AREA 2009 - 2010

AREA 66 KECIL ITU INDAH

3,973 Views

TejomusikKebanyakan kita, termasuk saya, suka yang besar-besar. Pak Joop Ave, mantan anak buah Bung Karno, suatu sore pernah bilang ke saya di rumahnya di Kebayoran Baru, Jakarta, “Bung Karno itu tidak pernah bicara kecuali tentang hal-hal besar.”

Maka lahirlah Monas. Maka lahirlah komplek olahraga Senayan. Maka muncullah Gedung Asia-Afrika di Bandung. Maka lahirlah pidato-pidato si Bung yang menggemparkan dunia.

Rumah juga gitu. Rumah besar, atau magrong-magrong kata orang Jawa, juga selalu menjadi dambaan kita. Cara melukiskan keberhasilan seseorang biasanya yang paling mudah adalah menggambarkan ukuran rumahnya. Semakin magrong rumah seseorang, semakin sukses orang tersebut.

Saya kira Mak Erot dari Sukabumi juga tidak akan melegenda seperti sekarang kalau diduga kemampuannya adalah memperkecil sesuatu. Perempuan ini jadi sangat kondang justru karena kemampuannya untuk membuat sesuatu menjadi besar.

E.F Schumacher yang pernah malang melintang di perusahaan-perusahaan besar justru kebalikan dari Mak Erot. Dia bilang justru seperti judul bukunya yang abadi Small is Beautiful.

Ya, kita semua pasti sudah sering dengar “Kecil itu Indah” dari ekonom dunia itu. Tapi mungkin jarang yang tahu bahwa sebelum omong begitu, dulu banget, Schumacher bilang bahwa Jakarta tuh sebenarnya dirancang cuma untuk setengah juta orang. Bagus dan ideal banget, katanya,  sampai Goteborg, sebuah kota di Swedia, dirancang meniru kota Si Pitung itu.

Cuma, kebijakan sak madyo dari kata madya alias tengah, yang berarti secukupnya, kadang mengusik perhatian kita. Bisa saja bukan soal besar atau kecil yang paling penting. Tapi yang di tengah-tengah alias sepatutnya atau secukupnya, itulah yang mungkin kita cari.

Saya sering melihat orang yang rumahnya besar, apalagi kalau anaknya banyak. Tiap anak bahkan sejak taman kanak-kanak sudah punya kamar sendiri-sendiri. Tapi rumah magrong-magrong itu toh pada akhirnya kosong melompong manakala anak-anak sudah pada sekolah atau kuliah di luar kota. Apalagi kalau mereka sudah pada berumah tangga. Mereka sudah dan harus punya rumah masing-masing meski satu kota sekali pun dengan orangtua.

Kalau rumah tidak besar, bagaimana kalau pas Lebaran apalagi kalau sudah lahir cucu-cucu? Kayaknya Lebaran yang pakai kumpul-kumpul tuh setahun cuma dua hari deh. Nah sisanya yang 350-an hari lebih tuh rumah kosong melompong. Resepsi pernikahan saja sekarang jarang dibikin di rumah. Biasanya sewa gedung. Maksud saya, apa pas Lebaran itu sebaiknya kita sewa saja penginapan di mana gitu.

Jadi rumah tetap bisa dibikin sak madyo. Kesan luas bisa dibuat dengan cara mengindahkan anjuran umumnya arsitek. Perbanyak cermin di dinding. Harus built in. Misalnya, lemari tuh jadi satu atau “nempel” di dinding. Cari warna-warna yang muda dan berikan kesan final. Misalnya jangan ada dinding yang tampak kosong. Pajang lukisan. Dan lain-lain…

Ah, itu cuma pikiran-pikiran ngalor-ngidul. Ini cuma masalah ruang, yaitu bagaimana sebuah rumah dibangun agar tidak terkesan, magrong-magrong kok cuma ditinggali berdua…kakek dan nenek, sementara masih banyak orang yang perlu ruang untuk mendirikan rumah.

Saya jadi ingat kapan tahun itu waktu ada rombongan pelajar SD dari pedusunan di Papua datang ke Jakarta. Pertanyaan anak ini sangat menarik ketika melihat lalu lintas di Jakarta.

Kira-kira, “Itu di bis-bis penuh orang-orang. Sempit. Berdesakan. Tapi kenapa di mobil-mobil sedan isinya cuma satu dua orang…Kosong.”