Wayang Durangpo Tahun I (2009 - 2010)

Episode 34 Ki Markus Sabdo Guru Wayangku

7,376 Views

Episode034HARI ini orang tersabar sak Indonesia itu Pak Markus. Bapak-ibunya susah-susah kasih nama Markus. Upacara penamaannya pakai selamatan segala. Pakai segala uba-rampe dari semur sampai tahu gunting. Terbukti bayi Markus menjadi orang yang berbudi di kemudian hari. Baik pula sama tetangga. Eh, tahu-tahu ”Markus” dipelesetkan jadi ”makelar kasus”. Tapi Pak Markus tetap tenang-tenang saja. Ndak cuma dimlencengno oleh orang-orang se-RT/RW-nya. Tapi sak Nusantara! Dan Pak Markus masih juga tetap kalem-kalem saja.

Coba kalo ”makelar kasus” itu disamakan dengan ”Calo Kasus Masalah Neko-neko”, disingkat Cak Man. Wah, pasti proteslah para pelanggan bakso Cak Man di Malang dan wilayah, cabang, sampai ranting-rantingnya termasuk di Jakarta. Cak Man-nya sendiri ndak nyaman pasti. Capek-capek babak-belur mbangun partai bakso, nggletek ae tiba-tiba namanya dicemarkan. Bisa jadi dia akan lapor polisi seperti pada zaman dahulu para pejabat tinggi lapor berombongan karena asmanya dicemarkan sebagai penerima aliran dana Century (masih eling nggak? Eh, minggat ke mana ya kasus ini?).

Pak Markus ndak gitu. Namanya turun derajat jadi ”makelar kasus” tetap saja beliau mengajarkan wayang pada anak-anak di lingkungannya.
Coba kalau ”makelar kasus” itu disamakan dengan ”JUru PErkara” alias Jupe? Pasti akan ada bakal calon bupati yang merengut dan mlerok. Jupe singkatan dari Julia Perez saja banyak ditentang untuk memimpin gua-gua di Pacitan. Apalagi Jupe yang singkatan dari Julia Perez sekaligus Juru Perkara.

Pak Markus ndak gitu. Pamor namanya anjlok menjadi ”makelar kasus”. Hmmm….masih saja beliau penuh pengabdian mengajarkan kisah-kisah Mahabarata dan Ramayana kepada anak-anak masa kini yang kurang nyobat lagi pada epos-epos leluhur itu.

Coba kalau ”makelar kasus” itu disamakan dengan “PAKar KhUsus Masalah adminIStrasi” yang disingkat jadi Pak Kumis, hayo? Pasti banyak bakul-bakul kaki lima makanan yang ngamuk, termasuk Pak Antasari Azhar (masih eling juga nggak? Eh, minggat ke mana ya berita-berita Pak Antasari?) dan Andi Mallarangeng. Apalagi Pak Kumis yang satu ini sedang giat-giatnya membangun citra untuk memimpin partai berlogo mirip Mercedes-Benz itu.

Pak Markus ndak gitu. Citranya hancur ketika ujuk-ujuk dijajarkan dengan ”makelar kasus”, tapi beliau tetap mengajarkan wayang pada anak-anak kecil termasuk mengajar mereka menabuh gamelan bahkan tak jarang menggeladi mereka dengan gratis.

Coba kalau ”makelar kasus” itu disamakan dengan ”BROker Di Indonesia” disingkat Brodin? Beeeeh…pasti orang-orang Madura ndak terima, Dik. Sak-ndableg-ndableg-nya Brodin, dia itu masih anaknya Pak Sakerah. Bisa-bisa si Clurit Emas, penyair Sumenep Zawawi Imron, akan memimpin demo besar-besaran Reng Medure.

Pak Markus ndak gitu.

***

Malam itu di depan siswa-siswi ciliknya Pak Markus kedatangan murid pedalangannya dulu semasih kanak-kanak. Sekarang orangnya sudah ndak ingusan lagi. Pekerjaannya tidak jelas. Tapi kabarnya pemuda ini sering berkeliaran di pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian. ”Tapi saya bukan Markus lho, Pak Guru,” kata pemuda itu, ”Saya sudah puas menjadi murid Markus kok…”

”Maksudmu murid Markus-Markus itu…???”

”Ya ndak to…Maksud saya Markus ya Bapak…”

Pak Markus mesem, mengembuskan napas lega. Ia rangkul bekas murid kanak-kanaknya itu. Katanya, ”Hayo…Susilo…”

”Nama saya Bambang, Pak Markus…”

”O iya, aku ini sudah pelupa. Bambang kok Susilo. Hayo… Bambang, mumpung kamu datang, tunjukkan pada yunior-yuniormu sekarang kebolehanmu mendalang…”

Bambang yang dipanggil Susilo itu langsung bersila di depan gedebog pisang dan layar atau kelir latih, di bawah lampu blencong. Dia mengambil wayang ponokawan Gareng, Petruk, dan Bagong. Ketiganya sedang membicarakan Pak Antasari (masih eling?). Inilah tokoh yang dulu diciduk dan dijadikan tersangka sesaat ketika dia (waktu itu masih menjadi ketua KPK) ingin menyelidiki kasus pengadaan IT dan carut-marut penyelenggaraan pemilu presiden. Di persidangan hampir seluruh saksi menyangkal dakwaan terhadap Antasari.

