AREA 2009 - 2010

Kota, Satelit, Mas Tommy

3,265 Views

Jumat malam pekan lalu saya ke Depok. Itu sudah sekitar pukul 10-an malam. Kirain udah nggak macet. Ternyata menjelang Universitas Indonesia dari arah Pasar Minggu dan setelah itu, Jalan Margonda Raya, merambatnya gila-gilaan.

Tadinya saya mikir ini perkecualian. Mungkin karena sedikit hujan. Tapi saya jadi ingat sekitar Agustus tahun lalu, waktu mau shooting di Studio Alam TVRI Depok. Jalan Margonda pun persis itu. Padahal nggak ujan. Nyaris tengah malam pula. Mestinya jalanan mulai lengang.

Benarkah Depok kota satelit Jakarta, kayak Bekasi gitu, Bumi Serpong Damai, Bintaro dan lain-lain?

Sori omong, karena bayangan saya tentang satelit itu sesuatu yang masih kosong. Lengang dalam arti apapun. Bulan adalah satelit planet yang bernama bumi. Karena itu bulan masih lengang, nggak pake macet.

Banyak penduduk bumi yang pengin pindah ke Sang Candra dengan improvisasi dan modifikasi di sana-sini. Mereka orang-orang yang mikirnya lebih jauh ketimbang rata-rata orang politik yang cuma bisa berpikir 5-10 tahun ke depan dan untuk diri sendiri, lupa bahwa bumi nyaris tak bisa menampung orang.

Yang saya tahu tentang satelit adalah sesuatu yang berkerumun, tapi tetap masih kosong jua. Ada gula ada semut. Semutlah satelitnya. Mereka berkerumun, mengorbit dengan tangan kosong sampai akhirnya kecipratan gula.

Dengan pengibaratan lain pun, tetap juga namanya satelit itu bagi saya adalah sesuatu yang masih lengang. Tommy Soeharto jelas bukan satelit. Kantong dia gak lengang. Pangeran ini planet. Satelitnya bisa saja para perempuan kosong dan haus duit yang lagi mengerumuninya dan berantem kalau perlu jambak-jambakan.

Makanya susah banget buat saya bisa terima bahwa kota-kota yang telah saya sebut itu, termasuk Tangerang, adalah satelit Jakarta.

Siapa tahu satelit sebenarnya adalah Jababeka di Cikarang ya? Sepanjang ingatan saya, kota ini masih lengang. Penuh bulevard. Kabarnya beberapa tahun lagi tempat ini akan dijadikan ajang pembuatan film terintegrasi mirip Hollywood, Ramoji (India) dan Fox (Australia).

Jababeka belum sepadat satelit lain, bilang Lippo Karawaci. Tapi siapa tahu kelak bagai Kebayoran sekarang. Dulunya ini tempat penumpukan kayu bayur, semacam satelit buat Batavia yang cuma punya wilayah dari Stasiun Kota sampai Harmoni. Sekarang dalam situasi kejiwaan kita Kebayoran sudah menjadi bagian yang sah dari kota Jakarta kayak Pondok Indah.

Kadang kepikir bagaimana kalau Pulau Seribu kita jadikan kota satelit. Masih relatif kosong tuh sekarang, kecuali buat wisata. Tapi kadang saya juga mikir, rasanya orang Belanda jauh lebih matang kalau nyiapin kota satelit seperti Jatinegara dan Bogor dulu. Minimal drainase dan daerah tangkapan serta resapan airnya dipikirin mateng.

Itu yang sebagai awam kurang saya rasakan pada kota-kota satelit yang baru tumbuh. Selain itu saya lihat pergerakan mobilnya tiap pagi (padat menuju Jakarta) dan malam (padat pulang dari Jakarta), menunjukkan bahwa sebagian besar warga kota satelit sandang-pangannya tetap aja dari Jakarta.

Mestinya kan di kota satelit itu dibikin lapangan kerja juga. Warga kota satelit hanya sekali-sekali ke Jakarta untuk mengisap madu. Abis itu ciao, dan hidup mandiri di kota satelit. Seperti mungkin perempuan-perempuan yang mengelilingi Mas Tommy.

(Dimuat di rubrik ‘Frankly Speaking’ AREA 49, 2 Maret 2009)