Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 103 Gang Landak di Kampung Naga…

5,697 Views

Episode103Gang itu bernama Gang Reformasi. Sejak diberi nama Reformasi, gang jadi penuh tawuran antar-warga. Toleransi beragama pun sudah mati. Produk-produk yang dijual di dalam gang tersebut juga hampir semuanya produk Cina. Maka kampung itu sering disebut Kampung Naga. Daging dan makanan yang dijual di situ juga semuanya palsu, pakai pengawet dan dari hewan gelondongan

Harus diganti nama jadi gang apa? Apakah nama Gang Sri akan mampu menghentikan kekacauan penduduk dalam gang?

Kalangan pemuda malah mengusulkan nama Gang Yuni Shara. “Bapak-bapak dan ibu-ibu….Kalau kita ingin Capres yang pro anak muda, tak ada pilihan lain kecuali Yuni Shara!” tandas perwakilan pemuda.

Anak-anak muda bertepuk tangan. Tak demikian dengan para orang tua. Seluruh tetua yang turut dalam musyawarah kampung itu celingukan dengan mulut sedikit ngowoh.

“Itu kan kalau untuk Capres, lha yang kita cari malam ini kan nama gang?” kata seorang nenek.

“Justru itu…Justru itu…Sebelum kelak penyanyi Mutiara yang Hilang itu jadi presiden, kampung kita sudah mendahului …Tunjukkan ke kampung-kampung sebelah bahwa kitalah kampung yang sudah selangkah berpikir ke depan…,” perwakilan pemuda itu makin ngeyel.

Ponokawan yang juga hadir dalam rembukan warga itu ganti angkat bicara.

“Walau ndak setuju dengan nama Gang Yuni Shara, saya setuju inti gagasan anak muda. Yaitu, carilah nama-nama yang pro generasi muda..” kata Gareng.

“Betul. Apalagi yang tinggal di gang itu kebanyakan kaum muda,” sambung Petruk.

Bagong menimpal, “Kenapa nggak kita namai saja Gang Abimanyu? Dia tokoh muda dari Pandawa lho, Rek.”
***

Kepala kampung kelihatannya tertarik pada ide ponokawan. Esoknya diadakan kongkow-kongkow di balai desa. Pak Kepala meminta ponokawan menjelaskan siapa sebenarnya Abimanyu. Warga kampung tahunya sebatas bahwa Abimanyu yang juga bernama Jaka Pengalasan itu anak Arjuna dan Dewi Subadra. Untuk menjadikan tokoh ini sebagai nama gang, perlu digali lagi kisah-kisahnya.

“Biar kami lebih manteb…Monggoooo….” kata Pak Kepala.

Gareng mengawali alkisah dari hilangnya Dewi Banuwati di Astina. Suatu hari bala Kurawa Citraksa dan Durmagati memergoki permaisuri Astina itu melompat pagar taman. Sang Dewi pergi entah ke mana. Laporlah mereka pada sang raja yang juga sang kakak sulung, Duryudana. Raja menitahkan agar segera dilakukan perburuan Dewi Banuwati.

“Apakah perintah ini pura-pura,” tanya Durmagati, anggota Kurawa yang gemuk dan bandel.

Duryudana berdehem menahan jengkel. “Andai dia Nazaruddin, mungkin aku pura-pura bikin perintah pencarian. Tapi ini istriku sendiri. Satu-satunya di dunia. Masa’ aku api-api alias pura-pura bikin perintah..!? Berangkat!!!”

Segara mangkatlah bala Kurawa. Dengan firasat Patih Sengkuni yang memimpin pencarian buron, sampailah anak-anak Prabu Destarastra itu ke jantung hutan Gajahoya. Tepatnya di dekat Sendang Kamulyan yang dijaga oleh Begawan Badra Asmara. Telaga ini sangat kinclong. Bunyi riak-riak airnyapun menawan, membuat siapa saja yang melihatnya pasti ingin segera kecepak-kecepuk mandi.

Dari kejauhan, Kartamarma si sekjen Kurawa memandang Begawan Badra Asmara sedang memberi petunjuk-petunjuk dan perintah kepada Abimanyu di tepi telaga. Abimanyu mantuk-mantuk. Begawan Badra Asmara lalu pergi.

“Saya punya firasat, kelihatannya tadi Abimanyu diperintahkan untuk menjaga telaga,” bisik Kartamarwa yang juga menjabat sebagai paniti sastra Astina.

Mereka lantas bikin siasat. Kembar Citraksa-Citraksi disuruh memanah burung kakatua di pokok pohon di atas sendang. Kakatua terpanah, byur jatuh ke telaga sedarah-darahnya. Air telaga sontak memerah. Abimanyu terperanjat mendapati warna telaga telah berubah. Lebih kaget lagi ia lihat burung kesayangannya mati dengan tancapan panah. Anak kebanggaan Arjuna itu segera mencari sumber anak panah.