Gareng jengkel. Kenapa hubungan antara dakwaan terhadap Antasari dan keinginan Pak Kumis itu untuk menguak dugaan korupsi pengadaan IT pemilu presiden sepertinya tidak dicurigai.

Ponokawan masih nancap di gedebog, belum dikeluarkan, Bambang sudah menancapkan wayang lain di depannya, yaitu Rahwana alias Dasamuka. Bambang bernarasi, ”Kocap kacarita, inilah Rahwana alias Dasamuka setelah kematian Indrajit, anaknya, dan Kumbakarna, adiknya…”

Rahwana yang menutupi Bagong itu belum dicabut dari gedebog, Bambang menancapkan wayang Duryudana menumpuk dan menutupi Petruk. Bambang kembali bernarasi, ”Kocap kacarita, inilah Duryudana, pemimpin Kurawa, paska kematian orang-orang yang setia kepadanya, Patih Sengkuni dan Adipati Karno…”

”Suasana hati Rahwana dan Duryudana itulah mungkin suasana batin Pak Susno Duadji. Yaitu, situasi kejiwaan orang yang menjadi nekad lantaran tiba-tiba mengetahui bahwa dia dikhianati oleh seluruh sahabat setianya. Rahwana dan Duryudana tahu akibat dari perbuatannya sendiri. Suatu hari mereka akan dihukum atas kesalahan-kesalahan yang dulu pernah dilakukan. Tapi keduanya berpikir, mending habis ini dihukum oleh alam tapi sebelumnya sudah sempat berbuat baik untuk sesama…,” Bambang bertutur.

Wayang Rahwana dan Duryudana yang masing-masing menutup wayang Bagong dan Petruk belum dicabut, Bambang segera menancapkan wayang-wayang perempuan yang menutup wayang Gareng. Narasi Bambang, ”Itulah wajah-wajah kaum hawa yang menolak pencalonan Jupe sebagai pejabat publik…”

Belum selesai bercerita, seluruh wayang sebelumnya masih tancap di gedebog pisang, Bambang sudah mengeluarkan Aswatama dan Kartamarma yang jadi ujung tombak pembakaran perkemahan Pandawa dalam lakon Bale Sigala-gala. Lakon ini menggambarkan penangkapan teroris. Layar dan panggung jadi penuh dan bertumpuk-tumpuk dengan wayang. Belum lagi setelah itu Bambang mengeluarkan rombongan Kurawa lainnya, yakni Dursasana, Durmagati, Citraksa dan Citraksi. Gerombolan ini sedikit di antara lambang kaum Markus di Negeri Astina.

Tumpang tindih. Tak ada fokus. Bocah-bocah yang menonton seniornya mendalang itu bengong.

***

Yang bikin Pak Markus heran bukan lantaran bocah-bocah itu bengong. Wajar, wong tema yang dibawakan Bambang memang bukanlah tema kanak-kanak. Yang bikin Pak Markus heran, anak-anak itu kok nggak protes menonton adegan wayang yang bertumpuk-tumpuk jadi satu. Padahal berkali-kali Pak Markus menekankan, ndalang itu kalau bercerita harus runtut, tahap demi tahap. Tiap adegan harus tuntas baru berganti babak lain. Jangan numpuk-numpuk sampai kita sekarang lupa sama kasus Century (halo, apa kabar?).

Belakangan Pak Markus yang sudah mulai pelupa baru tahu bahwa bocah-bocah itu bukanlah murid yang sebenarnya, yang biasa datang tiap Jumat petang. Ternyata mereka menyamar sebagai murid alias murid palsu. Susilo ternyata juga bukan Bambang, murid Pak Markus dahulu. Ternyata dia Bambang palsu. Nama sebenarnya Budiono. Lelaki berkacamata ini dulu pernah jadi ilustrator wayang di sebuah koran.

Aduh! Sudah sedih karena seluruh kepalsuan itu, Pak Markus juga ditimpa sedih gara-gara wartawan televisi yang ditunggu-tunggunya tak kunjung datang. Kesabaran ada batasnya. Karena desakan ekonomi makin menggila, Pak Markus sudah hilang kesabaran dan bersedia jadi ”Markus” palsu untuk wawancara televisi. Honornya lumayan. Tapi reporternya kok nggak njedul-njedul yo. Setelah Pak Markus cek, jebul wartawan itu wartawan palsu juga.

Saya pun nggak merasa menulis Wayang Durangpo Minggu ini. Kalau Sampeyan merasa telah membacanya, kemungkinan itu tulisan palsu. Tapi mudah-mudahan honornya tetap duit asli ya, Mbak Oemi…?

Disadur Selengkapnya dari Jawa Pos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo