Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 111 Tintin Saksi Sang Resi …

4,961 Views

Episode111Bom bunuh diri mbledos di sanggar pamujan. Korbannya lebih seabreg dibanding pemboman bunuh diri di Gereja Kepunton Solo. Sebelumnya di sanggar berbentuk joglo, tengah malam itu, sang pandita bersila di atas batu. Baju dan jariknya serba putih. Ikat kepalanya pun putih seperti taburan melati di seluas lantai sanggar. Ia sedang ngadem-adem para cantriknya dalam khotbah.

Para siwi alias siswa tekun menyimak kata demi kata pemukanya. Nyaris seperti Adipati Karna yang membiarkan lintah-lintah menyesap darahnya saking ia full konsentrasi pada penjelasan guru Sang Resi Druwasa. Segenap siwi itu pun seakan tak peduli dinginnya hawa puncak gunung. Suara kuhu kuhu burung kukuk beluk dan lolong serigala pun tak mereka gubris.

Di malam Jumat Kliwon itu kata-kata Sang Guru lebih menyedot perhatian ketimbang kilau deretan emas-emasan sepanjang Jln Blauran Surabaya.

“Berani mati itu malah lumrah,” pitungkas Sang Guru lirih. “Yang hebat  malah berani hidup. Yang hebat justru…”

Bleger!!!!!!!

Ketika itulah bom berdentum. Mayat-mayat bergelimpangan.

“Jadi, mata kepala Saudara sendiri melihat ini bom bunuh diri?” tanya poliwang ke saksi. Ia masih geleng-geleng sambil mengetik. Poliwang singkatan polisi wayang. Ia tak percaya kok ada orang yang masih hidup dalam insiden itu. Luka-luka pun tidak. “Ehm, maaf, nama Saudara tadi siapa…Tintin…?”

“Betul Pak Poliwang. Tintin. Ya, seperti di komik-komik itu. Saya reporter dari Belgia. Eh, Pak, anjing putih saya ini juga saksinya, Pak. Snowy namanya..”

“Benar demikian, Pak Snowy?”        

    “Guk guk guk guk…!!!”

Poliwang mencatat kesaksian anjing.

***

    Pagi berikutnya poliwang memanggil Wayne Rooney untuk dimintai kesaksian ahlinya. Anggota Badan Anggar alias Banggar itu memang dikenal punya latar belakang pendidikan psikologi antiteror. Namun Rooney mangkir. Alasannya, bentrok jadwal main bola. Selain atlet anggar, ia hobi bola juga. Poliwang maklum. Tapi kok panggilan kedua pun tak direken Rooney. Alasannya, ia sedang sibuk menonton Liga Inggris.

Akhirnya poliwang ndak srantan. Mereka menjemput paksa. Ternyata terjadi salah paham. Akhirnya Rooney pun ketawa-ketawa.

“Maaf, saya salah baca kop surat, Pak Polisi. Saya kira yang memanggil saya itu KPK. Konco-konco Banggar ndak mau kalau kami dipanggil KPK. Kalau sekadar dipanggil polisi atau kejaksaan yaaah…siapa takuuuuuuut….”

Polisi wayang itu meski semula tersinggung akhirnya terkekeh-kekeh juga. Mereka berdua saling menepuk pundak. Setelah ngalor-ngidul dari soal penyanyi Rihanna, soal buruh Freeport yang mogok, sampai soal kemarau panjang, mereka menukik ke inti masalah.

“Bom bunuh diri ini,” kata Rooney, “ndak bakal ada kalau seluruh aparat melakukan pencegahan. Cara mencegahnya adalah menanamkan nilai-nilai luhur bahwa berani mati itu ecek-ecek. Yang hebat tuh kosok balennya, berani hidup. Lihat jutaan pengangguran itu. Ndak jelas besok mau makan apa…tapi mereka tetap berani melanjutkan besok..setelah besok mereka lanjutkan lagi hidup mereka dengan besoknya lagi …besoknya lagi..besoknya maning…hebat kan? Berani kan?”

“Anda sendiri berani hidup?”

“Lho? Hahahaha…Jelas saya dan teman-teman Banggar lebih berani hidup ketimbang para pengangguran itu. Mereka jauh dari KPK, Bos. Kami? Kami bisa sewaktu-waktu dicokok KPK! Dipenjara! Tapi lihatlah, kami tetap berani hidup…Berani pakai baju safari ini…Ehmm, kalau Sampeyan sendiri gimana, Pak Polisi, berani mati apa berani hidup?”

***

Mestinya mahaguru itu tak tewas oleh bom bunuh diri.

Atas keterangan guru spiritual dari Majenang (konon beliau juga guru spiritual banyak pejabat penting di Jakarta) poliwang mendapat keterangan bahwa Tirta Amerta tak hanya dimiliki para dewa. Jimat penghindar kematian itu juga dimiliki oleh guru yang tewas dalam bom bunuh diri.

Ponokawan Gareng, Petruk dan Bagong agak keberatan dengan penjelasan dari Majenang itu. Mereka lebih yakin bahwa Tirta Amerta hanya dimiliki para dewa. Tepatnya atas bantuan Nagasesa, yaitu nama dewa penyangga bumi Antaboga ketika masih muda.

Ceritanya, karena ngebet awet hidup, para dewa ingin mempunyai Tirta Amerta. Air suci itu berada di bawah dasar laut. Mereka menjebol Gunung Mandira. Gunung dibalik. Pucuknya dijadikan semacam mata bor di dasar laut. Mereka gasingkan gunung Mandira alias Gunung Jamurdwipa itu laksana bor. Berhasil. Sayangnya mereka tak sanggup memutar balik untuk mencabut si “bor” raksasa.

Di situlah, menurut ponokawan, Nagasesa yang berbentuk naga membantu para dewa. Ia ulir-ulirkan tubuhnya yang panjang melingkari gunung terbaik lantas…brol… menjebolnya…Tirta Amerta menyembur laksana lumpur Lapindo. Para dewa jingkrak-jingkrak.

“Jadi tidak mungkin guru yang tewas itu keciperatan Tirta Amerta…Saat itu di dasar laut yang ada hanya para dewa,” tandas Gareng.

Belum jelas, poliwang lebih percaya ponokawan atau guru spiritual orang-orang penting di Jakarta.

***

Sikap poliwang baru ketahuan setelah memanggil Tintin. “Saudara kami tangkap. Tuduhan penghinaan. Saudara menghina warisan budaya kami, yaitu wayang….”

Tintin bingung.

“Jangan bingung, Pak Tintin. Saudara mengaku ada di TKP waktu bom meledak. Mana mungkin Saudara bisa hidup? Mahaguru Resi Yamadagni saja meninggal. Tahu enggak, dia itu ayahnya Ramabargawa. Sakti mandraguna. Keciperatan Tirta Amerta. Itu saja gugur. Kalau Saudara bisa lolos dari maut, bisa hidup, berarti Saudara sebagai orang Eropa secara tidak langsung merasa lebih sakti ketimbang orang-orang Nusantara. Ini penghinaan!!!”

Tintin dihukum. Dia tidak dihukum untuk melakukan bom bunuh diri, tapi disuruh adu nyali berani hidup. Tintin disuruh memilih berani hidup sebagai penganggur bersama jutaan penganggur lain, atau hidup sebagai anggota Banggar. Pilih mana?

“Guk guk guk guk…” begitu usul anjing Snowy kepada tuannya.