Wayang Durangpo Tahun I (2009 - 2010)

Episode 33 Pajak di Mantu Akbar…

6,792 Views

Episode033Ndak cuma Pak Ical yang mantu Nia Ramadani gede-gedean. Masih banyak tokoh yang ulem-ulem nikah anaknya sampai makan tempo sekian hari sekian malam. Dilihat buruknya, ya mana ada sih orang nggak ada buruk-buruknya. Bisa diomog itu jor-joran pemborosan di tengah, umpamanya, susahnya korban-korban lumpur Lapindo.

Tapi kalau mau dilihat baiknya ya ada juga. Misale, Pak Ical yang pernah padu dengan Bu Sri Mulyani soal pajak itu, dan tokoh-tokoh yang mantunya gegap gempita lainnya sesungguhnya justru sedang ingin berbagi dengan masyarakat lingkungannya yang haus hiburan gratis.

Pak Leak malah nanggap wayang tujuh hari tujuh malam. Dan ini sudah hari terakhir. Banyak pedagang bakso kaki lima dan makanan lain yang datang ke hajatan itu. Jualan makanan semalam suntuk persis jadwal wayangan. Pulangnya mereka ngantongi duit lumayan dan lebih pede ketemu anak-istri. Begitu juga para pedagang kacang rebus.

Sopir-sopir angkutan kota juga kecipratan rezeki. Banyak orang datang nonton wayang dengan kendaraan umum, dari Dupak, Tanggulangin, Keputran, Ketintang, dan lain-lain. Wah, belum terhitung berkah bagi para penjual mainan anak-anak dari wayang kardus sampai blangkon-blangkonan. Mereka berharap akan makin banyak lagi orang kawinan nanggap wayang.

”Saya bukan mau ikut-ikutan Pak Aburizal Bakrie,” kata Pak Leak, ”Tapi wayangan tujuh hari tujuh malam ini sebenarnya juga saya adakan dalam rangka ulang tahun ke-39 Pepadi.”

”Maaf, nama lengkap Anda Pak Leak Kustiya,” sela wartawati.

”Hehe, bukan, kamu ini manis-manis tapi ngaco. Leak Kustiya itu pemimpin redaksi Jawa Pos, yang prejengannya nggak kayak pemimpin redaksi… Saya Leak Tambunan. Pekerjaan saya bisa kamu ketahui nanti di akhir wayang Durangpo ini…”

”Hmmm…Kalau Pepadi?”

”Pepadi itu Persatuan Pedalangan Indonesia. Anggotanya ribuan dalang, dari wayang Sasak, wayang Bali, Sunda, dan lain-lain sampai dalang Jawa. Sekarang Pepadi dipimpin Pak Ekotjipto, mantan salah satu direktur di Bank Indonesia. Dia juga dalang. Sudah, ya. Ayo…ayo…sekarang kita lihat wayang saja, ya?”

***

Aneh bin ajaib ternyata lakon wayang untuk acara kawinan itu bukan lakon-lakon manten-mantenan seperti Irawan Rabi, Parta Krama, Alap-alapan Surtikanti…Lakonnya justru dicuplik dari Baratayuda, yaitu wong tukaran.

Lho, kita sebagai penonton infotainment kan sudah tahu sama tahu,” kata besan Pak Leak, ”banyak kawin cerai di kalangan selebritis. Yuni Shara, Kris Dayanti, Anang, Pasha Ungu, dan lain-lain. Jadi di hari terakhir mantenan ini lakon wayangnya mesti Baratayuda. Perlunya untuk peringatan pada mempelai, gini lho ndak enaknya orang berkelahi, eker-ekeran dan lain-lain.”

Pihak keluarga jauh mengusulkan bagaimana kalau lakonnya tetap lakon sir-siran, tapi pas adegan Limbukan malam terakhir wayang ini diisi oleh bintang tamu Julia Perez saja. Mumpung beliaunya lagi ada di sekitar Surabaya.

”Jangan. Jangan ganggu Mbak Jupe. Kasih beliau kesempatan untuk bermeditasi menjadi wakil presiden…” kata Bu Leak.

”Hush, wakil bupati Pacitan…”

”Iya, kan Pacitan kotanya Pak Presiden. Wakil bupati Pacitan sama saja dengan wakil presiden…”

Akhirnya, menjelang naik pentas, pas gamelan sudah menalukan gending Ayak-ayak Slendro, pas penonton sudah berteriak-teriak dan suit-suit menyambut ki dalang naik, panitia membisiki ki dalang, ”Nuwun sewu, lakonnya diganti saja, Ki, bukan Gatutkaca Krama, tapi Karno Tanding...”