Kini telaga bikinan Resi Parasara itu sudah komplang tanpa penjaga. Bala Kurawa yang sedang sembunyi segera mengendap-endap ingin cepat-cepat mandi menyegarkan raga…

“Ssssstttt….” tiba-tiba Kartamarma menghentikan langkah Kurawa. Semua kaget ketika melihat perempuan cantik turun ke dalam telaga. Pelan-pelan. Rambutnya yang panjang terurai mengambang di telanga hingga akhirnya perempuan itu tenggelam. Dia adalah buron yang Kurawa cari-cari: Dewi Banuwati.

Pak Kepala Kampung protes. “Maaf, Pak Gareng. Ini cerita tentang Abimanyu apa tentang Dewi Banuwati …?”

“Kalau gitu kita namai saja Gang Banuwati,” ketus seorang warga sambil beranjak mau pulang.
Petruk menahan kepulangan warga itu. “Sabar. Sabar,” bujuknya sambil mendudukkan kembali warga itu. “Nanti cerita Kang Gareng akan berlanjut ke Abimanyu…” tambah Bagong.

***

Cerita Gareng akhirnya memang berlanjut ke Abimanyu.

Jadi, begini, di dalam Sendang Kamulyan sebenarnya ada Arjuna yang sedang bertapa untuk mendapat Wahyu Cakraningrat. Siapapun yang mendapat wahyu kepemimpinan itu keturunannya akan menjadi raja di Nusantara. Dia akan mampu meredam tawuran antarwarga. Dia akan mampu menghidupkan kembali toleransi beragama dan lain-lain.

Banuwati, kekasih gelap Arjuna, ingin agar anaknya menjadi raja. Anaknya adalah Lesmana Mandrakumara yang matanya selalu teler seperti habis make Narkoba dan bahasanya aneh kalau berhadapan dengan wartawan.

Di pihak lain, Subadra, istri kesayangan Arjuna, sangat damba agar anaknyalah, Abimanyu, yang keciperatan Wahyu Cakraningrat. Sebetulnya Begawan Badra Asmara alias Begawan Sumbaga Sakti itu jelmaan padu antara Dewi Subadra dan Batara Kamajaya.

Tapi, apa daya. Jika manusia, Wahyu Cakraningrat itu hidup dan ibarat lelaki.Tidak bisa sendirian. Dia perlu jodoh. Pasangannya Wahyu Widayat yang berjenis kelamin perempuan. Wahyu ini manjing di dalam Dewi Utari.
Abimanyu memang akhirnya menikah dengan Dewi Utari yang masih terhitung eyangnya sendiri namun awet muda. Saking cintanya, meski bukan politisi, Abimanyu berbohong ketika melamar Utari.

Abimanyu mengaku masih perjaka meski sudah beristrikan Siti Sundari, putri Kresna.

“Baiklah aku percaya kamu, wahai cucuku, Abimanyu… Aku bersedia kamu nikahi. Namun kalau kamu berbohong, semoga kelak saat Perang Baratayuda Jayabinangun tubuhmu tatu arang kranjang, tubuhmu ditancapi jutaan anak panak Kurawa hingga wujudmu tak ubahnya landak…”

Bumi gonjang ganjing…

***

Maksud hati memeluk Nazaruddin, apa daya tangan tak sampai…

Maksud hati menawarkan nama dari lakon Abimanyu Landak buat nama gang, apa daya penghuni gang lebih terpukau pada landak. Bukan pada Abimanyu. Menurut mahasiswi yang sedang KKN di situ, mamalia ini nama asingnya porcupine. Ini gabungan Inggris dan Latin yang artinya Babi Berduri. “Larinya bisa lebih cepat dibanding harimau, apalagi cuma naga. Kalaupun terpaksa terkejar, landak memekrokkan duri-duri di badan sekujur. Harimaupun ngeper. Apalagi naga,” kata mahasiswi yang mirip Yuni Shara itu.

Kini Gang Reformasi telah diubah aklamatif menjadi Gang Landak. Tawuran antarwarga tak ada lagi. Nafsu berkelahi mereka salurkan melalui berbagai pertandingan sepakbola dan bola voli dengan bola dari landak. Yang makan babi menghormati yang tidak makan babi. Dan sebaliknya. Karena mereka tinggal di Gang “Babi Berduri”.

Yang masih kerap muncul tinggal penjualan makanan palsu dan berpengawet. Juga masih membanjirnya produk-produk Cina di gang tersebut.

“Hmmm… Untuk itu, bagaimana kalau kita imbuhi namanya jadi Gang Landak-Perjuangan atau Gang Landak-Keadilan?” usul Gareng.

“Yang penting jangan Gang Kelinci kayak lagunya Lilies Suryani. Nanti gang itu akan jadi gremayah banyak anak…Program KB nggak berhasil,” sela Petruk.