Sindo

Datang Bulan dan Perubahan Sosial

3,176 Views

Ibu-ibu,

Sekarang saya mau omong soal kritik. Bukan karena sebagian jenderal belakangan ini diisukan bikin “Dewan Revolusi” setelah jalur kritik mereka anggap gak bermanfaat. Bukan juga karena sejumlah penggiat Peristiwa 15 Januari yang konon berniat menggulingkan Pak Harto, 33 tahun kemudian yaitu tengah bulan ini kembali turun ke jalan melancarkan kritik kepada SBY..

Wadooo…Haree genee ngurusin Pak SBY dan Pak Kalla? Buat apa? Sudah banyak yang ngurusin keduanya. Buat apa pula ngurusin jenderal-jenderal (meski sebagian mungkin gemuk dan perlu dikurusin) yang kini vokal. Ngapain pula ngurusin mantan-mantan penggerak peristiwa Malari (15 Januari 1974). Mereka sudah diurus keluarganya. Buat apa mikirin mereka?

Mikir kenaikan harga-harga sekitar aja udah pusing. Ya kan Bu? Kopi bungkusan yang seperempat kilo aja kini jadi Rp 6.000-an dari baru saja Rp 4.000. Beras yang masih ndak terlalu jelek aja udah di atas kepala lima per kilo. Padahal belum lama berselang kita duitin Rp 5.000 masih kembali Rp 500. Eh, harga kangkung juga melenggang-lenggang nggak karuan sampai seiket aja jadi Rp 1.000.

Maka bukan karena hal besar-besar itu yang bikin saya pengin omong soal kritik. Saya pengin omong soal kritik karena Indra Birowo dan Ine Febriyanti. Indra omong. Ine juga omong. Tempat dan waktunya beda. Eh, tapi kok kebetulan sekali keduanya sama-sama menyinggung soal kritik. Jadi saya rangkum. Nah, ikhtisar dari omongan kedua artis yang juga temen saya itulah yang pengin saya bagi ke ibu-ibu, yaitu soal kritik.

Jadi, sekali lagi, nggak ada urusan ama persoalan yang gede-gede. Misalnya, apakah betul pergantian kepemimpinan nasional kita serahkan saja pada Pemilu 2009. Atau, betulkah taksiran seorang pengkritik bahwa revolusi terjadi sebentar lagi. Ya bisa saja. Bung Karno kan mengajarkan, kalau kesenjangan ekonomi sudah sangat mencolok, lantas diikuti kemerosotan moral sangat drastis, maka hal selanjutnya yang tak terhindarkan oleh siapapun adalah pecahnya revolusi sosial.

Tapi kan kita jadi pusing mikirin gituan. Iya kalau Bung Karno betul-betul pernah mengajarkan itu. Kalau nggak? Memang banyak negara di dunia yang terbukti dapat mencegah revolusi sosial, tapi apa betul karena mereka memperhatikan ajaran Soekarno tentang hal ini yang konon sangat terkenal? Pusing. Makanya yuk kita mengunjungi Indra Birowo dan Ine Febriyanti saja ya? Indra sedang santai di rumahnya. Ine sedang bersiap ke tempat kerja.

***

Indra Birowo:

Kritik memang lebih mengena kalau disampaikan lewat humor. Misalnya kepada Tora, teman saya yang suka belanja barang-barang gak penting. Saya sering mengkritik, “Alaaah….tukang bosen, kayak anak kecil Lo. Segala playstasion, game, semua dibeli bentar lagi jadi sampah…”

Tapi dia (Tora) tidak marah. Mungkin karena gaya saya yang pakai canda. Bahwa dia abis itu ngikutin apa yang saya bilang atau nggak, ya itu terserah dia. Yang penting saya sudah menyampaikan kritik.

Ya, selain karena saya ungkapkan dengan humor, mungkin juga karena kita (Indra dan Tora) sudah dekat. Kayaknya tidak bisa begitu saja kritik, mau pakai humor pun, disampaikan pada orang yang tidak kita kenal karakternya. Apalagi kalau orang yang kita kritik itu juga tidak mengenal kita.

Sebenarnya humor itu kan baru kerasa lucunya kalau ada konteks kedekatan antara yang mengkritik dan yang dikritik. Jenis kedekatan ini macam-macam. Mungkin kalau bukan Tora, cara saya mengkritik lain lagi.

***

Ine Febriyanti:

Saya merasakan memang humor lebih kena sebagai cara…kalau kita ingin bikin perubahan. Dalam hal sederhana saja, saya sering menyindir suami saya yang kalau pergi-pergi senang pakai baju jelek, jeleeek buanget…karena sudah bolong sana-sini.

Saya pakai marah-marah? Percuma. Dia malah balik marah. Sama saja kalau langsung saya beliin baju baru. Dia tersinggung. Jadinya juga marah-marah.

Tapi kalau saya bilang, misalnya, “Wah, ada gembel mau ke mana neh” sambil senyum-senyum gitu, pasti dia langsung ganti baju yang lebih pantes.

Ya, saya merasa kritik sebaiknya disampaikan lewat humor. Meskipun tetap, jangan coba-coba mengkritik perempuan yang sedang menstruasi. Mau pakai humor sekalipun! Jangan. Kami akan kehilangan sense of humour.

***

Saya sependapat dengan Indra dan Ine dalam hal pentingnya humor. Jadi kalau kritik tak bisa lagi disampaikan lewat humor, padahal orang Indonesia suka humor, berarti pihak yang mengkritik dan pihak yang dikritik tidak saling kenal. Atau mungkin dulu pernah kenal, tapi sekarang sudah gak mau kenal lagi. Karena, kalau kita pakai “teori” Indra Birowo, kritik bisa disampaikan lewat humor jika pengkritik dan yang dikritik sudah saling mengenal.

Bagaimana kalau kedua pihak masih kenal satu sama lain, tapi salah satu pihak tetap saja tak bisa menemukan humor dalam kritikan pihak lain? Nah, untuk yang ini kita pakai “resep” Ine Febriyanti. Berarti pihak yang dikritik dan uring-uringan itu sedang menstruasi.

“Hah? Pemerintah sedang menstruasi?” tanya seseorang, mungkin mengira saya sedang bicara tentang hal yang gede-gede.

(Dimuat di harian Sindo, Tanggal 26 Januari 2007)