Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 154 Isuk Dele Sore Tempe …

15,454 Views

STcartoon1Rekan kerja yang tundone jadi seperti anak sendiri ya Mbilung bagi Togog. Semula keduanya sejawat ponokawan bagi tokoh-tokoh hitam. Mereka bahu-membahu mengingatkan juragan-juragan majenun agar kembali ke jalan yang benar, yang nggak nggronjal-nggronjal. Eh, sayap burung suwi-suwi Togog seakan menjadi bapaknya sendiri. Saban lebaran Mbilung diajaknya anjangsana ke sedulur-sedulur Togog seperti Semar alias Badranaya.

Waktu zaman Pak Harto dulu sih seneng buanget Mbilung diajak riyayan ke tempat Badranaya ke Klampis Ireng naik bus AKAP Tahu-Tempe Abadi. Tape ketan. Lontong balap. Madumongso. Gayeng.

Namun lama-lama Mbilung bosen. Ndak cuma bosen, malah cenderung … apa itu … ah traumatik. Ya Mbilung cenderung traumatik.

“Father Togog,” curhat Mbilung ke bapaknya tadi malam. “Sorry to say lebaran tahun ini ane tidak mau ikut …”

“Lho, what happen, Mbilung?”

“Pokoknya ane nggak mau serta turut antum.”

“Iya, Mbilung, oke, kamu nggak ikut. Tapi, aduh. Why? Why?”

Togog yang mulutnya lebar bermata belok berpikir mungkin saja Mbilung malu punya tampang kurang beres.  Lambenya memang mungil, tapi ndomble. Sudah pecicilan, eh bicaranya juga sedikit gagap. Tokoh-tokoh dunia hitam seperti Prabu Niwatakawaca, Prabu Baka dan lain-lain sudah maklum situasi permukaan alias rai Mbilung.

Tapi di mata sedulur-sedulur Togog, permukaan Mbilung memang kurang afdol. Malulah Mbilung. Sama halnya Raden Gunadewa yang tak pernah keluar dari pertapaan Gadamada. Anak Prabu Kresna dari Dewi Jembawati itu memang tampan. Tapi ia berekor seperti monyet. Maklum, kakeknya, Resi Jembawan, memang pendekar di dunia permonyetan dari epos Ramayana.

Lha tapi kalau Togog yang sama buruk rupanya dibanding Mbilung saja tidak pernah minder ketemu para kerabat, laopo Mbilung jadi repot?

“Pokoknya ane nggak mau ikut. Karena pertanyaan saudara-saudara Father di sana semua nyebelin. Nyebahi. Njelehi. Selalu itu. Selalu itu. Dan itu lagi, Father.”

“Mereka tanya apa, Lung? Apa mereka tanya kapan korupsi di negeri ini tuntas dilibas? Ya, selama korupsi isih ada, mereka akan terus bertanya begitu.  Wajar. Lumrah. Mbilung, anakku, selama orang tidak malu korupsi, walau malu punya anak jelek seperti Gunadewa, korupsi akan tetep ajek. Sedulur-sedulurmu akan tidak berubah pertanyaannya. Karena kita memang ditakdirkan menjadi pamong alias ponokawan para koruptor!”

“Ane nggak ada urusan dengan korupsi. Biar itu urusan Gusti Allah saja. Ane bosen sedulur-sedulur Father dari tahun Dal sampai sekarang nanyanya sama semua dan sama terus, Kapan kamu nikah le..Kapan …”

Ow, ow… itu to sumbernya…

Togok terkekeh-kekeh apalagi melihat Mbilung memonyongkan bibirnya yang njedir. “Kehhh kehhh kehhh…Mbilung, lha masa’ lebaran tahun ini mereka harus ganti pertanyaan kapan kamu ngganteng?”

***

Memang cukup mengherankan.

Banyak orang malu punya jerawat. Tak sedikit orang malu punya mobil buruk sehingga kalau pas ada reuni dibela-belain sampai sewa mobil Alphard segala. Begitu pun tak jarang ada anak buruk rupa sehingga nek gak anak itu sendiri yang malu keluar rumah ya orangtuanya yang isin. Bangsa ini bangsa pemalu. Anehnya, orang tidak malu melakukan korupsi.

Apakah Raden Gunadewa yang tampan tapi berekor monyet itu memang malu dengan sendirinya turun gunung dari pertapaan Gadamadana, atau Prabu Kresna, raja Dwarawati, yang malu?

“Jelek-jelek begini aku mungkin masih lebih baik dibanding Prabu Kresna, Mbilung. Tokoh dari dunia putih yang sering disembah-sembah khalayak itu sebenarnya malu mengakui bahwa Raden Gunadewa itu putra sahnya. Aku lain. Orang boleh mengatakan bahwa kami dari dunia hitam, tapi kami lebih mulia. Aku tidak malu punya anak buruk seperti dirimu. Sedulur-sedulurmu bertanya kapan kamu nikah itu kan berarti bertanya kapan kamu ngganteng supaya banyak perawan desa melirikmu. Iya toh? Father blas tidak malu. Father malah bangga padamu, Lung.” Togog memeluk Mbilung.

Mbilung tak kuasa menahan airmatanya jatuh.

“Hayo. Hapus luhmu. Jangan menolak ajakan Father-mu ini. Bodo nanti kamu harus mau ikut Father…Siapa tahu nanti pertanyaan mereka ganti kapan harga kedelai dan tahu-tempe berubah…”

“Hmmm … Walau pertanyaan mereka baru, soal tahu-tempe , tampang mereka tetap lama…Ane sudah bosen melihat mereka …”

Togog kembali terkekeh-kekeh. “Lho apa kamu minta supaya aku ini nikah lagi, supaya sedulur-sedulurmu berubah dari jalur silsilah Mbok Enom? Aneh-aneh saja you ini Luuuuuung…Lung…”

***

Togog tetap bersikeras agar nanti Mbilung turut berlebaran ke saudara-saudaranya. Togog meyakinkan bahwa seburuk-buruk para sedulur, mereka tidak akan sampai berlebihan menggojlok, memlonco atau membully Mbilung seperti baru saja kejadian di suatu sekolah di Yogya. Mbilung mulai terbawa.

“Tapi, Father, terus bagaimana nanti kalau mereka betul-betul tanya soal harga kedelai dan tahu-tempe …Ane musti bilang apa?”

“Hehehe, ya bilang saja kita ndak usah mengeluh. Kita ndak usah kecanduan tempe dari kedelai. Kedelai itu yang banyak di Negeri Pak Lek Sam. Tempe kita dulu aslinya tidak dari kedelai tapi dari kacang koro. Nah kacang koro itu sesungguhnya banyak tersebar di Probolinggo dan Jember…”

Jadi, menurut Togog, pada lebaran tahun depan nanti tempe menjes dan mendoannya sudah terbuat dari kacang koro juga. Begitu pula gembus, tempe menjes versi Yogyakarta dan Jawa Tengah.

“Hayo, Mbilung, tidak usah malu makan tempe koro. Yang malu itu berbuat korupsi apalagi kalau sebelumnya sudah sumpah-sumpah preeet nggak bakal korupsi. Itu namanya isuk dele sore tempe …” tandas Togog.