Wayang Durangpo Tahun II (2010 - 2011)

Episode 57 Tepuk Pramuuuuka…Plok Plok Plok…

4,767 Views

Episode057Bagong nggumun kok ujuk-ujuk Gareng, kakaknya, memanggilnya ”Siaga Bagong”. Bungsu ponokawan ini jan-jane ingin kontan tanya apa maksud si sulung.

Omong-omong soal siaga, Bagong ngertinya ”Siaga Satu”. Kahanan darurat. Persis ketika dulu banyak kerusuhan, penjarahan, menjelang swargi Pak Harto lengser dari kursi presiden. Kuuuabeh aparat keamanan termasuk warga kudu waspada. Siyogo ing diri sawego ing gati. Portal-portal perumahan ditutup. Warga siap-siap pegang linggis, parang, kayu… wis opo wae pokoknya buat pegangan hidup.

Itulah ”Siaga Satu”. Lha ini, ndak ada ombak ndak ada angin, lumpur Lapindo juga belum meluap sampek Balai Pemuda Surabaya kok moro-moro ada ”Siaga Bagong”.

Petruk sudah bilang, ”Maksud Kang Gareng itu mbok menowo kepanduan, Gong. Kita diajak balik lagi ke zaman pramuka. Lha wong Kang Gareng manggil aku wingenane juga Penggalang Petruk. Nah, pas nyebut dirinya sendiri, Kang Gareng bilang Pandega Gareng. Itu lebih tua. Kita mau diajak JJS, jalan-jalan studi banding kepramukaan ke Afrika…”

Dan seterusnya… Dan seterusnya…

Omongan Petruk wis sak Sheila Madjid…ibaratnya sudah sepanjang Antara Anyer dan Jakarta. Bagong saja yang nggak denger. Lha pikiran Bagong sedang terkagum-kagum pada Pak Presiden.

***

Sip. Sip. Ternyata Pak Presiden bisa marah, tegas, dan lugas ke pemimpin Telkom dan Telkomsel. Masa’ lagi enak-enak teleconference soal arus balik Lebaran kok telekomunikasi belepotan.

”Ah, ternyata presidenku seorang lelaki juga ya,” krenteg Bagong dalam hati. ”Bisa tegas. Lugas. Brani. Nggak kayak desas-desus selama ini. Mangkane jadi orang itu mbok jangan su’udon terus. Prasangka harus yang baik…”

Bagong malah sempat marah ke istrinya, Dewi Bagnawati. Masa’ Bagnawati ngecriwis, tegas-tegas marah bagus. Pertanda jantan. Tapi mbok jangan cuma marah kalau problem baru menimpa diri sendiri. Miknya mati. Pas pidato ada yang ngantuk. Dan lain-lain. Mestinya presiden juga perlu tegap dan gagah kalau yang kena problem tuh rakyatnya.

Ekonomi kan tambah berat. Gerutu istri Bagong. Angka perceraian tambah sak langit. Yang bikin orang banyak pisahan bukan karena selingkuh. Sedikit dari mereka melakukan hil-hil yang kita duga dilakukan oleh dua orang menteri. Ya, akibat selingkuh cuma sedikit. Yang seabreg perceraian itu terjadi goro-gorone justru tekanan ekonomi. Contohnya di Ngawi.

Lha mestine Pak Presiden kan nuding-nuding menterinya, kenapa kok kawula cilik makin terhimpit ekonominya,” kata Bagnawati.

Lho, kamu jangan su’udon, Dik,” Bagong balik marah. ”Mikir mbok yang positif. Siapa tahu pas Pak Presiden marah-marah karena problem pribadi, pas ada wartawan. Pas marah-marah karena problem bangsa, cilakanya nggak ada pers.”

Alah Caaak, Cak, emangnya Presiden itu seperti...wong cilik, wong Tulungagung yang meninggal pas main kuda lumping. Mungkin karena jantung. Pas mati baru banyak wartawan. Presiden itu selagi hidup juga sudah dikintili wartawan…?”

”Iya, tapi ada saat-saat nggak ada wartawan. Berdua ambek bojone apa ya selalu dikelilingi wartawan…Hayo…Kapan indehoy-nya. Lha wong kata Mas Daniel Sparringa -dosen Unair yang sekarang jadi staf khusus Pak Presiden- Pak Presiden itu sampek mukul-mukul meja kok pas rame-rame kasus maling nelayan Malaysia ditukar petugas resmi kita… Tapi kok ndilalah nggak ada wartawan…”

Ah, Dusun Pucang Sewu.

Pertengkaran terus berlangsung. Habis itu Bagong pergi. Dia sudah hafal dan khatam, kalau istrinya sudah diam dan ngalah, pasti habis itu Bagong nggak diulekkan sambel trasi campur teri kesukaannya. Mending dia ancang-ancang pergi ke warung.

***

”Hai Dinda Siaga Bagong!”

Gareng memanggil adiknya ketika si bungsu cangkruk di warung sambil nunggu sambel trasi campur teri asal Situbondo. Bagong juga tetap tidak hirau pada sebutan ”Siaga”. Pikirannya masih ke Pak Presiden.

Menurut Bagong, nggak mungkin Pak Presiden nggak marahan ketika seorang tunanetra tewas dalam antrean open house Lebaran di Istana.

Mustahal, menurut Bagong, Pak Presiden no marah-marah pada beredarnya video joget erotis dari salah satu daerah di Buleleng, Bali.

Nggak mungkin…Nggak mungkin…Nggak mungkin…

Presiden pasti nggak cuma marah kalau problem sudah menimpa dirinya sendiri saja, seperti kasus matinya telekomunikasi pas beliau ngendikan di teleconference arus balik Lebaran.

