Sekitar peringatan Hari Pahlawan 10 November itu saya kebetulan ada di deket-deket pusat peristiwa, Surabaya. Merdekalah saya tak dirundung kemacetan Jakarta yang tambah menjadi-jadi akibat “kunjungan transit” Saudara Obama. Banyak temen-temen Jakarta yang mengeluh. Maklumlah, polisi yg dikerahkan aja 7.000-an anggota. Belum 5.000-an personil serdadu.
Sayang sekali. Saya tahu kemacetan Ibukota cuma dari twitter, bbm dan sms. Hampir tiga harian saya tidak nonton televisi. Bukan karena anti-televisi. Saya pengin banget saat itu dapat mengikuti perkembangan Merapi dan para pengungsi dari televisi. Tapi saya takut tiba-tiba kepergok breaking news tayangan persiapan dan kunjungan si Obama.
Bukannya saya anti-Obama. Saya seneng kok lihat tayangan-tayangan presiden hitam pertama AS itu. Saya cuma nggak tega aja melihat bangsa ini terbungkuk-bungkuk di depan Obama dan hulubalangnya. Sungguh amat tipis, memang, perbedaan antara menghormati dan mempertuankan tamu. Pada gegap-gempita di Jakarta belum lama atas penyambutan Saudara Obama, yang saya lihat bukan menghormati namun mempertuankan Obama (kalau tidak memper-Tuhan-kan malah).
Bagaimana saya tak sakit hati. Semingguan sebelum kedatangan Obama saya lihat tayangan televisi tentang persiapan keamanan di kampus UI. Saya lihat aparat keamanan dan pertahanan kita berpakaian lengkap. Polisi berkostum lengkap polisi. Tentara berseragam lengkap tentara. Eh, bule-bule itu cuma pakai sandal dan celana pendek main tuding dan main instruksi ke aparat-aparat negara kita.
Masa’ sih “sebudak-budaknya” kita terhadap negara adidaya, kita tidak berani usul agar bule-bule itu juga menghormati petugas-petugas lapangan. Jika mereka ngotot pakai celana pendek, sandal jepit…ya mestinya polisi dan tentara kita pakai celana pendek dan sandal jepitan juga. Jadi dilihat di televisi enak.
Itulah, tahun 2010 saya tidak bisa mengalami Jakarta sebagai metropolitan yang ditransiti Obama …atau maaf, mungkin Obama cuma sekadar mampir pipis malah. Bahkan saya sekadar menyaksikannya di televisi pun tidak.
Tahun 2010 saya lebih mengenang Jakarta di luar tetek-bengek Obama. Misalnya hmm…apa ya ..Oh ini, misalnya sejawat kesenian dari Jakarta pada menikah. Sebut di antaranya Dian Sastro, Indra Bekti dan Marcella Zaliyanti.
Bersamaan itu, dari kota yang sama, masih tercatat banyak kerusuhan. Baik itu kerusuhan antar etnis maupun antar kelompok warga. September tawuran di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat dekat Pasar Gaplok. Di Jalan Ampera Raya pun terjadi bentrok. November tawuran semacam itu pecah di Senen, Jakarta Pusat, tepatnya di Jalan Baladewa, setelah Oktober berlangsung di Jalan Sabang.
Dan lain-lain kerusuhan sebelum dan sesudahnya…
Ya, saya tak mengalami Jakarta pas ada Obama, tapi tentu saya ingin masih ada yang bisa dibicarakan dari Jakarta di luar kenangan tetang kedatangan Obama. Tapi kok ya..itu ya…hal yang manis-manis seperti upacara pernikahan terkesan lebih sedikit ketimbang soal banjir dan kerusuhan.
Angka perceraian di Jakarta meski makin menurun tetap saja tinggi. Dari 6.000-an kasus tahun 2007 menjai 5.000-an kasus saat ini. Sebagian besar justru gugatan pihak istri yang mintai diceraikan. Yang menarik, ternyata menurut sumber-sumber resmi kalangan government pengurus pernikahan, berita infotainment tentang perceraian artis turut memicu masyarakat untuk bercerai.
Selanjutnya tak ada lagi yang dapat saya kenang dari Jakarta…