Ki dalang yang sudah membawa Gatutkaca bersitegang dengan penanggap wayang. Tampak dari kejauhan badan mereka bergerak-gerak seperti bule-bule film Hollywood kalau lagi engkel-engkelan.

Bunyi petromak ratusan pedagang kaki lima, bunyi kompor pedagang kacang rebus dan mie godok, melengkapi suara penonton yang makin ramai berteriak-teriak melihat dua orang itu tukaran.

Sing nanggap wayang ndak usah kebanyakan titip-titip pesan ke Pak Dalang!” teriak salah seorang penonton.

Wis biarkan sak karep-karepe dalangnya saja, jangan mentang-mentang punya duit, mentang-mentang bisa nanggap wayang…,” teriak yang lain.

Cepetan hoiiiiii…..Bojoku selak nglahirno..!!!”

***

Penonton di halaman terbuka itu hening pas dini hari, tatkala gamelan menginjak musik-musik pathet Manyuro. Langit bersih. Bulan separo bayang. Meteor dan bintang kemukus tampak sekelebat.

Pada mentari terbit esok Adipati Karno dari pihak Kurawa harus bertanding dengan adik kandungnya sendiri dari pihak Pandawa, Arjuna. Diramalkan Arjuna bakal kalah. Senjata pamungkasnya, Pasupati, memang tangguh. Tapi andalan itu tidak bakal mampu menembus kulit Karno yang mempunyai anting dan rompi kaswargan. Anting dan rompi keemasan itu sudah tertindik dan lengket di badan dan kulit Karno begitu ia dilahirkan dari gua garba Dewi Kunti.

Karno sedang mempersiapkan baju zirahnya di sanggar pamujan. Tiba-tiba datanglah seorang pengemis renta dan bangka. Pengemis meminta anting dan rompi yang telah manunggal di tubuh Karno itu.

”Jangan kamu kasihkan, Karno,” pesan sang ayah, Batara Surya, yang datang sebelumnya. ”Pengemis yang akan datang nanti itu sesungguh­nya jelmaan Batara Indra, ayah angkat Arjuna. Tanpa anting dan rompi yang aku sematkan ke kamu sejak janin, kamu akan kalah melawan si Arjuna…”

Tetapi Surya mak tratap kaget ketika anaknya kukuh tetap berniat akan memberikan apa pun yang dimiliknya, jika masyarakat melarat membutuhkan itu.

Kata Surya lirih, ”Romo, ini sudah jadi sumpah prasetya saya sejak dahulu kala. Bahwa saya akan memberikan apa pun harta saya jika kaum fakir membutuhkannya. Ini adalah bentuk lain dari kesadaran saya terhadap pajak. Dalam wayang memang tidak dikenal pajak. Tapi inti pajak sudah ada sejak dahulu kala. Bahwa di dalam setiap harta kita terkandung hak fakir miskin…”

Penonton keplok-keplok. Ribuan penonton yang sebagian besar adalah orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan itu berteriak-teriak, ”Cocooooooook….!!!” Itu suara yang di bawah garis kemiskinan. Yang berada pas di garis kemiskinan juga koar-koar, ”Duit ojok diemplok dewe, Rek.”

Karno melanjutkan, ”Dengan rompi dan anting kaswargan ini, saya pasti menang melawan Dinda Arjuna, tapi jagad dan semesta akan bersorak-sorak menertawakan saya. Saya akan dipandang sebagai laki-laki yang mengkhianati sumpahnya sendiri untuk membantu orang miskin melalui pajak…”

Penonton kembali bersorak-sorai.

Lho, Karno anakku, tapi sosok yang akan menghadapmu nanti bukanlah petugas pajak sejati. Anting dan rompimu yang akan dilelang itu nanti duitnya tidak akan sampai ke orang miskin…”

”Itu bukan dosa saya, Romo. Biarkan dosa dan karma itu ditanggung sendiri oleh orang-orang pajak…”

Oooo, kukusing dupo kumelun, kelun-kelun wor mego kang membo batoro…

Penonton hening ketika Surya sesenggukan merangkul anaknya dan pamit. Ribuan kaum papa yang menyaksikan wayang Pak Leak mantu itu kemudian tertunduk, bahkan tak sedikit yang menangis, menyaksikan Adipati Karno mengelupas rompi dan mencopot antingnya buat pengemis meski Karno tahu pengemis itu adalah jelmaan Batara Indra. Salah seorang pesinden bahkan pingsan ketika mengetahui Adipati Karno sampai berdarah-darah, ketika mencopot anting dan melepas rompi kaswargan yang sudah menyatu dengan badan Karno sejak lahir ke dunia.

Dalam ketundukan penonton yang syahdu di antara pohon-pohon ketapang basah sisa gerimis itu, sebagian mereka juga ada yang terharu. Diam-diam mereka mengucapkan terima kasih kepada Pak Leak. Karena Pak Leaklah mereka bisa disuguhi tontonan gratis yang menghibur, mengharukan sekaligus mencerahkan hayatnya.

Sayangnya, pada saat itu, pada saat ki dalang dan rebab menembangkan suluk sedih tlutur, tak satu pun penonton tahu bahwa Pak Ical, eh, Pak Leak, sudah diciduk polisi. Sebagai birokrat pajak, Pak Leak Tambunan dituduh terlibat mafia perpajakan. (*)

 

 

Disadur Selengkapnya dari Jawa Pos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo

 

 

”Saya bukan mau ikut-ikutan Pak Aburizal Bakrie,” kata Pak Leak, ”Tapi wayangan tujuh hari tujuh malam ini sebenarnya juga saya adakan dalam rangka ulang tahun ke-39 Pepadi.”

”Maaf, nama lengkap Anda Pak Leak Kustiya,” sela wartawati.

”Hehe, bukan, kamu ini manis-manis tapi ngaco. Leak Kustiya itu pemimpin redaksi Jawa Pos, yang prejengannya nggak kayak pemimpin redaksi… Saya Leak Tambunan. Pekerjaan saya bisa kamu ketahui nanti di akhir wayang Durangpo ini…”

”Hmmm…Kalau Pepadi?”

”Pepadi itu Persatuan Pedalangan Indonesia. Anggotanya ribuan dalang, dari wayang Sasak, wayang Bali, Sunda, dan lain-lain sampai dalang Jawa. Sekarang Pepadi dipimpin Pak Ekotjipto, mantan salah satu direktur di Bank Indonesia. Dia juga dalang. Sudah, ya. Ayo…ayo…sekarang kita lihat wayang saja, ya?”

***

Aneh bin ajaib ternyata lakon wayang untuk acara kawinan itu bukan lakon-lakon manten-mantenan seperti Irawan Rabi, Parta Krama, Alap-alapan Surtikanti…Lakonnya justru dicuplik dari Baratayuda, yaitu wong tukaran.

Lho, kita sebagai penonton infotainment kan sudah tahu sama tahu,” kata besan Pak Leak, ”banyak kawin cerai di kalangan selebritis. Yuni Shara, Kris Dayanti, Anang, Pasha Ungu, dan lain-lain. Jadi di hari terakhir mantenan ini lakon wayangnya mesti Baratayuda. Perlunya untuk peringatan pada mempelai, gini lho ndak enaknya orang berkelahi, eker-ekeran dan lain-lain.”

Pihak keluarga jauh mengusulkan bagaimana kalau lakonnya tetap lakon sir-siran, tapi pas adegan Limbukan malam terakhir wayang ini diisi oleh bintang tamu Julia Perez saja. Mumpung beliaunya lagi ada di sekitar Surabaya.

”Jangan. Jangan ganggu Mbak Jupe. Kasih beliau kesempatan untuk bermeditasi menjadi wakil presiden…” kata Bu Leak.

”Hush, wakil bupati Pacitan…”

”Iya, kan Pacitan kotanya Pak Presiden. Wakil bupati Pacitan sama saja dengan wakil presiden…”

Akhirnya, menjelang naik pentas, pas gamelan sudah menalukan gending Ayak-ayak Slendro, pas penonton sudah berteriak-teriak dan suit-suit menyambut ki dalang naik, panitia membisiki ki dalang, ”Nuwun sewu, lakonnya diganti saja, Ki, bukan Gatutkaca Krama, tapi Karno Tanding...”

Ki dalang yang sudah membawa Gatutkaca bersitegang dengan penanggap wayang. Tampak dari kejauhan badan mereka bergerak-gerak seperti bule-bule film Hollywood kalau lagi engkel-engkelan.

Bunyi petromak ratusan pedagang kaki lima, bunyi kompor pedagang kacang rebus dan mie godok, melengkapi suara penonton yang makin ramai berteriak-teriak melihat dua orang itu tukaran.

Sing nanggap wayang ndak usah kebanyakan titip-titip pesan ke Pak Dalang!” teriak salah seorang penonton.

Wis biarkan sak karep-karepe dalangnya saja, jangan mentang-mentang punya duit, mentang-mentang bisa nanggap wayang…,” teriak yang lain.

Cepetan hoiiiiii…..Bojoku selak nglahirno..!!!”

