Sindo

Hengki, Okan, Ucik, dan Anda

2,913 Views

Besok Hari Pahlawan. Ini hari yang rumit. Ruwet karena pahlawan atau tidaknya seseorang ditentukan oleh banyak faktor. Saya atau mungkin Ibu-ibu, yang merasa tak punya sanak-famili seorang tokoh, bakal tak merasakan kerumitan itu. Tapi coba andai kita tergabung dalam keluarga besar mereka?

Taruh kata kita tergabung dalam lingkaran persaudaraan Sutan Takdir Alisjahbana, salah satu tokoh polemik kebudayaan 1935, kayaknya kita akan bertanya-tanya kenapa Pak Takdir: Nggak diangkat jadi pahlawan ya?

Oke, bahasa Indonesia dikukuhkan menjadi bahasa persatuan via Soempah Pemoeda tahun 1928, tapi kiranya tak bisa dipungkiri peran-peran Takdir berikutnya sehingga kita memiliki bahasa nasional.

Senin kemarin saya ngobrol ma Pak Joop Ave, mantan Menteri Pariwisata, katanya dia pernah mencegat Presiden SBY dan minta waktu sekitar 2 menit. Usul, bagaimana kalau Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dikukuhkan sebagai pahlawan nasional.

Taruhlah Pak SBY setuju, prosesnya akan masih panjang untuk menetapkan benarkah STA itu seorang pahlawan. Belum kalau masih ada silang pendapat di antara keluarga sendiri. Mari sedikit kita singgung HB IX yang pernah menjadi wakil presiden.

Dari Sri Sultan Hamengku Buwono X, saya baru tahu, pihak keluarga harus bikin permohonan lebih dahulu ke pihak penguasa agar seseorang bisa dipertimbangkan lalu diangkat sebagai pahlawan nasional. HB X ingat wasiat ayahnya sebelum meninggal dunia, agar tak usah mengurus tetek bengek yang gitu-gitu. Maka HB X tidak mengajukan permohonan itu.

Padahal, sebagai kepala negara, Pak Harto kurang berkuasa kayak apa waktu itu, termasuk untuk menetapkan kepahlawanan seseorang. Dua pekan lalu dari sumber yang layak dipercaya (ia pernah melayani urusan keistanaan waktu zaman Bung Karno dan Pak Harto), saya berkesimpulan Pak Harto sangat menghormati perjuangan HB IX untuk kemerdekaan Indonesia.

Katanya, waktu HB IX nggak bersedia lagi jadi wakil presiden, dan terpilih Pak Adam Malik sebagai wakil presiden, Pak Harto dan Bu Tien Soeharto sorenya langsung memutuskan Pak Adam berkantor bareng dengan Pak Harto di Merdeka Utara, karena tertiup isu HB IX sudah betah di kantor wakil presiden Merdeka Selatan dan ogah pindah (meski kemudian terbukti desas-desus ini keliru).

Maksud saya, Ibu-ibu, itu seseorang yang sangat disegani oleh kepala negara. Apalagi kalau kita mau mengajukan kepahlawanan seseorang yang kepala negara tak begitu segan apalagi takut.

***

Tapi kepahlawanan juga tak ribet-ribet banget, malah bisa sangat sederhana, kalau kita berkenan memandang heroisme itu dari sisi lain.

Untuk hal ini saya tak pernah bisa lupa dengan Ucik Supra, seorang sutradara film-film komedi (dimana dan apa kabar dia sekarang ya?). Pertengahan 90-an saya bertemu insan film yang penampilannya bersahaja itu di kawasan Pasar Baru. Ngobrol panjang. Ngalor-ngidul. Sampai menginjak topik kepahlawanan.

Ternyata, bagi Ucik Supra, kepahlawanan juga sesederhana film-filmnya. Katanya, sepanjang kepulangan kita ke rumah masih dieluh-elukan oleh isteri dan anak-anak, sepanjang itu pula kita masih pahlawan.

Ucik mengaku terharu setiap abis berhari-hari syuting, cari duit, lantas pulang dan anak-anak menyambutnya, “Horeee bapak pulang….bapak pulang…”. “Wah, rasanya barangkali malah melebihi sambutan untuk ketua partai atau pahlawan,” kata Ucik.

Tak heran kalau Okan Cornelius, pemain Kawin Muda dan I Love You Boss, dua sinetron tayangan RCTI, bilang, “Pahlawan saya adalah orangtua saya.” Tentu ada juga selain orang tua.

Bagi mantan pacar Donna Agnesia ini, ketika kami wawancara, yang penting kita kerjain aja bidang yang kita senangi tetapi bidang itu juga mesti benar. “Ya. Pahlawan kesiangan. Kenapa ada istilah itu? Menurut saya, itu istilah buat orang yang ingin berbuat sesuatu di bidang yang benar tetapi sebetulnya dia tidak bisa dan tidak senang mengerjakan bidang itu.”

***

Gak ruwet juga kan jadi pahlawan? Ini mungkin bisa ibu-ibu sampaikan pada putra-putri. Merujuk Okan, asal mereka menyenangi suatu bidang pekerjaan dan asal bidang pekerjaan itu benar, mereka pasti jadi pahlawan di bidangnya. Masuk akal. Orang kalau sudah menyenangi suatu pekerjaan, pasti bekerja mati-matian tanpa merasa mati-matian.

Merujuk Ucik, asal pekerjaan kita bermanfaat buat lingkungan, sekecil apapun lingkungan itu termasuk keluarga, kita bisa jadi pahlawan.

Lingkup lingkungan yang lebih luas, seperti bangsa dan negara, sudah pasti tetap membutuhkan pahlawan. Tapi menurut Hengki Triharyo, Direktur Utama BUMN Rekayasa Industri, perjuangan saat ini tak harus mengambil bentuk peperangan bersenjata kayak waktu zaman revolusi 45 maupun tahun 60-an.

Bagi alumni ITB ini, untuk saat sekarang, berani mengambil keputusan tidak populer untuk memanfaatkan tenaga-tenaga dalam negeri, bahan-bahan dalam negeri dan sejenis itu di dalam bisnis internasional, adalah suatu kerja kepahlawanan itu sendiri.

Saya kenal Hengki dalam situasi yang agak asyik. Yaitu, di tengah gencarnya keunggulan Malaysia telah bisa menjadikan lagu Rasa Sayange sebagai jargon pariwisata mereka (setelah mereka unggul dalam kasus Sipadan-Ligitan, angklung dan songket). Saat itu kita semua merasa kalah. Ternyata, Hengki bilang baru menang tender internasional di Malaysia untuk pembuatan pabrik, mengalahkan saingan-saingan dari negara lain.

Tak itu saja. Beberapa tender internasional di Timur Tengah dan tempat-tempat lain juga dimenanginya, artinya dimenangi oleh seribuan insinyur Indonesia di Rekayasa Industri.

Ini yang saya sebut asyik. Di tengah kepungan pemberitaan babak-belurnya Indonesia atas Malaysia ternyata, diem-diem, tanpa publikasi yang gencar, Indonesia menang tender internasional di negeri jiran itu. Selamat Hari Pahlawan.

(Dimuat di harian Sindo, tanggal 9 November 2007)