AREA 2009 - 2010

AREA 88 Orang Semenanjung itu Telah Semakin Masuk

9,808 Views

TejomusikSampai berapa duka cita lagi harus kita tanggung sehingga Indonesia kompak 24 karat? Erupsi Merapi, tsunami Mentawai, banjir Jakarta dan Wasior kayaknya cuma menggalang bersatunya donatur serta relawan. Dan seperti respon terhadap fenomena alam yang sudah-sudah, keguyuban itu tampaknya akan sementara.

Sampai berapa sungkawa lagi harus Indonesia tanggung sehingga, seperti Korea, negeri khatulistiwa ini tak cuma mengerahkan donasinya.

Harus seberapa timbunan lagi sungkawa itu sehingga “bela”-nya, yakni wujud konkret bela sungkawa kita, bukan cuma pengerahan donasi. “Bela”-nya adalah pengerahan segenap bakat dan kemampuan putra-putri Indonesia di berbagai bidang sejak teknologi, kesenian, olahraga sampai ilmu pengetahuan.

Belum cukupkah peristiwa Mentawai, Merapi, Wasior, tabrakan kereta api di Pemalang sebagai nestapa kolektif yang menyatukan bangsa? Haruskah ada pecah perang dengan tetangga seperti dulu Korea Selatan dan Korea Utara?

Dengan siapa? Malaysia? Singapura? Hayo…

Tapi haruskah ada perang, jika belum perang saja sebenarnya kita sudah terpuruk dalam duka cita kolektif? Kita antara lain hanya perlu mengetuk hati para pemimpin, tidak dengan airmata, tapi mungkin dengan penggal lirik Bob Dylan dalam Blowing in the Wind. How many ears must one man have, before he can hear people cry.

Mas Komaruddin Hidayat pas lebaran lalu heran, begitu banyak insinyur di negeri ini, kok nggak kayak Korea. Di jalanan di negara semenanjung itu hampir seluruh otomotifnya bikinan dalam negeri. Kita, di negeri kita sendiri, tak melihat bikinan Indonesia malah melihat antara lain Hyundai, KIA, Daewoo dan SSangyong.

Belum lagi produk-produk elektronik dari  Samsung, yang artinya tiga bintang, suatu industri yang tahun 30-an berupa industri makanan lalu tahun 60-an banting setir ke industri elektronik.

Saya yakin sebenarnya kita bisa semaju Korea yang sama-sama terpuruk waktu krisis moneter karena kita berpotensi dalam bidang ilmu-ilmu yang menjadi dasar teknologi. Putra-putri Indonesia, antara lain atas gemblengan Dr. Johanes Surya, banyak yang memenangi olimpiade internasional bidang matematika, fisika dan biologi.

Korea juga sudah nyerbu kuliner. Padahal soal kuliner kita pasti lebih kaya. Satu jenis saja, sebut soto, wah masih berjenis-jenis. Ada soto Banjar, Sokaraja…dll di luar yang sudah populer seperti soto Madura, Lamongan dan Betawi.

Tapi bersama mobil dan elektronik Korea, makanan-makanan Korealah yang mendatangi kita seperti kimchee dan lauknya-pauknya, banchan. Bukan saja Chinatown yang melanda kota-kota dunia. Kini ada Koreatown seperti misalnya di Kebayoran Baru. Awal 90-an ketika saya diajak makan Mas Setiawan Djody di restoran Korea Arirang, waktu itu dekat Sarinah, belum kebayang bahwa kuliner Korea akan semenyerbu hari ini.

Ada faktor lain sih. Korea membenci Jepang dan sebaliknya. Teman saya orang Jepang, bencinya ampun-ampunan ke Korea. Teman saya yang Korea juga sebaliknya. Kebencian itu ditransfer menjadi energi positif persaingan produk. Kita harus membenci siapa ya? Masalahnya setiap bekas musuh, seperti Belanda, Portugis dan Jepang, meninggalkan akar budaya di sini dan kita jadi melupakan masa lalu untuk kini mencintai mereka.

Maka, sebelum ada perang, satu-satunya jalan adalah meminjam syair Bob Dylan buat mengetuk para pemimpin meski kita semua ragu apakah itu work. Wong sudah nyaring teriakan kita semua, anggota DPR tetap jalan-jalan dalam keadaan susah begini.

So?