Wayang Durangpo Tahun II (2010 - 2011)

Episode 96 Sekali Jujur, 2-3 Bohong Terlampaui

7,130 Views

Episode096Desa di dekat ponokawan Bagong tinggal sangat rejo. Bahasa Indonesianya ramai. Ce’ banyaknya wisatawan manca negara mondar-mandir di situ. Tipenya macem-macem, dari yang makmur sampai kere, dari yang jalan kaki, naik sepeda ontel maupun delman. Pendek kata meriahlah desa di semacam lereng Merapi itu. Apalagi sebelumnya di sana-sini banyak kedengaran bunyi gamelan untuk tontonan para turis.

Pokoknya siplah. Hotel dari yg kelas bintang sampai melati pun tumbuh subur. Padahal kecamatan saja bukan. Wong cuma tingkat desa. Suatu pagi Bagong mengantar turis dalam negeri dari Jakarta. “Di sini ada sarapan?” tanyanya di lobi hotel melati. “Maaf, Pak. Kami tidak menyediakan sarapan,” kata perempuan petugas itu serius. Walau perempuan berblaser itu manis, Bagong tak percaya. “Masa’ sih sarapan saja ndak ada,” kukuhnya.

“Bener, Pak. Maaf, kami tidak menyediakan sarapan.Kami hanya menyediakan breakfast,” kata resepsionis. Raut mukanya tetep serius.

Wah. Apa ya beda sarapan dan breakfast? Apalagi menunya juga gudeg, pecel, brongkos, sambel tumpang dan sejenisnya. Bagong ingin ketawa. Tapi lantaran si resepsionis itu masih pasang rupa serius, Bagong ikutan serius juga. Tamu-tamu turis domestik itu pun meniru Bagong. Mereka ingin ketawa tapi ndak jadi.      Mereka pesen breakfast nasi pecel empal. Sayang seribu sayang empal nggak ada. Daging sapi lagi susah. Ada problem dengan ekspor sapi dari Australia. Apa daya, Brasil sudah menawarkan ekspor sapi. “Tapi kan sapi-sapi di sana belum bebas dari sakit mulut dan sakit kuku,” kata petugas restoran berlagak jadi pejabat. Kita masih mempertimbangkan tawaran ekspor sapi dari Kanada dan Selandia Baru.

“Ya soal mau impor dari mana, itu urusan sampeyan lah,” Bagong memotong keterangan petugas. “Urusan kami pagi ini yok opo carane bisa breakfast…Hmmm berarti breakfast pecelnya sekarang nggak pakai empal?”

Petugas restoran itu membenarkan ketiadaan empal dalam bahasa Jawa campur-campur Inggris, malah kalau dikalkulasi kebanyakan Inggrisnya.

Mulailah tamu-tamu domestik yang dipandu Bagong tak tahan berkomentar. “Baru kebanjiran turis mancanegara saja desa ini ngomongnya sudah cas-cis-cus ya Pak Bagong,” keluhnya. “Kebayang nanti kalau film-film impor sudah mulai dibuka. Kabarnya pekan ini menteri keuangan akan mengumumkan dibukanya kembali keran impor film…”

Bagong: Ah sebetulnya itu tergantung manusianya. Dulu Mahabarata dan Ramayana masuk ke sini juga gak mengubah Nusantara menjadi India. Contohnya ya sapi itu…Ajaran-ajaran dari India kita serap…Sebagian dari kita menganggap sapi itu sakral, suci…kita menghormati itu..tapi sebagian yang lain menganggap sapi biasa-biasa saja.Malah menyantapnya…

“Betul itu, Pak Bagong,” kata si turis domestik. “Ramayana dan Mahabarata masuk ke Nusantara, tapi tak semua lantas menganggap sapi alias sang Andini tunggangan
Bathara Guru itu suci…Kita tetap saling hormat-menghormati …Bukan berarti yang menyembelih sapi tak mencintai Ramayana dan Mahabarata kan?”

***

Sudah seminggu Bagong dan tamu-tamu Jakartanya menginap.
Hotel melati itu bernama”Peace Make De Santos”, terjemahan ngawur dari “Rukun Agawe Santosa”. Tampak para turis mancanegara pusing. Terutama mereka yang datang dari Kanada, Australia, Selandia Baru dan Brasil. Mereka ingin nonton layar tancap film-film nasional. Ternyata seluruh layar tancap sudah memutar film-film Hollywood sejak menteri keuangan membolehkan lagi film-film impor.

“Jauh-jauh dari Paris ke sini saya mau lihat itu film Srikandi Meguru Manah, Petruk Dadi Ratu, Jabang Tetuka..Tapi kok ini film Amrik semua,” kata seorang turis Kanada dalam bahasa Perancis. “Mana gamelan juga sudah tidak ada lagi…”

Bagong yang kebetulan sedikit-sedikit bisa bahasa dari negeri parfum itu menimpal. “Inilah buah simalakama?” kata Bagong,juga dalam bahasa Perancis.

“Buah simalakama?” tanya turis itu mengernyit.

“Yup.Negeri sampeyan kan cuma punya buah anggur. Kami punya buah simalakama. Maknanya serbasalah. Nggak ada film impor nggak ada saingan. Orang-orang sini bikin film seenaknya sendiri..biasanya soal gendruwo. Tapi dikasih film impor, film-film lokal jadi mati…”

Agar para wisatawan mancanegara itu tidak kecewa, pemilik hotel melati “Peace Make De Santos” berunding dengan Bagong. Bagong dan kawan-kawan turis domestik gratis tinggal di situ. Timbal-baliknya, mereka harus menghibur turis-turis asing dengan tontonan tradisional.

