AREA 2009 - 2010

AREA 73 REMAJA dan FILM NASIONAL

4,078 Views

TejomusikFilm-film bule yang laris-laris itu kok gak selalu soal remaja ya? Malah kebanyakan temanya adalah tema-tema orang dewasa. Bintang-bintangnya juga begitu. Usia mereka tidak remaja lagi.

Coba saja sebut bintang-bintang pada masanya seperti Sharon Stone, Julia Roberts, Tom Cruise, Kevin Costner dan Nicole Kidman. Mereka pada masa-masa puncaknya bukanlah remaja lagi.

Film-film Bond baik yang dibintangi Sean Connery, Roger Moore, Pierce Brosnan dan Daniel Craig jelas tidak dibintangi oleh remaja-remaja macam Nicholas Saputra pada masa-masa puncak pasangan film Dian Sastro itu. Film-film Bond yang juga digandrungi remaja di Tanah Air itu dibintangi oleh orang-orang dewasa.     Problem pembuatan film di Indonesia adalah begitu banyak tema-tema dewasa yang bisa digali dari Indonesia, tapi fakta menunjukkan bahwa pengunjung bioskop adalah remaja. Bahkan mahasiswa bukanlah pengunjung potensial bioskop.

Judul-judul macam Get Married dan Kambing Jantan, untuk sekadar menyebut dua di antara banyaknya film tentang remaja, menunjukkan betapa memang besarnya potensi anak-anak belasan tahun untuk mengunjungi teater.

Kalau sudah begini kita tak punya pilihan. Salah satu tema dewasa yang juga berpotensi digemari kaum remaja adalah horor. Maka kebangkitan film Indonesia setelah Festival Film Indonesia berakhir tahun 1992 ditandai dengan merebaknya film-film horor sejak 2002. Cikal bakalnya sudah ada di tahun    70-an dengan bintangnya antara lain Suzanna.

Setelah kebangkitan awal 2000-an itu, puncaknya terjadi tahun 2008 dengan produksi lebih dari 80 judul. Memang ada keanehan, yaitu tadi, orang-orang dewasa di atas usia 25 tahun bisa membaca diskusi film nasional, membaca berita-berita tentang film nasional, kasih usul ini-itu pada perfilman nasional melalui media massa, tapi mereka tidak datang ke bioskop.

Saya ingat, ketika Rano Karo membintangi Gita Cinta dari SMA bersama Yessy Gusman, aktor yang kini jadi wakil bupati Tangerang itu memang remaja. Bioskop banyak dikunjungi remaja. Tapi pada periode itu misalnya juga ngetop film yang dibintangi Roy Marten, bintang yang sudah tidak remaja lagi. Roy misalnya waktu itu membintangi Cintaku di Kampus Biru, film yang bercerita tentang kehidupan asmara kampus Gajah Mada. Film ini ditonton oleh kalangan mahasiswa dan dewasa.

Mengapa dulu film nasional bukan cuma dimiliki oleh penonton remaja? Waduh, dekat-dekat hari perfilman nasional 30 Maret ini, saya paling hanya bisa kasih beberapa kemungkinan.

Pertama, tahun 70-an itu lalu-lintas belum semacet sekarang. Orang dewasa lebih cepat capek dibanding remaja. Orang dewasa akan malas banget bersusah-susah datang ke gedung bioskop kalau harus melalui ritual kemacetan di kota-kota.

Tahun 70-an belum marak versi VCD maupun DVD dari suatu film layar lebar. Apalagi rumah-rumah tangga yang memiliki home theater, yang sudah bisa nyetel DVD laiknya nonton film, lebih suka nonton di rumah. Apakah remaja gak lebih baik nonton DVD di rumah? Agak lain, remaja masih pengin ketemu teman, cari pacar, calon istri atau suami. Itu semua ada di sektor publik. Tak heran remaja masih nonton di bioskop.

Tapi kenapa remaja juga nonton tema-tema dewasa kalau itu diproduksi oleh Hollywood?

Ah, kalau itu mah gak usah dijawab. Bangsa kuli di manapun akan suka apapun yang dibikin bule.