Sindo

Lelaki Cuma Roda, Perempuanlah Penggeraknya

4,504 Views

Sebentar lagi Hari Kartini. Beberapa hari lalu sejawat saya, Rusdy Rukmarata, koreografer yang bakal mementaskan drama musikal Miss Kadaluwarsa bulan depan, spontan punya sudut pandang lain terhadap petuah soal hubungan pria-wanita.

“Semaju-majunya perempuan, tetap harus selangkah di belakang lelaki,” begitu kata petuah Timur. Rusdy bilang, ini emang bisa ditanggapi negatif. Perempuan musti ngalah. Tapi, katanya, lihat positifnya. Bukankah itu berarti laki-laki ditantang buat selalu maju sehingga perempuan selangkah di belakangnya?

***

Ya. Saya akur. Petuah Timur itu apa salahnya diartikan positif. Semaju-maju cewek mesti tetap selangkah di belakang cowok. Cewek jangan ngalah. Cowok-nya yang mesti maju. Problemnya, bagi saya, siapa yang bikin cowok selalu tertantang untuk maju?

Secara umum rasa-rasanya yang bener-bener bisa membuat lelaki maju bukan harta, bukan anak, bukan negara atau hal-hal lain kecuali perempuan. Perempuan itu bisa isteri. Bisa ibu. Bisa guru dan nenek. Bisa sahabat bisa pula anak perempuan tetapi penekanannya bukan pada soal keanakannya.

Maka untuk peringatan Hari Kartini nanti saya usul bukan saja ada lomba masak buat bapak-bapak (mungkin karena pada “Hari Kartono” atau hari-hari biasa umumnya yang masak adalah kaum hawa). Saya usul ada semacam lomba cerdas-cermat buat menebak siapa perempuan di balik setiap lelaki yang dianggap sukses?

Rasanya ini bagus buat pendidikan kita bersama, termasuk saya. Ketimbang lomba memasak dan lomba busana ala Kartini. Yaitu, kita selalu diajar buat mencoba mencari tahu siapa gerangan sosok perempuan di balik Diponegoro, Si Singamaraja, Hasanuddin, Teuku Umar, Si Pitung dan lain-lain sampai tokoh-tokoh lelaki saat ini. Buku-buku sejarah mesti ditulis ulang buat kelengkapan cerita. Begitu juga berita-berita media massa saat ini ketika menulis tokoh laki-laki.

Bisa dibayangkan jika lomba ini berjenjang sejak penyisihan di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sampai final di tingkat nasional. Setiap laki-laki di seantero Nusantara akan tergerak mengakui kebesaran jasa perempuan terhadap majunya kaum lelaki. Setiap perempuan akan kembali disadarkan bahwa dia memiliki kodrat yang tak bisa digantikan oleh siapapun dan apa pun, buat memicu nyali dan semangat kaum lelaki.

Dalam film 300 tentang perang orang-orang Sparta, film yang baru beredar di Indonesia, juga tergambar jelas bagaimana lelaki Leonidas (Gerard Butler) berangkat perang dan pamitan tanpa kata-kata pada isterinya, Ratu Gorgo (Lena Headey). Tanpa kata-kata, mata isterinya kelihatan berat. Tetapi tatapan itu juga mendorong lelakinya maju perang. Ketika Leonidas sudah lunglai di ujung tombak musuh, muncul bayangan isterinya. Bayangan itu menguatkannya buat seketika bangkit dari sekarat. Garang kembali menerjang musuh.

Pada saat adegan terakhir yang amat mengharukan itu tiba-tiba kenangan saya mundur ke Pak Zainuddin Umar, pengajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tiba-tiba saya teringat beberapa tahun lalu, bersama pembicara Desy Ratnasari di Hotel Ambara Jakarta, Pak Zainuddin bilang bahwa di balik sukses Nabi Muhammad SAW, sesungguhnya ada peran perempuan termasuk Hatijah. Sayang, katanya, agama yang banyak ditafsirkan oleh laki-laki kurang banyak memperbincangkan hal ini.

***

Dorongan perempuan terhadap lelaki bisa macam-macam. Bisa nyuekin, bisa marahin, bisa nurutin dan lain-lain. Tentu saja dorongan ini soal yang sangat pribadi dan unik. Tak ada pedoman umumnya. Bisa saja yang berlaku buat suatu pasangan, macet diterapkan oleh pasangan lain.

Bisa saja dengan menuruti kehendak suami, suami bakal terdorong buat maju. Bisa saja dengan berhenti menjadi penyanyi yang pendapatannya sebulan bisa sampai Rp 200 juta, penyanyi Kristina bisa mendorong kinerja suaminya, anggota DPR Muhammad Al Amien Nur Nasution. Siapa tahu pula bisa lama-lama memperbaiki kinerja seluruh anggota dewan. Tapi buat pasangan lain, menuruti kehendak suami bisa saja malah membuat suaminya arogan.

Model Soraya Haque punya pendapat bijak yang tak buru-buru menghakimi. Katanya, pengorbanan memang mesti ada termasuk dalam kasus Kristina. Tapi pikir-pikir dulu. “Apakah larangan-larangan suami itu masih dalam taraf wajar. Kalau sampai dirasakan jadi abuse (siksaan) yang bukan hanya fisik tetapi juga batin, kita harus segera ambil tindakan,” tandasnya.

Untuk pasangan tertentu, isteri bekerja dan punya karier justru menjadi dorongan suaminya maju. Apalagi, kata model Olga Lidya, hubungan suami-isteri bisa lebih sehat kalau perempuannya punya kerja di luar kerjaan rumah tangga. “Jadi ngomong-nya gak itu-itu aja. Misalnya kalau isteri gak kerja kebayang gak sih, masa omongannya cuma sekitar kompor meleduk, harga cabe dan minyak…kayak gak gaul-gaul gitu,” katanya.

Tapi mungkin buat pasangan lain, perempuan berkarir apalagi berpenghasilan lebih tinggi dibanding suaminya malah membuat sang suami patah arang dan rendah diri.

Bagus juga kalau di hari Kartini nanti ada lomba pengakuan dan penuturan cara mereka mendorong laki-laki pasangannya. Pasti beda-beda. Dan kita semua bisa belajar.

(Dimuat di harian Sindo, tanggal 13 April 2007)