianya tentang bagaimana mereka khusyu’ menghamba Tuhan, beralih menjadi cerita-cerita tentang sulapan dan kedigdayaan.

Para murid sangat senang mendengarkan kesaktian Sunan Kalijaga yang bisa menghidupkan kembali ayam tukung, yaitu ayam panggang yang telah hilang brutunya. Bahkan ikan gurame yang tinggal tulangnya saja, karena habis disantap, bisa dihidupkan megal-megol lagi oleh wali mantan Brandal Lokajaya itu.

Hampir saja Sunan Ampel akan dibunuh oleh Lembupeteng yang mengendap-endap menghunus pedang dari belakang. Mendadak Lembupeteng gemetar dengkulnya mau coplok. Tak kuasa ia membunuh sang sunan. Kepada tentara Majapahit Sunan Giri melemparkan kalam, alat untuk menulis. Bumi gonjang-ganjing seketika kalam berubah menjadi keris Kalamunyeng. Kalamunyeng membelah diri menjadi ribuan Kalamunyeng yang bergerak sendiri memorak-porandakan para serdadu tersebut.

Plok plok plok….

Para murid bertepuk tangan sampai gemuruhnya sundul ke langit… Murid puas, tapi tak demikian dengan gurunya. Gareng pun murung.

“Di partai aku kecewa. Di pantai aku pun kecewa,” Gareng garuk-garuk kepala. “Maksud hati ingin menjelaskan bagaimana para wali dulu beribadah, eh ternyata murid-murid lebih menyuruh aku menjelaskan soal sulapan-sulapan para wali…”

***

Sebenarnya dulu sebelum menjadi pengurus partai, Gareng juga telah menjadi guru. Suami Dewi Sariwati ini mengajar wayang. Tapi tuntutan para murid juga persis seperti sekarang. Mereka lebih ingin Gareng menjelaskan kesaktian para tokoh. Para murid berpulangan ketika Gareng terlalu panjang dan lebar ngomong soal kebijakan-kebijakan para tokoh.

Misalnya, Gareng membahas soal mengapa Resi Bisma dan Resi Dorna memihak Kurawa dalam perang Baratayuda. Padahal kedua tokoh itu mahfum banget bahwa Pandawa lebih benar ketimbang Kurawa. Bisma sebagai leluhur Pandawa dan Kurawa paham betul Oooo…betapa Pandawa lebih berhak atas tahta kerajaan Astina. Dorna sebagai guru Pandawa dan Kurawa, titen dan mengalami betul lagak lagon dan lageyan Kurawa. Pandawa lebih rajin dan berbakti kepada mursid alias guru dibandingkan Duryudana dan 99 adiknya di Kurawa.

Kecamuk perang batin yang terjadi dalam diri Bisma dan Dorna dikisahkan oleh Gareng dengan sungguh-sungguh. Mulutnya terus berkomat-kamit. Sampai akhirnya Gareng sadar bahwa mulutnya sedang mangap-mingkem seperti orang gila tanpa pendengar. Seluruh muridnya satu per satu telah pergi meninggalkan Gareng seorang diri di bawah pohon mangga, di belakang rumah pak lurah.

***

Konon beda manusia dan keledai itu…Keledai tak akan terperosok kedua kali pada lubang yang sama. Manusia ndak gitu. Manusia selalu ingin memperbaiki siasat lalu mencoba lagi segala lubang yang pernah memerosokkan hidupnya.

Setelah gagal mengajar tentang kehidupan sejati wali, lantaran murid lebih tertarik pada kesaktian wali, Gareng kembali mengajar soal wayang. Pilihannya jatuh pada Prabu Salya, Raja Mandaraka, mertua Prabu Duryudana sang Raja Astina.

Gareng ingin menerangkan kepada peserta didik betapa pentingnya ketegasan dalam hidup. Partai-partai sekarang menjadi kayak gini lantaran tokoh-tokohnya tak tegas dalam pilihan hidup, seperti Salya. Salya selalu mandek-mangu mandek-mangu antara membela Kurawa atau Pandawa. Dewi Banuwati, anaknya, dipersunting Duryudana. Namun Salya pun punya hubungan darah dengan Pandawa. Nakula-Sadewa adalah keponakan kandungnya karena Salya adalah kakak Dewi Madrim, ibu dari si kembar di Pandawa itu.

Suatu hari datang utusan Kurawa yang entah karena apa disangka oleh Salya sebagai utusan Pandawa. Caraka alias utusan itu mengundang Salya datang ke suatu perkemahan. Salya pun berangkat.

Cerita dilanjutkan oleh Gareng dengan siasat baru agar murid-murid tertarik. “Banyak makanan dan game di tempat itu bagai layaknya Istana Anak-anak …Sangking asyiknya main game melalui internet…Prabu Salya lama-lama terlena…Ketika itulah Prabu Duryudana datang meminta Prabu Salya berpihak ke Kurawa kelak saat pecah perang Baratayuda. Tanpa pikir panjang, Prabu Salya spontan menyanggupi!”

Murid-murid yang semula tertarik akan kisah game tampak kembali jemu. Mereka bertanya-tanya, “Kesaktian Prabu Salya itu apa? Karena menurut bapak saya, 2014 hanya orang sakti yang pantas jadi presiden…”

“Pulang yuuuuuuk mareeee…” para murid kompak menghambur meninggalkan Gareng.