Ah, nggak susah bagi Bagong. Dia tinggal memanggil kakak-kakaknya, Petruk dan Gareng, yang desanya juga tak jauh dari situ.

Malam pertama mereka akan mementaskan lakon tentang perang Baratayuda. Mereka pilih episode ketika Resi Durna gugur. Mahaguru Pandawa dan Kurawa yang dalam perang itu memihak Kurawa, tewas gara-gara menyangka Aswatama,anak kesayangannya, mendahului tewas. Dalam keadaan Durna putus asa itu ada pihak ketiga yang mencuri kesempatan. Namanya, Raden Trustajumna. Ia penggal kepala Durna dari belakang di suatu gubuk, ketika Durna melamun soal anaknya yang disangkanya tewas.

Namun ada problem. Petruk yang berperan sebagai Bima sudah datang. Tapi pemeran utama Puntadewa, yaitu Gareng, malah belum datang.

Penonton mulai gelisah dan jadi gaduh. Untung ada acara televisi yang menyelematkan. Bule-bule yang sudah menunggu-nunggu wayang orang  bisa dialihkan perhatiannya pada gaduhnya acara televisi.

***

Penonton domestik bersorak-sorai menyaksikan televisi. Para bule pun ikut-ikutan gegap-gempita menyambutnya. Masyarakat desa berteriak-teriak, bule-bule pun teriak-teriak. Masyarakat desa bertepuk-tangan, bule-bule tak ketinggalan keplok-keplok. Padahal tak ada kabar heboh. Di televisi cuma tampak ada seorang perempuan asal Surabaya, namanya Siami, dan perempuan asal Jakarta, namanya Irma Winda Lubis.

Capek ikut-ikutan bengak-bengok dan tepuk-tangan, akhirnya seorang turis mirip Pele bertanya, “Sebenarnya ini berita apa kok sambutan masyarakat seperti nonton final Piala Dunia? Padahal kan cuma ada dua orang perempuan duduk-duduk …?”

“Dua perempuan itu orang jujur mister, mereka membongkar kasus contek-mencontek ujian nasional,” jelas Petruk dalam bahasa Spanyol logat Brasil patah-patah.

Si Pele makin heran. “Kenapa orang jujur bisa menjadi berita hebat? ” tanya turis lain dalam bahasa Inggris logat Selandia Baru. “Padahal hukum pers itu kan bad news is good news (kabar buruk justru jadi berita bagus)…apakah kejujuran di negerimu itu adalah kabar buruk?”

Petruk tidak bisa menjawab. Pertama karena dia tak bisa omong Inggris. Kedua, karena dia sendiri bingung kenapa sekarang ini kejujuran malah menjadi berita luar biasa…Sepertinya kejujuran itu hal yang tabu kayak perselingkuhan, perceraian, nonton video bokep dan lain-lain.
Si bule tetep mendesak Petruk ngasih jawaban. Untung Gareng lekas datang. Pertunjukan segera dimulai. Si bule dengan gampang berhasil dialihkan perhatiannya, tanpa harus dialihkan oleh berita-berita penyergapan teroris.

***
Gareng sangat luwes memerankan Prabu Puntadewa dalam Perang Baratayuda episode Durna Gugur. Sri Kresna sebagai penasihat Pandawa meminta Bima membunuh gajah Hestitama. Gajah terbunuh. Kresna lantas meminta Puntadewa bilang ke Durna bahwa Hestitama telah mati. Agar Durna menyangka bahwa Aswatama, anak kesayangannya, telah mati, Kresna meminta Puntadewa memelankan kata “Hesti” dan menyaringkan kata “Tama”.

Anehnya saat itu Puntadewa yang diperankan Gareng tak mau mengikuti perintah Kresna.

Penonton hening. Resepsionis hotel melati “Peace Make De Santos” sudah
Tertidur di kursi. Tapi wisatawan dari Australia yang ternyata tahu banyak tentang Baratayuda ternganga dan bertanya-tanya. Bukankah seharusnya Puntadewa alias Yudistira yang kondang jujur itu akhirnya mengikuti saran Sri Kresna sang titisan Wisnu untuk sedikit berbohong dengan trik tertentu?

“Ini Prabu Yudistira sudah tidak orisinal lagi,” kata turis asal Australia itu. “Dia pasti menyontek kejujuran dua ibu-ibu yang tadi diberitakan televisi…” Sulung pandawa itu dipastikannya mencontek kejujuran Bu Siami dan Bu Winda Lubis.

Gareng yang memerankan Prabu Puntadewa akhirnya berurusan dengan aparat keamanan dengan tuduhan plagiasi alias mencontek. Bahkan Gareng juga dihadapkan pada menteri urusan pendidikan, dibawa oleh tamu-tamu. Maklum, turis domestik dari Jakarta itu ternyata bekerja di kementerian pendidikan.
“Jadi nyontek kejujuranpun juga tidak boleh?” tanya Gareng.
“Pokoknya apapun, mau nyontek kejujuran kek, yang namanya nyontek nggak boleh,” sergah petugas.
Bagong pergi nyari pengacara. “Gara-gara ada pentas tradisional semua jadi kacau,” kata perempuan resepsionis hotel ketika bangun tidur di kursi, dalam bahasa Inggris.