AREA 2009 - 2010

“War-tawaran Harga”

3,600 Views

Dulu pernah saya menulis di area tentang hampir punahnya tradisi tawar-menawar pasar tradisional. Mal-mal dengan harga fixed kian marak. Harga pas bandrol tanpa kita sadari telah menjadi kebiasaan atau tradisi baru. Malah aneh kalau kita masuk pusat-pusat perbelanjaan tapi ternyata harganya bisa ditawar.

Arus balik tampaknya bakal terjadi. Senior-senior kita di pasar koalisi politik seperti mengajak kita menengok kembali kearifan lokal dalam pasar-pasar tradisonal lama yang becek, bau keringat dan kotoran ayam. Istilah yang kini banyak dipakai oleh tokoh-tokoh partai ketika saling mengunjungi markas satu sama lain, “komunikasi politik”. Sesungguhnya ini cuma “tawar-tawaran” harga mirip di pasar-pasar kampung.

Anda suka banget pada sayur-mayur tertentu? Jangan terlalu menunjukkan kegairahan itu. Apalagi kalau pedagangnya, seperti Pak SBY, sampai mengajukan 5 kriteria pada calon penawarnya untuk dapat membeli sayur. Misalnya kelima kriteria itu adalah punya integritas, kecakapan tinggi, loyalitas, jaminan diterima rakyat kecil, dan kemampuan merekatkan koalisi.

Wah, kalau sampai gitu, saya kira tidak harus Jusuf Kalla, ibu kita pun akan pergi meninggalkan pedagang itu. Setidaknya ia akan pura-pura pergi sambil berharap setelah jauh akan dipanggil oleh pedagang yang mengajukan kriteria tadi.

Kok belum ada tanda Pak JK berharap-harap akan dipanggil untuk negosiasi lebih lanjut? Atau, kok belum juga ada tanda Pak SBY akan memanggil calon pembelinya yang sudah pura-pura menjauh?

Barangkali kedua tokoh di pasar politik tradisional itu justru ingin mengajari kita budaya baru. Jika kelak pasar-pasar tradisional kembali hidup, jika modal-modal besar tak lagi mereka perkenankan masuk sampai ke kampung-kampung untuk bikin mal-mal dalam berbagai ukuran, tirulah perilaku mereka kini.

Yaitu, kalau udah netepin harga ya udah..titik. Sebaliknya, kalau udah gak mau beli ya udah…titik juga.

Kedua tokoh itu kini sedang ing ngarso sung tulodo…sebagai pemimpin memberi tauladan.

Benarkah SBY dan JK sedang nyontohin itu? Ya, tak ada yang tahu persis. Siapa tahu setelah final pemilu legislatif 9 Mei mendatang, Pak SBY memanggil-manggil mantan calon pembelinya. Atau, siapa tahu, seperti ibu-ibu dahulu, Pak JK melenggang menjauh sambil sekali-sekali nengok ke belakang atau pasang telinga kuat-kuat untuk balik kanan jika namanya diseru.

Bagi saya, tauladan yang udah pasti dalam perilaku pasar politik tradisional saat ini adalah tak adanya upaya untuk terang-terangan menghina barang dagangan. Saya belum pernah dengar Hidayat Nur Wahid terang-terangan menghina JK atau sebaliknya. Saya belum pernah dengar Wiranto menghina Prabowo Subianto atau sebaliknya.

Zaman ibu-ibu kita dulu, salah satu trik untuk menawar belanjaan adalah menghina barang itu.

“Wah, kok salaknya se-upil-upil ya?” mungkin begitu trik seorang ibu untuk nantinya bisa menawar salak.

“Ya kalau upilnya saja segitu gimana hidungya,” biasanya begitu kelit pedagangnya dalam humor Madura.

Atau mungkin begini ejekan seorang ibu, “Wah jeruk yang saya cobain ini asem banget ya?”

Beh Sampeyan masih untung baru nyoba satu, Dik, saya punya jeruk dua keranjang ini kecut semua…”

Ini mungkin karena tidak ada tokoh partai dari Madura. Takutnya kalau diejek tidak ada yang mampu berkelit dengan jenaka. Salah-salah malah jadi urusan pengadilan. Ada Mahfud MD. Sayangnya orang partai ini sedang memimpin Mahkamah Konstitusi.

(Dimuat di rubrik ‘Frankly Speaking’ AREA 53, 27 April 2009)