Bagong yang nggak suka su’udon sangat yakin bahwa Pak Presiden pasti juga sewot, kenapa kok pemudik sepeda motor yang jumlahnya naik 11 persen dibanding tahun lalu, masih buaaanyak yang bawa bayi. Huh, sangat membahayakan bayi! Kenapa angkutan kereta api dan bus dan kapal tidak disediakan lebih banyak dan murah sehingga terjangkau harganya oleh jamaah pemudik sepeda motor?

Pasti Pak Presiden juga nggedruk-nggedruk kaki. Mangar-mangar wadanane. Kita saja yang nggak tahu.

”Makanya jangan buruk sangka terus,” batin Bagong.

***

Di meja depan Bagong, di warung siang itu, di bawah langit cerah tanah Jawa 2000 tahun sesudah Masehi, sayur lodeh rebung hobinya Bung Karno telah siaga. Telah siaga pula sambel trasi campur teri yang bikin kemecer. Bagong sudah tidak punya pikiran apa-apa lagi. Sekarang dia mau siaga tanya ke Pandega Gareng di sebelahnya. ”Siaga Bagong itu maksudnya apa?” itulah rencana Bagong.

Tapi seperti kita tahu, manusia hanya punya rencana, Anggodo yang menentukan.

Maksud hati ingin bertanya soal ”Siaga”, tahunya Bagong tiba-tiba kepikiran soal busnya ketika mudik Lebaran. Penumpang senang karena sopir itu ngebut. Bisa lekas sampai Klakah dan Lumajang. Garis putih nggak putus-putus antara Pasuruan-Probolinggo dilanggarnya. Disalipnya banyak kendaraan. Padahal di jalur itu Pak Polisi terkenal tegas tanpa maaf soal garis marka jalan.

Hmmm… Lalu kok bisa-bisanya…

”Kamu itu mikir apa sih, Gong!!!” Petruk kesal membentak, tapi Bagong terus membatin, tidak mendengar.

Kok bisa-bisanya juru bicara 8.000 jaksa menjadikan bus sebagai perumpamaan. Katanya Jaksa Agung itu ibarat sopir. Kalau pengganti Pak Hendarman Supanji diambil dari luar bus, penumpang bus yang sudah tenang dan enak akan merasa gelisah. Tidak nyaman.

Reng Madure Mahfud M.D., yang juga ketua Mahkamah Konstitusi, malah bener. Nyaman bagi 8.000 jaksa kalau jaksa baru nanti berasal dari dalam, jaksa karir. Tapi de’remma Dik, nggak nyaman bagi masyarakat yang ada di luar bus. Bus seperti itu membahayakan pengguna jalan yang lain.

Iya juga ya. Buktinya jaksa-jaksa yang keciprataan kasus pajak Gayus nggak dipidana. Kasus-kasus menyangkut jaksa yang bahkan bukti rekamannya sudah diputar di Mahkamah Konstitusi juga ”halo apa kabar”.

Ah, benang kusut! Benang kusut!!

***

”Negara kita kan penuh benang kusut, Pandega Gareng?” tanya Siaga Bagong setelah bertanya itu Siaga, Penggalang, dan Pandega.

”Ya, terus?” Pandega Gareng balik tanya. Tangannya menadah ngawe-awe ke arah dirinya.

”Ya kenapa kok nggak belajar saja mengurai benang kusut. Ahlinya kan nelayan-neyalan yang pakai jala, anak-anak yang main layang-layang, ibu-ibu yang njahit… Itu ahli mengurai benang kusut. Belajar ke mereka saja. Ini kok malah belajar tali temali…”

”Jauh-jauh ke Afrika lagi…,” celetuk Penggalang Petruk.

Menurut Gareng, ini bukan soal benang kusut atau tali-temali. Ini soal belajar dari kekurangan orang. Afrika itu pramuka-nya gagal. Justru kita harus jalan-jalan ke sana untuk mengetahui, kenapa mereka sampek gagal berpramuka.

Hanya orang goblok, menurut Gareng, yang cuma mau belajar pada orang sukses. Belajarlah juga dari kegagalan orang.

Makanya sekarang korupsi makin merajalela. Itu karena makin banyak orang baik-baik belajar pada koruptor. Masyarakat ingin merasakan, masyarakat ingin mengalami sendiri bagaimana ndak enaknya hati menjadi koruptor? Bagaimana ndak tenteramnya hidup karena menjadi koruptor. Cara terbaik belajar tuh menghayati. Cara terbaik menghayati tuh mengalami. Itulah inti belajar dari kegagalan orang.

”Gong, kamu denger cocotku ngomong, gak?” Gareng setengah membentak. ”Kok matamu kayak kemanaaa gitu…”

Lagek mikir Venna Melinda…,”ujar Bagong lirih.

”Artis cantik itu,” samber Petruk cengar-cengir. ”Dia sekarang anggota DPR, Komisi X, panitia kerja studi banding ke Afrika…”

Gareng, ”Dimarahi istri kok pelariannya malah mikir Venna Melinda…Idola kamu?”

”Hmm… aku cuma mikir, orang kayak Mbak Venna itu masuk rombongan Siaga, Penggalang, apa Pandega ya?”

”Dia kan Demokrat. Tanya Pak Presiden saja…”

”Walah… Takut ah, nanti dimarah-marahi…”

”Sombong kamu, Gong. Emang kamu Dirut Telkom…?”

***

Disadur Selengkapnya dari JAWA POS, Kolom Mingguan, WAYANG DURANGPO