Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 157 Halal bil Halal ala Prabu Kresna

44,040 Views

STcartoon1Anaknya Cangik, yaitu Limbuk, perawan tua yang tak tamat SD, selalu punya masalah ambek pergaulan. Bahan baku keluhan Cangik setiap ketemu ponokawan Gareng mesti iku-iku wae, yaitu perkoro Limbuk yang koncoannya selalu ndak tepak.

“Sudah ta’ larang dia itu gaul ambek gengnya Rahwana, Kang Gareng, eh masih saja Limbuk itu ngintil ke mana-mana,” keluh Cangkik si ponokawan perempuan bertubuh kerempeng.

“Lha apa salahnya anak Sampeyan lebur dengan kaumnya Rahwana? Mbok hidup itu jangan membeda-bedakan manusia. Jangan SARA ah.”

“Sebenulnya eh sebetulnya bukan lantaran si Paijo itu gerombolannya Rahwana. Tapi lantaran Paijo itu orang partai. Aku ndak sukak wong Partai pulitik…Gayane iku suka hek-metekeh…” Cangik sambil menepuk-nepuk keningnya.

Gareng mulai menghibur Cangik. Dibilangnya bahwa ndak semua orang partai begitu. Juga dibilangnya bahwa pengalaman Cangik bukan satu-satunya. Banyak sekali yang oleh orang dekatnya dinilai salah gaul. Padahal yang sedang melakukan ndak merasa salah kekancan. Cocok-cocok saja.

“Ndak usah jauh-jauh. Istriku sendiri, Dewi Sariwati, sebenernya jembek kalau lihat saya tiap hari ngobrol mbarek Mbilung,” Gareng mulai curhat.

“Mbilung?”

“Halah itu lho, Bu Cangik, ponokawan dari kampung sebelah. Asistennya Pak De Togog…”

“O iya, iya. Kang Gareng, inget aku sekarang …Mbilung…hmmm… hehehe…Maklum saya ini sudah iwak peyek. Lha wong saya ini sudah jadi anggota Paskibraka sejak zaman Belanda belum masuk sini … Hehehe… Iya. Saya inget Mbilung. Orangnya kecil-kecil. Kalau ngomong kayak Azis Gagap. Dan kalau punya utang selalu bernafsu untuk lupa…”

“Ya, itu. Bu Cangik. Ancene sering ngemplang, tapi Mbilung itu baik. Cuma istriku selalu ngomel-ngomel kalau saya deket-deket dia: Kang, Kang, sama anak istri saja ndak pernah gitaran nyanyi-nyanyi, giliran ada Mbilung gitaran di gardu sampai pagi…Sana kawin saja sama Mbilung…”

“Lha terus Sampeyan njawab opo, Kang Gareng?”

“Ta’ bales, lha situ sendiri juga kelet sama orang yang wajahnya kayak Julia Perez. Kalau sudah ngobrol di rumah…wah anak nangis minta mandi ya nggak dimandiin. Sampai akhirnya saya sendiri yang mandiin anak. Tahu sendiri kan sampai sekarang belum ditemukan mesin cuci anak?”

“Waduh, waduh …Opo se Kang Gareng, yang Kang Mbok Sariwati dan si ‘Julia Perez’ itu obrolkan kok sampek lengket begitu?”

“Ya, embuh. Lha terus yang diobrolkan Limbuk anak Sampeyan dengan si orang Partai Pulitik itu apa kok ya bisa nempel kayak cicak-cicak di dinding gitu?”

“Lha yo embuh. Tapi kelihatannya cocok banget mereka itu. Lha kalau Sampeyan ngobrol apa saja kok cocok sekali dengan Mbilung?”

Gareng garuk-garuk kepala.

***

Sebenarnya semua itu sama saja dengan kedekatan Kresna dan Arjuna. Pasti ada misinya. Disadari atau tidak. Raja Dwarawati dan penengah Pandawa itu demikian runtang-runtungnya. Tapi sebetulnya tak ada yang tahu alasannya kenapa. Dewi Subadra, istri Arjuna, yang kebetulan adik Kresna saja kadang-kadang cemburu. Lha wong suaminya lebih dekat ke kakak iparnya.

“Salah satu keunggulan Subadra dibanding perempuan lain,” kata ponokawan Petruk, “adalah kesabarannya merelakan Arjuna sang suami lebih dekat kepada orang lain walau itu kakaknya sendiri.”

Demikianlah Dewi Roro Ireng, nama lain Subadra, hanya pernah mendengar bahwa jika cincin maka Arjuna dan Kresna ibarat mustika dan embanannya. Permatanya Arjuna. Cangkoknya Kresna. Dewi Roro Ireng hanya pernah mendengar bahwa secara badan halus suaminya dan kakaknya mempunyai nama yang mirip. Badan halus Arjuna disebut Sukma Langgeng. Badan halus kakaknya disebut Sukma Wicara. Ini jelas sekali dalam lakon Kresna Gugah.

Selebihnya, misalnya tentang mengapa Kresna dan Arjuna tak boleh dipisah-pisahkan, apa tujuannya mereka manunggal…Nah Dewi Roro Irang tidak tahu.

Brotojoyo, ya nama alias si Roro Ireng itu, berserah saja pada mengalirnya waktu.

***

Sebenarnya Brotojoyo tahu apa tujuan Kresna dan Arjuna lengket andai dia ada di TKP pada lakon Rebutan Kikis Tunggorono antara Gatutkaca dan Boma Naraksura. Raja Pringgandani dan Raja Trajutrisna itu saling mengklaim tapal batas (Kikis) yang bernama Tunggorono.

Saking saktinya si anak Kresna dari Dewi Pertiwi itu, Gatutkaca walau sakti akhirnya kalah. Melihat anak Bima itu menjelang kalah maka pamannya, Arjuna, ikut membela Gatutkaca. Boma Narakasura nglepasno panahnya nang Arjuna. Jan-jane tak kena. Cuma terkena ujung kainnya. Tapi Arjuna itu kan agak-agak angkuh gimana gitu. Cuma kena ujung kainnya saja dia malu ke dunia. Lari dia sembunyi di Gua Mintaraga.

Datanglah Kresna. “Anakku, Boma,” tandasnya. “Sejak kemarin-kemarin aku biarkan kamu dan sepupumu Gatutkaca berperang. Matipun JGatutkaca mati, aku juga ndak popo. Tapi kan aku sudah pesan sejak sebelum kasus Century dulu jangan sekali-kali berani ke keng paman, Arjuna…

“Haduh, Romo saya mohon maaf lahir dan batin…”

“Halal bihalal ada batasnya. Salah ke manusia harus minta maaf ke manusia. Kalau korupsi, minta maafnya itu mengembalikan duit negara agar berguna buat sesama manusia yang berhak. Tapi sekarang salahmu bukan kepadaku. Bukan ke manusia. Kamu bersalah kepada Yang Memberi Tugas padaku…Sekarang kamu sudah membuat Arjuna malu…”

Belum selesai kata-kata Kresna senjata pamungkasnya Cakra sudah melesat membunuh Boma, anaknya sendiri.

“Hmmm…Bagaimana aku bisa melaksanakan tugasku sebagai titisan Wisnu untuk memayu hayuning bawono, menjaga harmoni semesta, jika aku tak punya tangan yaitu Arjuna,” gumam Kresna di depan jenazah Boma.

Tapi tak ada Subadra di senja yang berjenazah itu. Sayang sekali.