AREA 2011 - 2012

AREA 94 Jodoh, Anak, Karya

5,153 Views

TejomusikSampingan lumayan sering yang saya lakoni sebagai dalang tuh ngasih nama bayi. Misalnya kayak kejadian terakhir di Malang. Abis panitia simbolis menyerahkan wayang ke saya, pertunjukan mau dimulai, di tepi pentas seorang bapak-bapak nyamperin minta nama bayi.

Biasanya saya menanggapinya serius. Lain halnya kalau permintaan itu via email maupun twitter.    Saya jawab guyon aja dan malah balik nanya, “Kamu nanya-nanya nama bayi segala, emang jodohmu sudah ada?” Kadang di luar dugaan ada yang balasannya kelakar pula. “Ya itulah persoalannya, Ki. Jodoh saya belum saya temukan. Apa jodoh saya sudah mati ya…?”     Hehe…

Pernah kelakar itu saya tanggapi begini, “Mending jodoh sudah mati deh. Sedih, emang, tapi gak terlalu. Yang paling nyakitin tuh kalau jodohmu masih hidup tapi ternyata sudah kawin sama orang lain, orang pajak lagi…Aduh.”

Tapi apa sih sebenarnya jodoh? Apakah suami istri sudah tentu jodoh? Belum pasti. Toh banyak pasangan nikah yang kemudian pisahan. Apakah jodoh tuh pasangan dalam pernikahan terakhir? Juga belum tentu, ternyata. Banyak pasangan yang dalam pernikahan terakhirnya masih jatuh cinta ke orang lain.

Atau, jodoh adalah dengan siapa kita pernah beranak-pinak? Maka dalam banyak upacara tradisional sering muncul simbol-simbol tentang pentingnya keturunan. Umpamanya dalam pernikahan Cina setelah sanjit atau serah-serahan beberapa anak kecil di minta melompat-lompat di ranjang pengantin. Ini dipercaya memperlekas mempelai punya anak. Sama halnya dengan upacara “menetaskan” telur ayam dalam pernikahan adat di Jawa dan beberapa suku lainnya di Nusantara seperti Sunda, Bugis dan Bali.

Bagi saya, dalam pernikahan adat Batak, tempat sirih bermote yang dipersembahkan oleh mempelai perempuan kepada mempelai laki-laki juga mengandung makna simbolis yang sama, yakni tentang pentingnya keturunan.

Lho, lantas bagaimana dengan pasangan nikah yang tak dikaruniai anak? Apakah mereka bukan jodoh?

Jika yang dimaksud anak adalah sesuatu yang bisa bermanfaat buat sesama, maka anak tak harus berupa manusia. Karya bersama juga bisa disebut anak. Sutradara besar almarhum Arifin C. Noer kerap menyebut karya-karya film dan teaternya sebagai anak-anaknya. Dalam tembang lawas Dhandhanggula Sidoasih juga disebut … ayo bareng nimas anglakoni wajib, sidoasih bebrayan… (cintah kasih antara dua orang hendaknya bisa melahirkan karya-karya yang bisa menjalarkan kebahagiaan buat sesama).

Dan karya tak harus berupa film dan teater. Segala yang dapat bermanfaat untuk banyak orang itu bisa berupa yayasan-yayasan untuk kesejahteraan sosial. Perusahaan yang sanggup menyerap tenaga kerja bisa juga disebut buah karya. Karya tersebut bisa berupa kerja sama langsung pasangan maupun, lebih sering, salah satu pasangan mendorongnya secara inspiratif dengan cinta.

Memang sebagai dalang, jarang sekali saya puya sampingan disuruh menamai yayasan dan perusahaan. Seingat saya masing-masing sekali. Tapi feeling saya bilang, karya buat sesama yang muncul karena cinta kasih dua orang dapat pula disebut sebagai anak.

Tidak setiap anak berguna buat sesama. Sama halnya tidak setiap karya bermanfaat buat masyarakat. Pasangan pelahir anak dan karya yang berfaedah buat kehidupan, mungkin itulah jodoh.