AREA 2011 - 2012

AREA 121 Putaran Tanpa Akhir Pilgub Jakarta

5,431 Views

TejomusikSssstttt…Agustus nanti ikut contrengan Gubernur DKI Jakarta nggak?

Heuheuheu

Sudah kapok dibohongi janji-janji kampanye ya?

Ya, sud…Eh, tapi manusia hidup selalu masih butuh gombal, lho. Gombal beneran dibuang di got-got, memang. Tapi gombal kata-kata masih diam-diam kita perhatikan.

Jangan sampai janji kita anggap telah mati bagai kuburan. Dengan janji manusia juga bisa terhibur kok. Ibarat warga Jakarta di perkampungan padat terhibur oleh kuburan. Di tanah makam mereka bisa bermain-main sambil berlarian sembari ngabuburit kalau pas bulan Ramadhan.

Orang lain dalam 7,5 juta warga berhak pilih di Jakarta alergi janji? Ya biarin. Mari kita ambil positifnya. Tanpa hiburan janji-janji kampanye apakah Kemang, SCBD, Monas, Air Mancur Bunderan HI, kedatangan Lady Gaga dan lain-lain sudah cukup menghibur?

Hmmm…menurut saya kok kurang ya.

Di antara seluruh kerlap-kerlip dan gegap-gempita hiburan Jakarta itu kita masih memerlukan lagi tokoh yang bisa membesar-besarkan hati kita bahwa dengan dana Rp 14 triliun dan waktu tiga tahun tak akan ada lagi itu cerita tentang banjir di Jakarta.

Hati kita juga perlu dibombong dan ditenang-tenangkan bahwa tahun 2014 gridlock alias kemacetan total, yakni antrean para mobil sejak keluar dari pintu pagar rumah, tak bakal terjadi apabila kita memilih si Anu menjadi DKI-1.

Jakarta sangat pelik. Karena itu kita tambah perlu hiburan.

Ya, hanya kata ini, pelik, menurut saya, yang membedakan Jakarta dengan kota-kota besar lainnya. Kalau soal diwargai oleh berbagai suku, Yogyakarta dan Surabaya tak kalah beragamnya.

Orang-orang dari Indonesia Timur juga tumplek blek di Yogya. Maka Glenn Fredly dan Slank belum lama ini bikin perhelatan Indonesia Timur-Barat di Yogya. Teater tradisional ludruk, yang menampung keragaman suku bangsa seperti Bugis, Batak, Ambon, tak bakal lahir di Surabaya jika warga kota Pahlawan itu tak beragam.

Di luar soal keragaman warga, yaitu soal kerasnya hidup, mana lebih keras Jakarta dibanding Makassar dan Medan. Demo-demo keras lebih sering terjadi di Makassar. Dan sebuah laskar pernah ketakutan menghadapi kaum inang, ibu-ibu, di kota “Ini Medan, Bung!”.

Bedanya, Jakarta lebih pelik. Di kota yang sepelik ini terasa segar mendengar latar belakang calon-calon gubernur: Pak Fauzi Bowo, Pak Jokowi, Pak Alex Noerdin, Pak Hidayat Nur Wahid dan calon independen Mas Faisal Basri serta Pak Hendardji Soepandji.

Siapa yang bakal terpilih? Waduh. Masa saya tahu. Yang jelas pasti bukan istri simpanan Bang Mamat dari Kalipasir, tokoh gelap yang secara aneh bisa beredar menjadi bacaan murid-murid SD di Betawi.

Lantas banyak yang memprediksi bahwa pemilu gubernur DKI Jakarta ini akan berlangsung dua putaran.

Siapa yang akan berlaga pada putaran kedua?

Bagi saya, yang pasti akan berlaga pada putaran kedua dan putaran-putaran selanjutnya adalah seluruh warga Jakarta itu sendiri. Akan selalu berlaga di dalam batin kami, kita, warga Jakarta, antara keinginan untuk tetap tinggal di Jakarta atau pindah ke luar kota.

Mana ada kota perdagangan/industri yang merangkap ibukota government?