***

Penonton di halaman terbuka itu hening pas dini hari, tatkala gamelan menginjak musik-musik pathet Manyuro. Langit bersih. Bulan separo bayang. Meteor dan bintang kemukus tampak sekelebat.

Pada mentari terbit esok Adipati Karno dari pihak Kurawa harus bertanding dengan adik kandungnya sendiri dari pihak Pandawa, Arjuna. Diramalkan Arjuna bakal kalah. Senjata pamungkasnya, Pasupati, memang tangguh. Tapi andalan itu tidak bakal mampu menembus kulit Karno yang mempunyai anting dan rompi kaswargan. Anting dan rompi keemasan itu sudah tertindik dan lengket di badan dan kulit Karno begitu ia dilahirkan dari gua garba Dewi Kunti.

Karno sedang mempersiapkan baju zirahnya di sanggar pamujan. Tiba-tiba datanglah seorang pengemis renta dan bangka. Pengemis meminta anting dan rompi yang telah manunggal di tubuh Karno itu.

”Jangan kamu kasihkan, Karno,” pesan sang ayah, Batara Surya, yang datang sebelumnya. ”Pengemis yang akan datang nanti itu sesungguh­nya jelmaan Batara Indra, ayah angkat Arjuna. Tanpa anting dan rompi yang aku sematkan ke kamu sejak janin, kamu akan kalah melawan si Arjuna…”

Tetapi Surya mak tratap kaget ketika anaknya kukuh tetap berniat akan memberikan apa pun yang dimiliknya, jika masyarakat melarat membutuhkan itu.

Kata Surya lirih, ”Romo, ini sudah jadi sumpah prasetya saya sejak dahulu kala. Bahwa saya akan memberikan apa pun harta saya jika kaum fakir membutuhkannya. Ini adalah bentuk lain dari kesadaran saya terhadap pajak. Dalam wayang memang tidak dikenal pajak. Tapi inti pajak sudah ada sejak dahulu kala. Bahwa di dalam setiap harta kita terkandung hak fakir miskin…”

Penonton keplok-keplok. Ribuan penonton yang sebagian besar adalah orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan itu berteriak-teriak, ”Cocooooooook….!!!” Itu suara yang di bawah garis kemiskinan. Yang berada pas di garis kemiskinan juga koar-koar, ”Duit ojok diemplok dewe, Rek.”

Karno melanjutkan, ”Dengan rompi dan anting kaswargan ini, saya pasti menang melawan Dinda Arjuna, tapi jagad dan semesta akan bersorak-sorak menertawakan saya. Saya akan dipandang sebagai laki-laki yang mengkhianati sumpahnya sendiri untuk membantu orang miskin melalui pajak…”

Penonton kembali bersorak-sorai.

Lho, Karno anakku, tapi sosok yang akan menghadapmu nanti bukanlah petugas pajak sejati. Anting dan rompimu yang akan dilelang itu nanti duitnya tidak akan sampai ke orang miskin…”

”Itu bukan dosa saya, Romo. Biarkan dosa dan karma itu ditanggung sendiri oleh orang-orang pajak…”

Oooo, kukusing dupo kumelun, kelun-kelun wor mego kang membo batoro…

Penonton hening ketika Surya sesenggukan merangkul anaknya dan pamit. Ribuan kaum papa yang menyaksikan wayang Pak Leak mantu itu kemudian tertunduk, bahkan tak sedikit yang menangis, menyaksikan Adipati Karno mengelupas rompi dan mencopot antingnya buat pengemis meski Karno tahu pengemis itu adalah jelmaan Batara Indra. Salah seorang pesinden bahkan pingsan ketika mengetahui Adipati Karno sampai berdarah-darah, ketika mencopot anting dan melepas rompi kaswargan yang sudah menyatu dengan badan Karno sejak lahir ke dunia.

Dalam ketundukan penonton yang syahdu di antara pohon-pohon ketapang basah sisa gerimis itu, sebagian mereka juga ada yang terharu. Diam-diam mereka mengucapkan terima kasih kepada Pak Leak. Karena Pak Leaklah mereka bisa disuguhi tontonan gratis yang menghibur, mengharukan sekaligus mencerahkan hayatnya.

Sayangnya, pada saat itu, pada saat ki dalang dan rebab menembangkan suluk sedih tlutur, tak satu pun penonton tahu bahwa Pak Ical, eh, Pak Leak, sudah diciduk polisi. Sebagai birokrat pajak, Pak Leak Tambunan dituduh terlibat mafia perpajakan. (*)

Disadur Selengkapnya dari Jawa Pos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo